◍•◍•✿•◍•◍❤◍•◍•✿•◍•◍
Sabtu malam, Ferdian membuktikan lagi perkataannya. Pria jangkung itu mengajak serta kedua orang tua dan juga Bagas- kakak sulungnya untuk berkunjung ke rumah orang tua Maisha. Berbeda dari kemarin yang rumahnya sepi, kali ini seluruh kakak-kakak Maisha turut hadir, dengan paksaan sang ibunda pastinya, ia meyakinkan kali ini adik mereka benar-benar akan menikah lagi.
Tentu saja keempat kakak Maisha langsung heboh karena penasaran dengan calon suami sang adik yang diklaim first love nya sejak remaja. Maisha yang sedari pagi gusar, sekarang makin salah tingkah dengan berbagai gurauan saudara-saudaranya. Ia kini sedang menyiapkan minuman untuk para tamunya di dapur dengan kakak tertuanya, Arumi.
“Dek, gak boleh takut lagi ya sekarang, harus yakin kalau ini jodoh yang dikirimkan Allah karena kesabaranmu.” ucap Arumi sambil mengusap pelan lengan Maisha, seakan mampu membaca kekalutan adik bungsunya.
“Iya mbak, aku juga mikirnya gitu, tapi...” gumam Maisha menggantung.
“Mbak liat dia laki-laki baik kok, gak usah rahu lagi. Dan satu lagi, gak boleh dibanding-bandingin sama laki-laki 'ITU', gak semua laki-laki sebanci dia.” sela Arumi menekankan kata ‘ITU’ yang mengarah pada Arga, mantan Maisha.
Ya, sejak perceraian Maisha dengan Arga, semua keluarganya sangat jarang menyebutkan nama pria itu, demi menjaga perasaan rapuh Maisha. Mereka lebih memilih memanggilnya dengan ‘laki-laki itu’. Maisha hanya membalasnya dengan anggukan dan seutas senyum tipis yang dipaksakan.
“Yaudah buruan anter minumannya ke tamu di depan, lagian kamu pasti udah ditunggu sama keluarga calonmu itu.” perintah Arumi seraya mengerlingkan sebelah matanya menggoda sang adik.
Maisha bergegas menuju ruang tamu dengan nampan besar ditangannya. Tak lupa diikuti juga oleh Khaivaro, putra semata wayangnya sambil membawa botol s**u. Begitu sampai di tengah-tengah para tamu, Maisha mencoba tersenyum meski masih sangat kaku sambil setengah membungkuk hormat ke arah keluarga Ferdian.
Ada Ferdiani yang duduk di sofa panjang dengan diapit Bagas serta Papanua, di sofa yang lain duduk wanita paruh baya yang bersebelahan dengan ibu Maisha, saling tersenyum dan berbincang lirih. Mama Neni, ibunda dari Ferdian, calon ibu mertuanya, yang diusianya kini 53 tahun masih memperlihatkan garis-garis kecantikan diwajahnya.
Tanpa diduga mama Ferdian langsung berdiri dan mendekati Maisha. Maisha yang terkejut langsung bersalaman dan mengecup punggung wanita yang masih cantik itu. Namun mama Neni langsung memegang bahu Maisha dan mendekapnya erat, setelah mencium pipi kanan dan kirinya.
“Mantu mama cantik banget aslinya, lebih cantik dari foto yang ditunjukin Ferdian semalam.” bisik Mama Ferdi sambil tersenyum renyah, senyum yang dimiliki juga oleh putranya.
Maisha yang masih terkejut, hanya bisa tersenyum tipis dan membalas pelukan dari calon mertuanya sambil melirik penuh tanya ke arah Ferdi.
Foto yang mana? pikirnya sendiri. Namun Ferdian hanya membuang muka sambil mengulum senyum.
“Makasih tante.” balas Maisha lirih.
“Kok tante siih?? Mulai sekarang belajar panggil mama yah.” lirih wanita itu, dibalas dengan anggukan pelan Maisha, lantas menarik tangan Maisha untuk duduk disebelahnya.
Kini Maisha sudah duduk diapit mama Neni dan ibunya, dengan perasaan gugup luar biasa tentunya. Ia hanya sekilas melihat ke arah Ferdi yang ternyata sedang menatap Maisha tepat pada iris matanya. Selang sedetik kemudian mereka saling menunduk menutupi perasaan bahagia yang membuncah sedangkan.
Ferdian hanya tersenyum singkat, seketika itu ada gelenyar aneh pada dadá Maisha, aaah.... entahlah Maisha selalu dibuat mabuk kepayang hanya dengan melihat senyum khas dari pria yang kini melamarnya itu.
Tanpa ia ketahui, Ferdian pun merasakan hal yang sama. Lelaki yang duduk diapit oleh papa dan kakaknya itu berkali-kali mengubah posisi duduknya, sangat memperlihatkan betapa canggungnya ia. Apalagi saat melihat Maisha turut bergabung di ruang tamu, konsentrasinya langsung terbang entah kemana.
Melihat paras ayu calon istrinya yang dibalut gamis panjang warna biru muda dengan kerudung warna senada. Beruntung Khai yang mengekor dibelakang sang ibu, akhirnya melihat Ferdian dan langsung berteriak memecah lamunannya.
“OOOMM... yang kemaren beliin aku pizza ya?” teriak Khai sambil berlari kecil mendekati Ferdian.
“Hallo boy, masih inget yaa?” wajah Ferdian sumringah ketika jagoan kecil itu menghampirinya dengan membawa mainan robot Baymax ditangannya.
“Ngapain om kerumah eyang?” tanyanya polos.
“Mau kenalan dong sama eyangnya Khai.” bisik Ferdian yang sekarang sudah membawa Khai di pangkuannya.
“Terus sekarang udah kenal?” tanya Khai lagi, yang diangguki Ferdian.
“Ya sudah pulang dong kalo udah kenalan.” seloroh Khai tanpa dosa, yang mengundang tawa semua orang di ruangan itu.
“Khaiiii, sini.. sini ikut budhe yaa, yuk main robot-robotan dikamar aja ya.” ajak Arumi tiba datang dari ruang tengah, menggandeng keponakan kecilnya itu agar tak merusak suasana.
Tanpa mereka sadari, mata Ayah Maisha mulai berkaca-kaca melihat kedekatan cucunya dengan Ferdian. Ia merasa Ferdian lah yang selama ini ia tunggu untuk disandingkan dengan putri kesayangannya.
“Maisha, ibu, bapak dan keluarga nak Ferdian sudah menetapkan tanggal pernikahan kalian, tepat satu bulan dari sekarang.” ucap ibu Maisha mulai menjelaskan pada putrinya.
Maisha hanya menunduk mendengarkan dengan seksama sambil memainkan jari-jari lentiknya.
“Untuk masalah wedding organizer, kata ibu kamu nanti akan dibantu kakakmu Aruna sama Geri. Detailnya terserah kalian berdua ya, mama sama orang tua kamu akan mengikuti keinginan kalian berdua.” lanjut Mama Neni yang kini mengenggam tangannya lembut.
Ada perasaan senang bercampur haru menjalar di hati Maisha, mengingat ia akan segera memiliki ibu mertua yang sama baiknya dengan ibu kandungnya.
“Besok sore ke rumah ya, ajak Khai juga. Mama mau ngukur badan kamu buat baju akad nikah, biar segera disiapin pegawai mama yah buat menghemat waktu, nanti kamu sendiri yang pilih warna dan modelnya. Besok biar dijemput Ferdian, boleh ya bu?” lanjut wanita itu seraya bertanya pada ibu Maisha.
“Tentu saja boleh.” jawab ibu Maisha dengan senyum lebarnya, pertanda ia sangat bahagia melihat putrinya akan memiliki keluarga baru yang menyayangi anaknya sama anak kandung sendiri.
Selepas pensiun, kedua orang tua Ferdian memang lebih memilih membuka usaha untuk mengisi hari tua, sekarang mereka sudah memiliki tiga toko kain besar lengkap dengan desainer dan penjahit profesionalnya.
“Iya tante,neh iya ma.”jawab Maisha tersenyum hangat.
▪️▪️▪️
Selepas acara ramah tamah, keluarga Ferdian pamit undur diri, yang diantar Maisha hingga pagar rumah mereka. Lagi-lagi mama Neni memeluknya berkali-kali dan mengusap sayang lengan Maisha. Begitu giliran Ferdian yang berpamitan, mereka hanya saling menatap dan melempar senyum.
“Rum, maaf ya, udah bikin kamu kaget dua hari ini.” lirih Ferdi
“Iya nggak apa-apa, udah kebiasaan kamu kan bikin kejutan, jadi aku harus terbiasa.” jawab Maisha, yang dibalas kekehan kecil Ferdian.
“Ya sudah aku pulang ya, besok aku jemput selepas shalat ashar, assalamu'alaikum calon istri.”
“Wa'alaikumsalam, hati-hati dijalan ya.” kalimat Maisha terputus, “Calon imam.” ucapnya sangat lirih, yang langsung membuat Ferdian tak bisa berkata-kata dan merentangkan kedua tangannya hampir memeluk Maisha kalau saja tak dihalangi Bagas kakaknya.
“Husssh.... sabar dikit, belum halal bro.” goda kakaknya, yang membuat pipi Maisha kian memerah karena tersenyum malu.
Maisha yang dulu-dulu selalu tersenyum untuk orang banyak, tapi tak bisa tersenyum untuk dirinya sendiri. Kini ia mulai memberanikan diri tersenyum untuk dirinya sendiri, ia sadar kini ia berhak mendapatkan kebahagiannya lagi, kebahagiaan yang tiba-tiba dibawa oleh seorang Ferdian Khalifi sekali lagi.
.
.
*Bersambung ( ˘ ³˘)♥