20. BU JUNET BLUSHING

1683 Kata
Kaki panjangnya masih Elgo gunakan untuk berlari, menghindar dari Sashi adalah tujuan utamanya, Elgo sama sekali enggan bertemu dengan cewek itu. Sifatnya yang suka menindas membuat dirinya kesal, untung saja dengan kedok kelelawar berkepala manusia dapat membohongi Sashi, awalnya Elgo tidak yakin cewek itu gampang dibohongi, namun nyatanya saja Elgo berhasil. Selepas itu ia cepat-cepat pergi dari hadapannya. Napasnya sudah ngos-ngosan, lalu sekitar lima menit ia berlari, Elgo menghentikan kegiatan balap lari yang diikuti oleh dirinya sendiri. Lututnya terasa sedikit pegal, lantas ia memijitnya sebentar. Selang beberapa detik berikutnya, tubuhnya kembali tegap, sorot matanya menengadah ke sembarang arah, memastikan dirinya sekarang berada di mana. Elgo baru menyadari kalau dirinya sekarang berpijak pada lantai perpustakaan, ia kemudian tidak langsung balik, langkah kakinya malah menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangan yang cukup besar ini, didalam sana juga terdapat AC, dan yang paling penting dan utama, perpustakaan ini merupakan tempat yang banyak diminati para siswa. Bukan, bukan berarti mereka gemar membaca buku, selain kutu buku, tempat ini juga menjadi ajang berburu WiFi bagi anak-anak yang miskin kuota. Terlihat muka-muka gratisan memang, entahlah tetapi memang itulah kenyataan. Elgo terkadang juga melakukannya. Satu lagi, mungkin keberadaan dirinya di tempat ini tidak diketahui oleh Sashi. Ya, Sashi tidak mungkin melangkah masuk ke sini. Setelah melewati pintu kaca, Elgo langsung berjalan ke arah Bu Junet, penjaga perpustakaan. Brak! Dengan tidak sopannya Elgo menggebrak meja dengan suara yang sungguh nyaring, tentu saja semua penghuni perpustakaan langsung berpusat ke arah sumber suara itu lantaran terkejut, keadaan yang sebelumnya hening seketika berubah menjadi sedikit pecah. Setelah menggebrak meja dengan tanpa malunya Elgo malah menunjukkan cengiran mulutnya, bibirnya yang merah muda itu tertarik ke atas. Bu junet sudah menghela napasnya, di sini dialah yang paling kaget, dirinya sampai tak menyadari kedatangan Elgo dan tiba-tiba saja cowok itu menggebrak meja, fokus Bu junet sekarang terarah ke arah cowok itu. "Elgo, kamu itu kebiasaan ya!" pekik Bu junet seraya memijit keningnya, mendadak saja rasa pusing langsung menyerangnya. Masih dalam senyuman tebar pesona, tatapan Elgo tidak mau beralih dari Bu Junet, ia tersenyum polos lalu menyeret kursi ke belakang, dalam satu tarikan napas ia sudah mendudukkan bokongnya di sana, lalu ia bertopang dagu dengan mata yang hampir menyipit menatap Bu junet. Aneh sekali, Bu junet kemudian kembali membuang napasnya, kali ini disertai dengan putaran bola bola matanya. "Kamu mau ngapain di sini, jangan senyum-senyum terus nanti saja diabetes," ujar Bu junet secara gamblang, tak mungkiri, memang senyuman Elgo memabukkan seperti itu. Manis sekali. "Ibu bisa aja deh, saya manis kayak apa Bu? Permen karet? Gula? Atau biang gula?" Elgo terkekeh kecil, masih tertahan pada topangan dagunya. "Terserah kamu lalu, mau apa ke sini?" "Mau apa, ya? Saya lupa soalnya lihat wajah ibu yang—" Belum juga ucapannya tertuntaskan, pipi Bu Junet sudah mengeluarkan semburat merah, ia merasakan sesak napas yang mendadak menyerangnya, pacuan jantungnya sudah tidak bisa diajak berkompromi. Pipi Bu Junet yang merah merona itu dapat disadari oleh Elgo dengan cepat, ia tersenyum kecil, walaupun umurnya sudah tidak muda lagi, guru satu ini memang senang kalau sudah dipuji seperti itu. Oh, sedikit informasi, Bu junet itu guru PPKN yang merangkap menjadi penjaga perpustakaan. Beliau tidak sendiri menjaga dan mengurus tempat ini, ada dua penjaga perpustakaan lain yang masih sibuk menyusun buku di rak. "Wajah ibu kenapa? Jangan bikin ibu malu kamu." Tingkah Bu Junet bak remaja yang masih merasakan jatuh cinta, ia susah menutup wajahnya, benar-benar membuat Elgo terkekeh. Bu Junet bertingkah seolah Elgo adalah kekasihnya. Sesaat, Elgo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu selepas itu ia berkata, "wajah ibu kebanyakan te—pung." Spontan Bu Junet langsung mengangkat dagunya ke atas, wajahnya langsung menyorot ke arah Elgo, aura wajahnya sudah berubah delapan puluh derajat dari sebelumnya, sekarang Bu Junet terlihat sangat menyeramkan dengan mimik wajah yang merah padam, sepasang alisnya juga hampir tertaut. Tawa Elgo sudah meledak, penghuni ruangan ini yang sebelumnya hening menjadi ikut tertawa kecil walaupun sedikit ada rasa tidak tega mengejek Bu Junet, tetapi itu benar-benar sangat lucu. "Jangan marah Bu, becanda kok. Ibu memang cantik, saja juga kecantol kok, perkataan saya jangan masukin ke mulut," celetuk Elgo dengan asal. "Ke hati, bukan ke mulut," ralat Bu Junet yang masih setia dengan bibir yang sedikit mengerucut ke arah depan. "Oh iya, itu maksud saya Bu, makasih udah ingetin, by the way saya mau tanya nih Bu." "Tanya apa?" "Ini namanya apa?" Elgo langsung menunjuk saku seragamnya, selama lima detik tidak ada respon dari Bu junet, guru itu malah menunjukkan kerutan dahinya, namun detik berikutnya ia menjawab juga, walaupun terasa malas. "Itu saku, jangan tanya yang aneh-aneh, nggak penting, lagian kamu ngapain tanya kalau kamu sendiri udah tau itu apa," cibir Bu Junet, tatapan matanya yang nyalang masih terus ia pancarkan. "Kalo ini Bu?" Elgo tak mendengar perkataan Bu Junet, ia malah terus melempar pertanyaan absurd, kali ini ka memegang telinganya. "Telinga, jangan kayak bayi deh kamu." "Kalo ini Bu?" "Rambut." "Kalau ini Bu?" "Itu mata, sekali lagi kami tanya, ibu tendang kamu dari sini." "Jangan galak galak dong Bu, nanti cepet muda, pertanyaan terakhir Bu, kalo ini apa namanya?" Senyuman Elgo tak mau surut begitu saja, ia kemudian menaikkan satu alisnya ke atas, menunggu jawab dari Bu Junet. Seketika bola mata Bu junet langsung melotot, hampir saja keluar dari tempatnya. "SANA KAMU KELUAR AJA DARI SINI, JANGAN BIKIN RIBUT!" Tak ayal jika Bu Junet marah besar, lantaran Elgo menunjuk-nunjuk anu-nya dan berharap agar Bu Junet menjawabnya seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang Elgo ajukan. Tentu saja guru PPKN itu marah besar. Elgo benar-benar manusia paling aneh di muka bumi ini. Setelah beberapa detik terkekeh ringan, Elgo tidak langsung menuruti apa perintah dari Bu Junet, ia memang bangkit dari duduknya, tetapi tungkai kakinya tidak berjalan keluar, ia malah berbalik, menyusuri rak buku. Elgo sudah bilang kalau dirinya akan berada di sini untuk menghindar dari Sashi. Tak sangaja, tatapan matanya bertemu dengan sepasang manik mata Sia, Elgo sedikit terkejut, namun ia bisa mengontrolnya, lain dengan gadis itu yang merasakan sesak napas, bola matanya hampir melotot, cepat-cepat Sia menutup wajahnya dengan novel. Sia memejamkan matanya sembari menggigit bibir bawahnya, segala doa sudah ia rapalkan, namun apa yang diharapkan tidak sesuai keinginannya, Sia merasakan ada seseorang yang duduk di depannya, secara perlahan ia mulai menurunkan novelnya yang sedari tadi masih menutup wajahnya. Dan ... Sesuai dugaan Sia sebelumnya, sudah pasti orang yang duduk di hadapannya ini adalah kakak kelasnya, Elgo. Sia tersenyum canggung, sementara Elgo sama sekali tidak menghiraukan itu, ia memang balik tersenyum dengan sangat lebar, matanya menyipit. "Hai, ketemu lagi, kayak jodoh aja sih lo sama gue," kata Elgo diikuti kekehan ringan. "Kak Elgo mau ngapain di sini?" tanya Sia, rasa canggung masih belum juga surut. "Menurut lo mau ngapain?" Dengan alis yang terangkat ke atas, Elgo menunggu jawaban dari gadis itu. Tak mungkiri, wajah manisnya mampu menyihir Elgo, ia baru menyadari itu. "Mau ... Baca buku?" Ekor mata Sia menerawang ke sembarang arah, berusaha menebak tujuan Elgo datang ke mari. "Salah, coba tebak lagi." "Numpang WiFi, ya?" Sia menyipitkan matanya, mencoba mencari jawaban dari ekspresi Elgo, namun ia tidak menemukannya sama sekali. "Eh, tau aja lo, tapi bukan tujuan utama gue datang ke sini sih kalau itu." Obrolan ringan, tetapi membuat perasaan Sia sedikit lebih lega, ia tidak secanggung beberapa menit yang lalu, walaupun ada perasaan yang masih sedikit mengganjal di hatinya. "Terus apa?" "Mau ketemu sama ... Lo." Sedetik selepas perkataan Elgo mengudara, spontan Sia merasakan ada rasa sedikit bahagia, hanya kata-kata sederhana seperti itu mampu membuat pipinya panas, dan ada apa dengan jantungnya? Kenapa secara mendadak berdegup dengan kencang seperti ini? Sia lalu menundukkan wajahnya, berusaha menahan malu, ia tidak mau Elgo melihat pipinya yang merah ini. Cowok itu tersenyum kecil, ekor matanya terus meneliti wajah Sia. *** Setiap hari, semakin lama Sia bertemu dengan Elgo, entah karena apa dan mengapa, Sia merasakan hatinya membaik dan merasakan senang, sosok Elgo seolah sedikit demi sedikit tergeser olehnya. Namun, bukan berarti Sia sudah move on dari Elgi, ia masih menyayangi cowok itu, dan sampai sekarang, detik ini juga dirinya berharap Elgi akan datang. Dan, kesedihan itu bisa saja larut ketika Sia berada di dekan Elgo, cowok itu telah mengisi sebagaian hati Sia yang pilu. Bagaimana dengan situasi ini? Apa yang akan Sia lakukan? Sia masih mencinta Elgi, namun tak mungkiri dan tak bisa mengelak lebih dalam lagi, sosok Elgo juga sudah menempel dihatinya. Sia tidak mau menjadi seorang yang egois dengan ingin memiliki cowok itu semua. Sia mendesah, matanya yang semula terpejam beberapa menit akhirnya terbuka, tatapannya begitu kosong, dan tiba-tiba saja Sia mendapati senggolan dari teman sebangkunya, Elin. "Kesambet setan baru tau rasa lo kalo terus ngelamun kek gitu, mikirin apa sih? Kak Elgo?" "Eh?" "Benar? Lo lagi mikirin cowok itu? Lo suka, ya?" Dengan seringai jailnya, Elin terus menggoda Sia, kali ini disertai dengan jawilan yang mendarat didagu Sia. Sia kemudian berdecak kesal, memang dirinya tengah memikirkan cowok itu, namun perkataan Elin sungguh membuat hatinya panas, Sia terusik dengan itu. "Udah deh Lin, gue pusing. Lo nyerocos mulu kayak burung beo tau nggak?!" Sia berkata dengan kencang, lalu ia merotasikan sepasang bola matanya dengan malas. "Dari pada elo? Ngelamun mulu, kalo lo kerasukan setan, gue bakal guling-guling di lapangan," celetuk Elin secara asal. Sia mencibir, lalu ia memilih mengatupkan bibirnya, tidak mau membalas ucapan Elin, setelah beberapa detik setelahnya pikirannya kembali menerawang dan jatuh pada kejadian di perpustakaan tadi. Senyuman Elgo masih dapat Sia putar didalam otaknya, dari bibirnya yang melengkung menyerupai bulan sabit, sampai matanya yang hampir menyipit karena terlalu menunjukkan ekspresi yang enak dipandang. Membayangkannya saja membuat pipi Sia merona malu, ia tersenyum lagi, lalu tangannya beranjak dan berhenti di pipinya yang mulus, dan Sia merasakan pipinya hangat. Cebikan bibir baru saja lolos dari bibir Elin, bola matanya mengerling ke samping, menatap Sia dengan senyuman yang masih belum pudar juga, ada apa dengan gadis itu? Jangan bilang kalau Sia sudah kerasukan setan dan senyum-senyum kayak orang gila?! Elin membulatkan matanya, ia lalu menepuk pundak Sia sekali, dan sejurus kemudian gadis itu segera menoleh dengan cepat. Menghela napas lega karena pikiran negatifnya itu sama sekali tidak terungkap, Elin lalu tersenyum pada Sia. Rupanya gadis disampingnya ini masih dalam keadaan baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN