01. KENYATAAN PAHIT
"Disaat aku senang, kau juga turut merasakan senang. Tetapi, disaat aku tengah bersedih, apakah kau mengalami hal yang sama?" ~ Jessia Kaula Rinjani
***
Seorang gadis berambut cokelat gelap tengah menikmati senja pada sore hari. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Gadis itu memejamkan mata, merasakan udara segar yang senantiasa menusuk pori-pori kulit. Sesekali rambutnya yang bergelombang itu mengikuti arah angin yang pergi entah kemana.
Dengan pakaian dress sedengkul berwarna putih lusuh dan telapak kakinya dibiarkan t*******g bulat tanpa ada pelindung, gadis ini tengah meringkuk diatas padang rumput hijau yang lumayan luas dan asri.
Segelintir senyum getir terpatri dibibirnya, entah senyum yang menggambarkan tentang apa. Matanya yang sayu masih memandangi langit yang sudah membuat lukisan abstrak dengan warna yang sudah tercampur rata menjadi satu. Kawanan burung yang terbang membuat langit itu tambah ramai. Tidak seperti gadis ini yang selalu dalam kesendirian yang tiada ujungnya, kesunyian yang selalu menghantamnya, dan kesedihan yang turut larut dan hadir menemani hari-harinya yang pilu.
Jessia Kaula Rinjani. Itulah namanya. Biasa disapa Sia. Gadis bertubuh mungil yang selalu menampakkan mimik wajahnya yang ceria, namun kini berbeda, dia tidak seperti dulu lagi. Kian hari kian memburuk, Sia kini menjadi pribadi gadis yang penyendiri, tidak suka bergaul dengan teman-temannya, selalu tampak tegar bila dihadapan orang lain, tetapi nyatanya sangat bertolakbelakang. Dia gadis yang rapuh, penuh dengan kesedihan dan kepedihan yang larut kian membuncah.
Sebuah benda usang diambil dari saku kecil yang berada didress miliknya. Ia mengusap benda itu dengan lembut lalu tersenyum sinis setelahnya. Sia memejamkan mata, memeluk benda itu dengan dekapannya. Dengan pelukan eratnya, Sia tidak bisa menahan betapa perihnya hatinya ini. Perihnya tidak sebanding dengan goresan pisau yang melukai tangan.
Bulir cairan bening meluncur begitu saja dari kelopak matanya yang sendu. Sia tidak ingin menangis, ia tidak ingin menangisi hal itu. Tetapi, nyatanya sangat sulit, perasaannya sangat hancur.
"Kenapa kamu pergi ninggalin aku, El?" ucapnya lirih sembari menyentuh sebuah foto kecil yang berada digenggaman tangannya.
Isakan pilu itu terdengar dari bibir Sia yang tipis. Lagi-lagi ia tidak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian dimana yang mengharuskan Sia untuk rela, rela untuk ditinggal oleh seseorang yang telah memberi warna dalam hidupnya.
Namun, nyatanya tidak bisa sama sekali. Sia tidak bisa melupakan orang itu, terlalu membekas diingatan. Mungkin walaupun Sia mengalami hilang ingatan pun, pikiran tentang sosok orang itu pasti akan tetap setia didalam otaknya.
Tangisan Sia semakin mencuat, ia tidak bisa menahan ini semua. Rasanya ingin menyusul dia yang telah pergi. Tetapi, Sia masih ingin menjalani hidup sebagaimana mestinya.
Tempat ini menjadi saksi bisu awal kesedihan Sia dimulai. Ia tidak akan bisa melupakan tempat dimana dirinya menerima kenyataan pahit dari seseorang yang dicintainya.
Sia tidak tahu, inilah garis hidup yang diberikan oleh Tuhan untuk dirinya atau Tuhan hanya sedang menguji ketegarannya. Sia berharap, jawaban kedualah yang kini tengah dijalani. Sia tahu, bahwa setiap ujian yang Tuhan berikan untuk hambanya pasti ada hikmah dan kesenangan yang bisa didapatkan setelahnya.
Tetapi, Sia belum tahu apakah inilah garis hidupnya atau sebatas ujian yang Tuhan berikan untuknya. Sia menengadah kepalanya keatas agar air matanya tidak terus menerus membanjiri kedua pipinya.
Matanya ia pejamkan sesaat, menghirup udara segar disenja yang sangat indah ini.
Tidak terasa waktu bergulir begitu cepatnya. Seringai semburat gelap mulai mengisi langit yang semulai berwarna kuning kemerahan. Sia bangkit dari duduknya, membersihkan bagian bokongnya yang mungkin kotor.
Rambut yang tertiup angin hingga menutupi wajahnya disilahkan dibelakang telinga. Ia mulai tersenyum kecil.
Sia. Gadis yang bisa memiliki kepribadian yang labil. Sia merasa menjadi gadis paling memilukan yang ada didunia, namun sedetik kemudian ia merasa menjadi gadis yang sangat bahagia.
Sia mendesah, menghembuskan napasnya dalam-dalam. Ia mulai berjalan meninggalkan padang rumput yang asri ini.
Telapak kakinya turut merasakan hawa dingin. Ya, Sia tidak mengenakan sepatu atau sandal untuk sekadar melindungi kakinya dari benda tajam atau hawa dingin yang menusuk kulit.
Sembari berjalan menuju rumah kecilnya, Sia memeluk dirinya rapat-rapat. Ditemani lampu temaram yang berkelip di kota Jakarta yang luas ini.
Sia selalu berdoa kepada Tuhan agar tidak menitikkan rasa kehilangan yang hinggap dihatinya atas kepergian laki-laki yang memberikan sekulum senyuman hangat. Memang sulit rasanya. Tetapi, Sia akan terus berusaha, berusaha agar tidak terjebak dalam masa lalunya yang kelam.
Sia harus bisa bangkit dari keterpurukan karena masa depan yang cerah sudah menunggunya disana. Masa lalu memang menyakitkan, semakin kita merasakan sakit, semakin pula masa lalu itu membekas diingatkan. Seperti yang tengah dialami Sia sekarang ini contohnya.
Kurang lebih sudah sepuluh menit lamanya Sia berjalan diantara gemerlip lampu kota yang menyinari gelapnya malam hari. Entah kenapa, malam ini sangat jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya, seakan tengah menjalani keterpurukan yang sama seperti Sia jalani. Malam seperti menyambut dan memihak pada Sia.
Bintang yang biasanya turut hadir mengisi kekosongan dan kesunyian langit kini hilang dan pergi entah kemana. Terangnya cahaya dari bulan pun hilang ditelan oleh gumpalan awan hitam.
Ya, kini langit sedang bersedih. Mungkin tidak lama lagi ia akan mencurahkan air matanya. Sia mengambil langkah panjang-panjang, tidak mau merasakan rintiknya hujan. Angin semilir menerbangkan rambut panjang dan dress yang Sia pakai.
Hawa semakin dingin dan terasa lebih mencengkam, Sia tersenyum samar ketika rumah kecilnya sudah berada dihadapannya. Rumah itu tampak sangat tua dan usang. Lampu masih belum menerangi sudut demi sudut ruangan.
Sia berdecih dan lantas mengambil kunci yang diletakkan di bawah pot bunga. Sia lantas mengambilnya dan segera membuka pintu.
Terdengar suara decitan pintu dibuka, Sia mulai melangkah masuk dan tidak lupa mengucapkan salam. Saklar lampu ia tekan, sedetik kemudian seluruh ruangan telah mendapatkan setitik cahaya. Memang tidak seterang lampu-lampu mewah di hotel maupun di apartemen mewah. Namun, setidaknya Sia beruntung dengan lampu redup yang selalu menemaninya dimalam hari.
Sia berdecih, menghembuskan napas pelan. Kini suasana sangat bertolakbelakang dari keadaan diluar sana. Kini Sia merasa hawa panas, keringat peluh mulai keluar dari leher dan pelipisnya. Sia bangkit dari kasur dan mengambil handuk yang bergelantungan dibalik pintu.
Air dingin mulai menyegarkan tubuh mungil Sia, dia mulai merasakan tubuhnya lebih fresh akibat air dingin yang mengguyur badannya. Sepuluh menit kemudian, Sia merebahkan badannya di atas kasur.
Sayup-sayup matanya mulai terpejam seiring guyuran rintik hujan yang menghantap jendela kamarnya. Sia tertidur dengan nyaman, walaupun sepanjang hari kesedihan terus menghantui raga mungilnya itu.