"Perasaan dari tadi lo garuk-garuk b****g mulus deh? Kenapa lo? Kesemutan atau ada semut yang gigit, mau gue garukin?"
Tingkah aneh Elgo sukses memancing Raja, cowok itu lantas bertanya, matanya terus terarah pada tangan Elgo yang masih saja lincah menciptakan gerakan naik turun di pantatnya.
"Iya tuh, boleh banget, buruan nih garukin, yang enak, ya?"
Setelah berkata sedemikian rupa, Elgo segera menodongkan pantatnya pada Raja, kedua lututnya bertumpu pada kursi yang beberapa detik yang lalu ia duduki, secepat kilat setelah p****t Elgo ada di hadapannya, Raja langsung mengikuti anjuran dari Elgo, menggaruknya dengan sangat santai, sesekali ia bertanya letak area yang diadakan gatal oleh Elgo.
"Udah belum?"
Raja sudah menggaruk p****t Elgo sekitar dua menit, tingkah kedua cowok itu mendapati tatapan menyelidik dari teman sekelasnya, hampir semuanya tertawa dengan tingkah kedua cowok itu, namun Elgo dan Raja bersikap seperti biasa, tidak terlalu peduli memikirkan itu, malahan Elgo maupun Raja sesekali ikut tertawa.
"Dikit lagi, yang ini dong Ja," kata Elgo sambil menunjukkan area p****t yang gatal, setelah mengangguk satu kali, Raja segera menggerakkan tangannya.
Beberapa menit kemudian keduanya sudah duduk seperti sedia kala, Elgo tersenyum pada Raja sambil menepuk bahu cowok itu satu kali.
"Makasih Ja, lo emang the best deh," puji Elgo, mengedipkan satu alisnya dengan manja.
"Siapa dulu? Raja gitu lho. Gimana, enak nggak garukan tangan gue?" Raja menaikturunkan alisnya, dan dijawab dengan anggukan antusias dari Elgo.
"Iya, lo jadi pekerja garuk p****t cocok banget tau, itung-itung selingan lo sekolah, lumayan dapet duit buat bayar SPP, lo boleh nyoba itu Ja," saran Elgo, ia menggeser kursinya agar lebih dekat dan nyaman berbicara dengan teman bangkunya itu.
"Iya deh nanti gue coba, siapa tahu ada yang minat, kan?"
"Nah bener itu." Elgo menjentikkan jari tangannya.
Setelah itu, keduanya sama-sama berdiam diri, hening menyelimuti situasi kali ini. Raja yang tak suka dengan itu langsung memecah keheningan.
"Eh Go, ngomong-ngomong kenapa p****t lo bisa gatel gitu, masa semut bisa masuk ke sana sih?"
Elgo mencerna ucapan Raja dengan maksimal, walaupun sebelumnya agak bingung, lalu ia paham dan langsung menjawab dengan cepat.
"Nggak tau juga sih, mungkin gara-gara gue pakek punya nyokap gue kali. Gila nggak? Gue kehabisan sempak njir, gue nanti beli deh, kudu stok yang banyak nih, secara ini kan, lagi musim hujan."
***
Bergegas, Sia memasukkan semua bukunya ke dalam tas, bunyi bel tanda pulang sekolah sudah bernyanyi, memberi isyarat agar semua siswa dan siswi boleh pulang ke rumah masing-masing, setelah semuanya sudah lengkap, Sia langsung menggendong tas punggungnya.
"Gue udah siap, yuk pulang!" Elin menoleh pada Sia, lalu ia mengangguk satu kali, secara bersamaan kedua gadis itu mengangkat bokongnya dari kursi dan mulai melangkah maju dengan kompak, beriringan.
Saat berada di ambang pintu kelas, Sia mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk meminta jawab dari Elin karena sahabatnya itu menepuk pundaknya.
Elin diam tak bersuara, ia hanya menunjuk sesuatu dengan dagunya, dahi Sia sedikit berkerut, dengan ragu ia pun menoleh ke samping, begitu tatapannya sudah sampai dititik itu, betapa terkejutnya ia saat mendapati Elgo tengah menatapnya sambil tersenyum manis, punggung bidangnya ia sandarkan di pintu, tangan kanannya melambai ke arah Sia.
Dengan kikuk, Sia membalasnya dengan senyuman yang terkesan dipaksakan, entahlah, setiap berdekatan dengan Elgo ia selalu merasakan canggung. Dan ada perihal apa cowok itu datang ke sini?
"Kak Elgo mau ngapain ke sini?" Masih ragu, Sia akhirnya bertanya, ia menunggu jawaban dari Elgo sambil menundukkan wajahnya.
"Mau ketemu sama elo lah, mau ketemu sama siapa lagi emangnya?"
Sia segera mengangkat kepalanya, keningnya berkenyit tanda ia bingung. Tak mau terus dilanda rasa penasaran, Sia memutuskan untuk langsung bertanya.
"Ketemu aku? Mau ngapain? Ini udah waktunya pulang, maaf kak, aku mau cepet-cepet balik."
Ucapan Sia seratus persen sukses di dukung oleh Elin, gadis disamping Sia mengangguk satu kali, membenarkan perkataan sahabatnya. Ini memang waktunya pulang, mereka berdua harus cepat sampai didepan gebang sekolah, jika tidak, mereka sendiri yang akan kewalahan mencari keberadaan angkutan umum.
Sia sudah memegang tangan Elin untuk segera menyeretnya berjalan, namun cekalan Elgo membuat Sia urung melakukan hal itu. Sia lalu berbalik badan, bersamaan dengan melepaskan tangan Elin yang masih dibungkus oleh tangannya. Sepasang manik mata Sia terus beradu dengan mata Elgo.
"Tunggu dulu, cowok ganteng ini mau balik sama lo, kasihan jok belakang motor gue udah berdebu soalnya jarang ada yang isi, lo mau, kan? Jangan bilang tidak, lo harus nurut, kalau nggak nurut gue bakalan nangis nih."
Sia sedikit meringis, ia lalu memandangi Elin yang juga menatapnya, Elin kemudian mengangguk sekali, sedetik setelahnya ia berkata, "ya udah gue balik dulu, ya?"
Elin tersenyum lebar, tatapan beralih pada Elgo, sebelum berbicara, Elin sudah mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
"Aku titip temen kak, awas jangan sampe lecet, bawa cewek harus hati-hati," pesan Elin menggebu, ia menghirup udara lagi, selepasnya ia langsung melanjutkan kata-katanya, "Sia, gue balik dulu ya, dadah."
Tiba-tiba saja Sia merasa tidak enak hati, ia mau berkata, namun Elin sudah pergi menjauh, alhasil perkataan tadi hanya sampai diujung lidah dan tidak jadi terucap.
"Ya udah nunggu apa lagi, ayo pulang kak, aku mau cepet-cepet sampai rumah," ujar Sia sembari menarik-narik ujung seragam Elgo, cowok tampan itu mengangguk, lantas ia mulai berjalan dan diikuti oleh Sia dari belakang.
Sesampainya di parkiran sekolah, Elgo tersenyum sekilas, dengan cepat ia mengeluarkan motor vespanya dari sana.
"Ini pakai," perintah Elgo setelah mencabut helmnya yang semula bertengger dijok belakang, Sia masih menatapnya, tidak mengambil benda itu. Terlalu canggung.
"Kenapa? Oh gue tau, lo mau gue pasangin? Ya udah sini. Untung gue cowok peka."
Elgo menarik lengan Sia, dengan sigap ia mulai memasangkan helm itu ke kepala gadis dihadapannya ini, tinggi Sia yang hanya mencapai pundaknya dapat memudahkan Elgo melakukan itu. Selepas itu, ia tersenyum, tangan kekarnya kembali merapikan helm yang sudah bertengger dikepala Sia.
Elgo lalu baralih memasang helm untuk dirinya sendiri, tidak butuh lama ia susah siap dan mulai mendudukkan bokongnya di jok, Sia tidak langsung naik, entah kenapa ia justru merasa malu. Sampai Elgo yang menyadari kalau jok belakangnya belum terisi, secepat kilat segera menoleh ke belakang.
"Tunggu apa lagi, ayo!"
"Eh, iya kak."
Ragu-ragu Sia duduk di sana. Menit berikutnya motor vespa itu sudah melaju meninggalkan sekolah dan menyambut kepadatan jalan pada sore ini.
Sengaja, Elgo memelankan laju motornya, dan entah sebab apa ia bertindak seperti ini, hanya saja ia nyaman berdekatan dengan cewek yang sedang duduk manis dibelakangnya.
"Kak, cepetan dikit lah nyetir motornya." Sia berdecak sebal, ia menepuk pundak Elgo, dan sedetik setelah itu Elgo memiringkan kepalanya, walaupun ia tidak melihat wajah gadis di boncengannya ini, Elgo sudah menebak bahwa Sia sedang menahan amarahnya.
Membayangkan itu membuat Elgo terkekeh sebentar, ia kemudian berkata, "gue bakalan cepet naik motornya, tetapi ada syaratnya." Sudut bibir Elgo naik, tersenyum remeh.
"Apaa?" Tak mau berbasa-basi, Sia langsung bertanya dengan nada suara yang naik beberapa oktaf dari sebelumnya.
"Pegangan, nanti jatuh. Gue takut lo lecet kalo jatuh nanti, bisa-bisa gue dijadikan umpan burung hantu oleh teman lo itu. Gue nggak mau, ya?"
"Modusnya kentara banget," kata Sia bersama dengan bola matanya yang memutar dengan malas.
"Lama amat sih, buruan peluk tubuh gue, nggak bau kok, cuma sedikit kena kotoran cicak tadi di kelas."
"Ha? Apa kak? Aku nggak denger soalnya suaranya berisik banget." Di belakang, Sia berteriak keras hingga membuat Elgo membuang napasnya dengan kasar.
"Nggak pa-pa, buruan peluk." Tak ada sahutan dari Sia, Elgo yang tak sabar langsung menyambar tangan Sia dan melingkarkannya dibadan tegapnya, Elgo kemudian tersenyum dengan lebar, mulutnya terlihat hampir sobek.
Sia yang tak menyangka Elgo melakukan hal itu langsung mengerjap, tergagap di tempat. Pegerakan Elgo sangat cepat sampai ia terkejut sendiri. Berulang kali Sia meneguk ludahnya, pacuan degup jantungnya sudah melebihi batas normal manusia biasa. Karena terlalu canggung, Sia memejamkan matanya, bibir bawahnya ia gigit dengan keras.
Sia membisu, tak berani berkata lagi, fokusnya sekarang hanya pada napasnya yang terdengar sangat menderu, bersikeras ia menetralkan agar kembali berjalanan dengan normal seperti sedia kala.
Menit berikutnya, kuda besi milik Elgo melaju dengan kencang, saking cepatnya Sia sampai tak menyadari bahwa tangannya semakin erat melingkar di badan kekar Elgo, kepalanya menyandar dipunggung tegak cowok itu. Tingkah Sia seperti ini sukses membuat Elgo seperti orang gila, senyum-senyum sendiri, tak mungkiri, darahnya berdesir dengan halus, hatinya menghangat.
Setengah jam berlalu, Elgo memberhentikan motornya, helm yang masih setia terpasang dikepalanya kemudian ia lepas.
Sia yang masih bingung memutuskan untuk melepas helm dan mulai bertanya pada Elgo. Kenapa cowok itu membawanya ke tempat ini? Kenapa tidak mengantarkan Sia ke rumahnya?
"Kak, aku mau balik, kenapa kakak malah bawa aku ke sini? Aku nggak mau ikut kakak ke sana, nunggu di sini aja, tapi kak Elgo harus cepet balik, di sana jangan lama-lama, soalnya aku nggak suka nunggu."