10. DIARY

1160 Kata
"Hanya dengan cara seperti inilah aku dapat mengingat namamu, walaupun ragamu masih menyisahkan bayangan, tetapi aku akan selalu menunggu." *** Dibukanya lembar demi lembar buku lusuh berwarna cokelat yang berada dihadapannya, Sia terduduk di kursi, membaca dengan santai diary miliknya. Apapun hal yang sangat menarik dalam hidupnya, ia pasti akan membaginya ke dalam tulisan agar kelak ia bisa membacanya ulang dan tidak akan pernah lupa akan peristiwa itu. Sia mulai mengambil pulpen, lalu sedetik kemudian mulai menggoreskan tinta pulpen di kertas kosong diary itu. Kisah hari ini membuat Sia ingin sekali menuangkannya. Entah sebab apa itu, yang pasti Sia sangat terobsesi. Rabu, 4 September 2019 Hari ini, perasaan aku sungguh dibuat campur aduk oleh kak Elgo. Disatu sisi, aku sungguh ilfeel melihat tingkahnya yang terbilang aneh itu. Tapi, bila dipandang dari sisi yang berlawanan, aku sedikit terhibur lewat tingkah konyolnya. Aku berpikir sejenak, bagaimana bisa dia bertingkah seperti itu? Kalau saja sikapnya yang sepadan dengan ketampanan wajahnya, pasti akan lebih banyak siswi di sekolah yang menyukainya. Tapi, walaupun begitu, kak Elgo juga masih saja digenderungi oleh banyak cewek-cewek di sekolah. Terutama kak Sashi, aku tahu, pasti dia suka sama kak Elgo. Entah karena apa aku menulis tentang cowok itu, aku hanya tertarik saja. Tingkahnya kadang membuat perutku terasa seperti digelitiki oleh sesuatu. Ya, walaupun aku hanya melihatnya baru beberapa kali. Kak Elgo, mengingat nama itu, aku jadi teringat Elgi, kekasihku dulu. Aku memang belum putus dengan dia, tetapi mau bagaimana lagi? Dia pergi tanpa sebab, aku berusaha mengorek informasi, tetapi sama sekali tidak kunjung berhasil menemukan sebuah jawaban. Titik terang belum bisa aku dekap. Tak apa, mungkin Tuhan sudah merencanakan ini semua, yang hanya aku lakukan tinggal menunggu saja. Aku yakin, pada masanya aku akan dipertemukan lagi dengan Elgi, entah kapan itu. Aku harus percaya. Kak Elgo sungguh terlihat berbeda dari Elgi. Oke, aku tahu kalau aku tidak berhak menyamakan dua cowok yang berbeda. Semua orang punya sifat tersendiri. Tetapi, entah karena apa setiap aku melihat dan mengingat wajah dan namanya, aku sungguh berharap Elgi-ku akan kembali lagi. Sampai kapanpun, aku tidak akan melupakan Elgi, orang yang benar-benar sudah memberiku sebuah warna di dalam jiwa dan ragaku. Jessia Kaula Rinjani Sia tersenyum dengan lebar, ia lalu membaca ulang hasil tulisannya, setelah itu dengan cekatan Sia menutup diary berwarna cokelat itu. Dan seperti biasa, ia meletakkan ditempat semula agar nantinya tidak kesulitan mencari jika membutuhkannya lagi. Sia sadar, kadang dirinya pelupa menaruh barang. Kasur empuk di sampingnya sudah menyapa Sia untuk segera berbaring dengan nyaman, Sia tersenyum sesaat, lalu memutuskan untuk berdiri dari kursi dan menyeret kakinya untuk mendekati kasur. Setelah kakinya sudah sampai di sana, Sia segera merangkak naik, dan ia pun mulai merebahkan badannya begitu saja, tak pula, selimut tipis bergambar beruang selalu Sia tempatkan disamping. Udara malam selalu saja menyapanya lewat celah jendela dan tanpa izin masuk ke dalam kulit Sia sampai menusuk pori-pori. Dan, tak butuh waktu lebih, Sia sudah memejamkan matanya, menyapa Elgi-nya lewat mimpi, ia tidak perlu khawatir lagi, Elgi setiap hari pasti menyempatkan diri untuk mampir ke mimpi Sia. Dan Sia berharap, mimpi itu akan berubah menjadi sebuah kenyataan yang sangat mengharukan. Ya, bertemu dengan Elgi yang sesungguhnya. Keesokan paginya. Pagi ini, pagi yang selalu menyebalkan bagi seluruh kelas XII IPS 2, bagaimana tidak? Pelajaran matematika yang diajar oleh Pak Rozi sungguh menyebalkan. Bukan, guru itu bukan guru killer seperti guru matematika pada umumnya, guru satu ini cukup terbilang lain. Dan kelainan itu sungguh membuat para siswa mendesah berat, rasanya malas jika bertemu dengannya. Elgo sama sekali tidak merasa keberatan, ia sebenarnya juga sama seperti teman kelasnya yang lain, merasa gerah jika guru satu ini sudah melangkah memasuki kelas. Tetapi, Elgo bisa menjahili Pak Rozi. Dan terkadang, lewat keusilannya itu membuat teman-temannya sedikit terhibur. Dan ini anggap saja sebagai penyalur rasa suntuk nan bosan oleh pelajaran horor itu. Baru saja dibicarakan, guru cungkring itu sudah memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Menyebalkan sekali. Datang selalu tepat waktu, dan yang lebih menjengkelkannya lagi, Pak Rozi sering datang sebelum bel masuk. Dan yang lebih parah dari apapun, guru matematika itu susah sekali di suruh keluar kalau jam pelajarannya sudah habis. Ketika Pak Rozi sudah mendaratkan bokongnya di kursi kebanggaannya, banyak siswa yang sudah membentuk kertas menjadi bulatan kecil karena remasan tangannya, ada yang mendesah berat, menggerutu di tempat, dan yang lain berpura-pura memasang ekspresi tersenyum lebar. Catat! Ini hanya pura-pura semata. Setelah mengucapkan salam pembuka, Pak Rozi seketika bangkit dari kursinya. Dan tak lama kemudian guru itu mulai berjalan berlenggok menyusuri bangku demi bangku. Tatapannya yang terbilang sangat menjengkelkan itu sudah ia tunjukkan. "Kemarin sudah sampai mana?" tanya Pak Rozi dengan tegas, ditatapnya satu persatu siswa dan siswi dihadapannya. "Udah sampai Milo pak, setelah ini gantian Elgo," ucap salah satu siswa, tak lain dan tak bukan adalah ketua kelas. Jika sang ketua kelas tidak menyahut, semua penghuni ruangan ini akan menutup mulutnya serapat mungkin. Dan ingat, ini bukan takut terhadap guru nyebelin itu, tetapi hanya saja malas meladeni sikapnya. Aneh dan bikin kesal setengah mati. "Kok gue sih, gue nggak bawa hape tau." Elgo berseru protes. "Ya udah pinjem temen kamu tuh!" Pak Rozi membalas, membuat Elgo mendesah berat. Tak ada alasan lagi, Elgo menurut saja, lagipula ini bukan ponsel miliknya, dan ponsel milik Raja yang akan menjadi korban selanjutnya. Merasa sudah yakin dan pasti, Raja memalingkan mukanya sembari menggerutu, tak lupa ia juga mengepalkan tangannya. Dia tahu, pasti Elgo mau meminjam ponsel miliknya. Tak punya alasan lagi, Raja pasrah dan mulai menyerahkan ponselnya tanpa dikomando lagi, padahal Elgo sama sekali belum mengucapkan sepatah kata pun. Raja benar-benar sahabat yang peka. "Eh Ja, padahal gue tadi mau pinjem hape milik Tomi loh, eh taunya lo udah ngasih. Makasih deh, elo pengertian banget!" Elgo berbisik, tersenyum ceria di samping Raja, dan reaksi Raja setelah mendengar kata-kata itu langsung mengumpat segala arah. "Nyebelin lo ah." Umpatan dari Raja sukses membuat Elgo terkikik geli, sahabatnya itu sungguh emosi. Bukan masalah besar memang, Elgo juga sama seperti Raja, oleh karena itu ia pura-pura saja mengatakan tidak membawa ponsel. "Ini pak, saya udah dapet hapenya, mulai sekarang apa gimana?" tanya Elgo begitu santai, mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap Pak Rozi untuk menunggu jawaban dari guru itu. Tercetak begitu jelas senyuman guru matematika itu, Elgo tak masalah melihat itu karena ini hanya ponsel milik Raja. "Iya, sekarang aja. Buruan buka!" "Siap pak, tunggu bentar," ucap Elgo, lalu mulai menekan tombol ponsel milik Raja, dan seketika layar yang gelap berubah menjadi terang menyala. Elgo tersenyum riang, lalu mulai membukanya, "eh pak, hape Raja nggak pakek sandi nih," adu Elgo sembari menunjukkan benda pipih itu tepat dihadapan Pak Rozi. Tatapan Pak Rozi setelah melihat itu langsung menghunus ke arah Raja, sementara Raja sudah meneguk salivanya dengan susah payah. Emang nyebelin lo Go, awas aja nanti! Raja berucap dalam hati, memaki Elgo begitu saja, apalagi ketika mata Raja menangkap sahabatnya itu cengesesan bak bayi yang tak punya dosa. Menyebalkan sekali. Rasanya Raja ingin melempar Elgo ke dalam kolam kodok yang berasa di belakang sekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN