"Bagaimana, Alan? Kamu akan masuk dalam daftar pencarian yang paling banyak di situs-situs ternama."
"Hmm ... akan saya pikirkan secepatnya, Sir."
"Baiklah, tapi jangan terlalu lama. Ingat kau salah satu pegawai yang ku dukung penuh."
"Terima kasih, Sir."
"Oke Alan. Sampai bertemu di kantor."
Klik!
Brak!
Kuhempaskan bagian bawah anggota tubuhku kembali pada keempukkan sofa. Mengabaikan Andrew dan Future dengan jenis tatapan bertanya mereka.
"Mr. Jazz?" tanya Andrew pada akhirnya.
"Hum."
"Mukamu menunjukkan kesengsaraan dalam hidup dan kehidupan. Ada sesuatu yang kurang baik?"
Aku mengusap wajah, malas. Lantas menghadap Andrew sembari memasang tatapan tajam padanya.
"Bahasamu itu loh, And," protesku.
Kesengsaraan dalam hidup dan kehidupan? Bah, apa-apaan itu!
Di sebelahku, kadal buntung itu terkekeh sejenak.
"Mr. Jazz bilang apa?"
"Dia mengajakku mengerjakan proyek D dengan kontrak eksklusif dan mengalahkan Benzie melalui koneksinya."
"Oh? Wow! Terdengar sangat menggiurkan."
Sesuai dugaanku, Andrew pun bahkan histeris mendengarnya. Itu mengapa aku sempat ngebug sampai beberapa saat karena tawaran yang jarang-jarang ini.
"Kau dijanjikan akan menang dengan mengandalkan koneksinya. Wah ... kupikir ini sudah melibatkan taktik licik. Langsung main orang dalam."
Itu yang kupikirkan, kenapa tiba-tiba?
Sementara selama ini, Mr. Jazz terlihat sangat menyayangi Bensin itu. Mengagung-agungkannya, dan memberi perhatian penuh seolah dia adalah putranya sendiri.
Tapi, tadi apa itu?
"Bukan dijanjikan akan memang tapi, sebisa mungkin dia akan membantuku melalui koneksinya?"
Aku mengendikkan bahu asal.
Ntahlah!
Sesukanya saja. Disaat otakku sedang pusing memikirkan Future kenapa harus ditambah beban pikiran lagi sih. Sepertinya pekerjaanku setiap hari, setiap saat hanya berpikir-berpikir dan berpikir.
Huh!
"Tapi, Al. Bukankah ini terlihat sangat ganjil?" celetuk Andrew lagi.
Aku menjungkitkan salah satu alisku, seolah bertanya melalui tatapan.
"Yeah, ini sangat tiba-tiba dan menyiratkan makna yang lain?!"
Seketika posisi dudukku berubah tegak. Menatap lurus pada Andrew yang diam di tempatnya.
"Kau juga memikirkan hal itu?"
Dia mengangguk. "Bukan hanya satu atau dua bulan aku mengenal Mr. Jazz. Dia tipe orang pemilih dan terencana. Dan Bensin si baba itu sudah menjadi anak emasnya sejak negara api menyerang."
Dengan riwayat bekerja di Doujav Corp yang lebih lama dariku. Sudah pasti Andrew mengetahui beberapa fakta penting kan. Jadi seharusnya aku tidak usah sekaget ini. Toh, dia juga manusia jenius berkedok kadal kadang buaya, bahkan tak jarang pula menjadi gembel.
Karena Amdrew adalah pribadi yang sederhana dan apa adanya. Tampilan kasual sehari-harinya lebih terlihat seperti orang awam yang tak tahu apa-apa. Padahal akalnya berisi bukan main.
"Pasti ada rencana lain yang dia rencanakan dengan siasat busuknya itu," cetus Andrew bar-bar.
"Seekor singa si raja rimba yang ganas, akan memangsa siapa saja untuk memenuhi isi perutnya. Dan kancil itu, tidak akan pernah kehilangan akalnya demi mengelabui musuh asalkan dia menjadi pihak yang diuntungkan."
Yang berarti : Kekuasan dan tahta berada di tangan Mr. Jazz. Doujav Corp membutuhkan manusia-manusia cerdas untuk menaikkan namanya dan nama perusahaan. Meski menggunakan cara apa pun.
Dan kecerdikkan yang dimiliki kancil pun turut menjadi keahlian Mr. Jazz secara mutlak.
Bagaimana dirinya di masa lalu pernah membuat presiden bertandang ke perusahaannya secara pribadi saat itu, tentunya tidak mudah.
Dan diakhir pertemuan itu, pemimpin nomor satu di Indonesia pada masanya saat itu menjadi penyuntik dana terbesar di Doujav Corp.
Dari sana, kita bisa melihat seahli apa seorang Mr. Dourelio Jazz Vranks dalam mencuci otak seseorang.
"Sementara anak ayam tidak semudah itu menggigit kaki kancil dan singa," sambungku pelan.
Andrew menganggukkan kepala sembari memainkan alisnya.
"Lalu, apa yang akan kau katakan padanya sebagai jawaban, Al?"
Aku menggeleng, "Tidak tahu."
Memangnya jawaban apa yang bisa kuberi, selain menerima?
Opsi menolak terlalu beresiko.
Ya ampun, deritaku sebagai pegawai.
"Menurutmu? Apa ada cara lain selain dengan menerimanya?"
Andrew menggeleng. "Tanyakan saja pada Future, mungkin dia tahu?"
Praktis arah pandanganku beralih pada gadis seorang diri di sana.
"Dayaku akan segera habis, George. Mohon dicharge terlebih dahulu."
Tapi sahutannya malah begitu. Di sebelahku, Andrew terkikik geli sampai memegangi perutnya.
Apa sih yang lucu?
"Ck, kau juga. Kenapa harus lowbatt disaat-saat aku bertanya. Kenapa tidak nanti saja atau dari tadi kek sekalian," omelku.
"Maaf, George."
"Ayo, kuantar kau mengisi daya dulu," ucap Andrew. Lalu bangkit dari duduknya dan menggandeng sebelah tangan Future.
"Huh ..."
Kenapa persoalan baru harus muncul disaat persoalan yang sebelumnya saja masih membuatku bingung. Seolah waktu memang tak mengizinkanku untuk berleha-leha barang sejenak saja.
Masalah robot dan lain sebagainya pun masih ngambang di kepalaku. Sekarang, tawaran uang datang dari Mr. Jazz begitu sayang dilewatkan.
Tapi, ya Tuhan ya Tuhan ... aku masih membutuhkan biaya untuk kuliahku. Pun membayar sewa, makan sehari-hari, belum lagi riset dengan biaya tambahan untuk memulai proyek skripsiku nanti.
Beginilah kalau hidup di tanah rantau yang jauh dari orang tua.
Apa-apa serba sendiri, segala sesuatunya bisa atau tidak harus tetap bisa. Mengolah keuangan sendiri, mencukupkan penghasilan agar tak kekurangan.
Mandiri!
Sampai pada, ide merantau ke kota orang sempat membuatku hampir stress.
Untung saat itu, aku bertemu kadal air yang cerdas ini. Ya, Andrew.
***
Bug!
"Al."
Aku yang sedang mengetik di laptop pun seketika berhenti karena tepukkan di sebelah pundakku.
"Apa? Jangan mengacaukan urusanku lagi."
"Ck, kau ini judes sekali sih, Al. Macam anak perawan minta kawin saja." Kalimat semprul Andrew.
"Mau apa kau? Aku sedang sibuk sekarang."
"Hanya ingin menanyakan beberapa hal penting, Bro. Kenapa sih, sensi amat kau ini?"
Di tempatnya, Alan menghela nafas.
"Ya iyalah, kehadiranmu selalu saja disaat-saat yang tidak tepat. Padahal kedatanganmu pun tak begitu penting. Bahkan sangat tak menguntungkan sedikit pun," sarkas Alan.
Andrew memutar bola matanya, malas.
"Kadang-kadang mulutmu itu memang sepedas wasabi dan lebih tajam dari silet ya, Al."
"Iya!"
Well, Andrew tahu kenapa Alan sejutek ini padanya hari ini. Sebab, pada malam sebelumnya ia datang ketika Alan sedang mengorek dalam-dalam informasi tentang Future.
Ingat, pada saat Future berkata menemukan sinyal yang ia kenali berada di dekat mereka waktu itu? Kemudian ia yang beranjak dan membuka pintu. Lantas, kalimat sapaan berbunyi, "Hai, Alan." terdengar.
Adalah Andrew yang muncul bersama dua buah kantong kresek putih di sisi kanan dan kiri tangannya.
"Jangan bilang kau mau mengajakku membicarakan hal tidak penting lagi. Mau menginap? Huh?" Suara Alan terdengar nyalang.
Masih di depan pintu kamar Alan yang terbuka lebar, Andrew merangsek masuk dan membiarkan daun pintu tersebut tetap dalam keadaan terbuka lebar.
"Pikiranmu itu lho, Al. Ya ampun. Berpositif thingking lah sebentar saja padaku."
"Tidak bisa!"
"Atau setidaknya pura-pura terlihat menjadi orang baik atau apalah itu."
"Sulit!"
Dua jawaban berturut yang ketus dan Andrew hanya bisa menghela nafas panjang.
Dahlah, memang apa yang dia harapkan dari seorang Alan yang sialann?
"Aku ingin membicarakan tentang Clava. Masih ingatkan? Keponakkan Mr. Jazz."
Ting!
Ah iya, alarm di kepala Alan berdenting nyaring.
"Oh ya, bukankah kau ada janji dengannya malam ini di rumahku jam sembilan ya?" Alan mulai mengalihkan perhatiannya pada Andrew yang sedang berbaring di ranjangnya.
"Kau bilang kehadiranku mengganggu. Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Kita bicara lagi besok."
Tuk!
Pulpen dalam genggaman Alan pun melayang tepat mengenai kepala Andrew.
Nice shoot!
"Heh kadal! Tidak usah berlagak merajuk kau itu. Katakan, atau kuusir kau dari rumahku."
Dengan berat hati dan tangan yang mengelus prihatin kepalanya, Andrew bangkit.
"Kalau bukan karena dirimu Alan sialann sudah kujadikan makanan hiu kau di laut lepas," gerutu Andrew.
***