Metode-metode dalam merancang sebuah robot rumahan.
Tap!
Enter!
"Starlight, robot terbaik sepanjang sepuluh tahun terakhir."
Begitu judul blog di sebuah situs yang kubuka. Padahal kata kunci yang kucari adalah merancang robot rumahan tapi, lagi-lagi dan lagi karya si Bensin tengil itu yang menghiasi lamanisi beberapa blog hasil penelusuranku. Bahkan sampai ke portal berita televisi.
Kecerdasan Starlight yang mengangumkan. Bukan virtual tapi nyata. Perancangnya, Tuan Benzie yang jenius merupakan-.
Tuk!
Segera kututup layar laptop di hadapanku. Menyebalkan sekali.
Tak lagi tertarik pada mesin pencarian yang tadinya ingin kugunakan untuk mencari referensi mengenai proyek baruku nanti.
"Selalu saja tentang Bensin kurang asem itu!"
Karena semua pembahasan tentangnya, dan membuat moodku semakin down. Lagi pula aku tidak tertarik tentangnya sedikit pun. Walau, yeah ... aku tertarik pada robot buatannya.
Kalau harus menurunkan ego sedikit lagi, boleh diakui kalau robotnya memang sangat keren.
Satu hal yang harus kulakukan!
Berdecak kagum. Pada sosok Starlight yang luar biasa.
"Ah! Kepala departemen Artifical Intelligence dan machine learning!" celetuk Andrew heboh begitu menempelkan pantatnya di sofa sebelahku. Posisinya bahkan mepet-mepet seperti anak tikus.
Sekarang kami tengah berkumpul di ruang tamu rumahku. Dan di sisi sebelah pojok kanan kami, ada Future yang duduk diam. Tenang dengan kedua tangan terlipat. Persis anak TK.
"Kenapa aku juga jadi ikut-ikutan pelupa sepertimu ya, Al. Ck, jelas-jelas Mr. Jazz memperkenalkannya dengan tegas."
Siang ini, sepulangnya dari kampus. Aku sengaja memilih rumah karena berencana rehat sejenak di rumah sebelum tiga puluh menit lagi berangkat bekerja. Tapi, si kadal justru mengikutiku sampai ke dalam kamar.
Dan sejak sepuluh menit lalu dia terus saja berceloteh. Ngomong-ngomong, benar apa yang dikatakannya. Mengenai gadis yang bertubrukkan denganku di lorong kantor waktu itu adalah Megan, kepala departemen AI dan machine learning.
Ingatanku payah sekali!
"Kalau dipikir-pikir sudah dua kali pertemuan tak terduga kalian terjadi karena hal yang sama ya, Al," ucap Andrew.
Uhum, tabrakkan.
"Untung bukan di atas kendaraan, kalau iya bisa-bisa sekarang kau sudah jadi mendiang," sambungnya asal.
Yeah, tabrakkan dengan Megan-Megan itu cukup menyakitkan.
Tidak seperti dalam drama ataupun film, yang begitu saling bersentuhan lalu jatuh cinta.
Hilih!
Karena ...
"Bahumu masih sakit tidak?"
Ya, itu dia!
Kali kedua, dan rasa sakit akibat tabrakkan itu pun cukup aneh. Lebih tepatnya malu. Aku kan seorang pria, masa bisa selemah ini.
Terlebih ia menabrak pada bahu yang sama. Sebelah kiri.
"Sudah kuberi minyak urut," jawabku.
Andrew manggut-manggut di tempatnya. Kemudian, secepat kilat tatapannya bergulir pada Future di sebelah ujung. Jenis tatapan yang biasa kulihat ketika kadal ini sedang fokus bekerja.
Jangan lupa kalau Andrew adalah seorang pro hacker dan cukup terlatih. Terutama instingnya, cepat tanggap.
"Halo Future," celetuknya tiba-tiba.
Nah kan benar, Andrew sedang dalam mode serius.
"Halo Andrew, ada yang ingin kau tanyakan?" jawab Future cepat.
"Wow! Kau bisa membaca pikiran juga?"
"Kami diciptakan dengan nomor seri-UC dan kepekaan yang tinggi. Sehingga mudah melihat sesuatunya untuk memdapatkan data dalam waktu singkat."
"Bagaimana cara kerjanya?" tanyaku ikut dalam pembicaraan mereka.
"Hanya perlu saling kontak mata satu sama lainnya."
"Jadi kau bisa membaca semua data termasuk pikiran seseorang melalui tatapan?"
"Betul, jika dengan benda mati. Kami akan menyentuhnya dan mendapatkan sensor magnetik dari fungsi mesin. Begitupun pada otak manusia. Cara kerjanya hampir sama."
Duk!
"Akh!"
"Ck, kau ini ada-ada saja ya, And. Kaki meja segala ditendang." Sembari tertawa aku berucap.
Oh!
Apa ini?
"Future, kau bisa tertawa?"
Diikuti oleh tatapan penuh Andrew padanya.
"Tentu saja bisa, sistem operasi kami sesempurna manusia pada umumnya. Kalau hanya tertawa itu hal mudah sekali."
"Bahkan cara bicaramu sama seperti manusia biasa yang menggunakan kalimat informal," sambungku.
Lalu, kejadian saat kami bertemu di sungai malam itu pun terlintas. Ya, sejak pertama bahkan gadis ini sudah berbicara santai padaku.
"Hmm ... kau terus saja menyebut dirimu dengan kata kami. Apa kemungkinan makhluk yang sepertimu tidak hanya satu?" tanya Andrew.
Oh iya, benar juga sih.
Dia terus saja berkata "kami" apa ini?
Tiba-tiba, dalam khayalanku muncul muka-muka yang sama seperti Future dalam jumlah lebih dari tiga. Empat? Lima?
Lalu mereka pada merengek memanggil-manggil namaku.
"Selamat pagi George ..."
"Dayaku akan segera habis George."
"Hai, George. Apa harimu menyenangkan?"
"George."
"George ..."
"George!"
Dalam khayalanku yang seperti itu.
Geleng-geleng.
Tidak-tidak!
Jangan sampai ada lagi the future - the future yang lain. Bisa-bisa kena stroke diusia muda aku.
Namun, jawaban yang kudengar malah, "Iya, di bumi ini ada dua yang sepertiku." Begitu kata Future.
Untuk sesaat aku dan Andrew saling tatap satu sama lain.
Teng!
Oh apa ini? Membuat merinding saja.
"Ada dua? Jadi, ada satu lagi yang sepertimu di sini?"
"Iya." Jawaban yang sama dengan intonasi tegas.
"Siapa? Terus kenapa kau tidak ikut dengannya saja? Bukannya kalian sebangsa?! Dan juga akan lebih baik kalau makhluk seperti kalian ini hidup dengan saling merahasiakan jati diri kalian."
"Kenapa, George?"
Oke George bukan Alan. Terserahnya saja lah.
"Kalau sampai manusia jahat yang mengetahui kalian itu bukan manusia biasa, kalian bisa diperlakukan dengan tidak baik. Kau mau hidupmu hanya dimanfaatkan dengan cara semena-mena?"
Future menggeleng.
"Kenapa kau peduli? Apakah George mengkhawatirkanku?"
Owh no!
Apa sih manusia jadi-jadian ini.
"Hey, Future dengar ya. Alih-alih perhatian, aku justru kasihan denganmu. Kau tersesat di bumi manusia yang jelas-jelas bukan habitatmu kan?"
"Tapi di sini pun cukup menyenangkan. Semuanya terlihat menarik."
Dah lah. Memang tidak sulit mengajaknya berkomunikasi.
"Jadi, di mana makhluk satu lagi yang sama denganmu itu?"
Itu Andrew yang bertanya.
Pertanyaan yang penting. Kira-kira apa yang akan dijawabnya ya?
Apakah ia akan menjawab, di sebuah rumah di jalan blabla distrik blabla. Sekitar beberapa kilometer dari rumahku. Dan-
"Tidak tahu."
Buyar. Seketika wacana-wacana yang berserakkan di kepalaku yang sedang berpikir mungkin Future akan segera pergi dari rumahku dan hidup dengan teman sebangsanya itu pun sirna.
Seperti api yang sedang marak-maraknya nyala namun, disiram oleh derasnya air sampai padam. Menyisakan asap hitam yang membungbung tinggi sampai ke awan.
Hah!
Praktis aku dan Andrew saling bertatpan kembali.
Kalau dihitung-hitung sudah berapa kali kami saling tatap-tatapan? Semoga saja tidak membuat Andrew jatuh cinta padaku.
Oh my God!
Pikiranku mulai tidak waras.
"Kenapa tidak tahu?"
"Kau bilang tadi, ada!"
"Jangan bilang kau tidak bisa melacak suatu posisi? Kalau begitu kecerdasanmu tak semengagumkan itu. GPS akan lebih membantu," omel Andrew.
"Aku bisa mengetahui posisi di mana saja dan kapan saja karena sistem inputku berbasis internasional. Meski di luar negeri sekali pun," jawab Future.
"Kalau begitu kenapa kau tidak tahu keberadaan saudaramu itu?"
"Tidak tahu. Kesalahan terdeteksi."
"Tap-"
Drrtt drrtt ...
Derit ponsel di atas meja mendistraksi percakapanku sehingga terpotong begitu saja.
Panggilan masuk dari Mr. Jazz. Tidak mungkin tidak dijawab.
"Sebentar," kataku.
Lalu menslide ikon hijau untuk mengangkat panggilan.
"Halo, Sir?"
***