11. DEWASA DAN BERBAHAYA

1249 Kata
“Arletha …” Begitu kedua tangannya membuka pintu rumah, suara Andra langsung mengalihkan perhatian Arletha. Ayahnya nampak lega ketika mendapati putrinya akhirnya pulang. Arletha berusaha tersenyum, sambil kembali melangkah mendekati ayahnya. Memasang wajah tenang, agar pria itu tidak merasa cemas. “Papi belum tidur?” Andra menggeleng. “Belum. Papi nunggu kamu,” jawabnya. Lalu tangannya memegang kedua lengan Arletha sambil memperhatikan keadaan gadis itu. “Kamu nggak apa-apa? Matanya kamu kenapa merah?” “Enggak, Pi. Aku baik-baik saja kok. Memangnya kenapa?” “Papi khawatir kamu kenapa-kenapa. Pergi sama Valen, tapi pulangnya sama om River. Kenapa kamu bisa ketemu dia?” “Tadi Letha sudah cerita, kan?” “Iya, tapi Papi aneh sekali. Jakarta luas, tapi kok kalian bisa ketemu.” Arletha mengangkat bahunya ringan. “Ya aku juga nggak tahu, Pi. Intinya ketemu om River dan diajak pulang. Lagian teman Papi baik banget sama aku.” Gadis itu menunjukkan kantong yang masih berisi sussu dan cokelat pemberian River. “Aku juga ditraktir ini sama om River.” “Ditraktir apa kamu yang malak dia?” “Nggak ya, Pi. Om River yang beliin.” Arletha melangkah menuju dapur untuk meletakkan sussu dan cokelat di lemari pendingin. Sedangkan ayahnya berjalan menuju meja makan, dan duduk di sana. “Papi mau aku buatkan teh?” “Boleh. Sekalian kita ngobrol sebentar.” Suasana hati Arletha cukup baik padahal tadi ia menangis cukup lama karena Baskara dan Vivi. Tetapi River berhasil membuat perasaannya membaik. Bahkan berhadapan dengan sang ayah, hatinya juga cukup tenang. Arletha tidak akan pernah mau lagi membiarkan dirinya terpuruk hanya karena Baskara dan Vivi. Malam ini adalah malam terakhirnya bersedih karena patah hati. “Ini Pi.” Arletha meletakkan cangkir berisi teh buatannya. Ia duduk di berseberangan dengan Andra. Momen seperti ini sudah sangat lama tidak dilakukan. Dan Arletha merasa cukup senang. “Makasih ya, Sayang.” “Sama-sama, Pi.” “Kamu nggak makan malam?” tanya Andra sambil menyesap teh buatan putrinya. Arletha menggeleng pelan. “Ini sudah terlalu malam untuk makan berat, Pi. Kalau lapar, mungkin aku makan buah saja.” “Oh begitu,” gumam Andra. “Sayang, apa kamu nyambung ngobrol sama om River?” “Nyambung kok, Pi. Dia baik dan juga pengertian. Ya sama kayak Papi, jadi enak kalau diajak ngobrol.” “Tapi dia nggak bersikap aneh kan sama kamu?” Gadis itu menggeleng. “Enggak, kok. Papi kan tahu aku gimana. Kalau misal ada yang nggak beres, mana mungkin aku mau diajak pulang sama dia.” “Kamu benar, River orang yang baik. Papi saja yang terlalu khawatir sama kamu,” ujar Andra. “Oh iya Pi, cerita dong kenapa Papi sama om River bisa kenal dan jadi teman dekat?” River kembali menyesap teh dalam cangkir. Wajahnya nampak semringah ditanya demikian oleh putrinya. Seperti mengingat masa-masa yang telah berlalu. Kenangan yang cukup mengesankan bagi pria matang itu. “Kamu tahu sendiri papi ambil kuliah S2 cukup lambat. Jadi Papi Cuma beda satu tingkat dengan om River. Apalagi kami sama-sama merantau jauh, jadi selama di Inggris kami jadi seperti keluarga. Sama dengan teman-teman Papi yang lain, kami saling menjaga selama jauh dari keluarga,” kenangnya. “Sebagai yang paling muda, om River sangat bisa diandalkan. Dia baik dan juga pintar. Dan dia yang paling dekat sama Papi. Makanya kami bisa awet dalam berteman dan sampai sekarang menjadi sahabat baik,” sambung Andra. Arletha mengangguk pelan mendengar cerita ayahnya. “Tapi kenapa dia belum nikah, Pi? Padahal umurnya lumayan matang.” “Kalau untuk hal itu, Papi kurang tahu. Seingat Papi, dia pernah punya pacar, tapi Papi nggak tahu apa masih berhubungan atau tidak. Dan Papi juga lupa siapa pacarnya dulu. Apalagi dia sempat tinggal di Paris dan kami lost contact.” “Oh begitu. Mungkin karena mau fokus ngurus bisnisnya ya, jadi belum berniat nikah.” “Bisa jadi, Sayang. Om River itu anak tunggal, jadi yang meneruskan usaha keluarganya, Cuma dia dan sepupunya. Apalagi supermarketnya sedang gencar-gencarnya buka banyak cabang, mungkin perhatiannya tersita di sana,” jelas Andra antusias. “Bahkan tujuannya ke Paris selama setahun untuk melakukan riset agar bisnis keluarganya bisa bersaing dengan bisnis yang bergerak di bidang yang sama. Mencari inovasi biar nggak monoton.” “Mungkin aku kayak om River saja ya, Pi. Fokus kerja, nikahnya belakangan,” celetuk Arletha. Kening Andra langsung mengkerut mendengar ucapan putrinya. “Maksud kamu apa Letha? Apa ini ada hubungannya dengan Baskara?” tanya pria itu. “Dulu waktu kalian masih bersama, kamu sering ngomong sama Papi mau nikah muda. Biar kayak Papi dan Mami, anak sudah besar tapi masih kelihatan muda. Jadi sekarang sudah berubah pikiran?” sambungnya. Arletha menghela napas panjang, dengan bibir sedikit tersenyum. “Mungkin iya karena Bas. Ternyata sebuah hubungan nggak sesederhana itu untuk dibawa ke pernikahan. Aku masih trauma, Pi. Untuk saat ini, apa yang dilakukan Bas dan Vivi benar-benar berpengaruh padaku untuk bisa percaya lagi sama cowok. Dan fokus berkarir rasanya jadi pilihan utamaku saat ini. Membuat Papi, mama dan oma bangga sama aku,” jelasnya. Andra tertegun mendengar apa yang putrinya katakan. Beberasa detik kemudian pria itu menghela napas panjang. Tangannya tergerak, memegang tangan mungil Arletha. “Sayang, Papi tahu bagaimana perasaan sedih kamu atas pengkhianatan. Tapi ingat, umur masih muda, masih panjang waktunya untuk memilih pendamping hidup. Menikah muda juga belum tentu berujung bahagia, contohnya Papi dan Mami. Tapi kami nggak pernah menyesal menikah dan memiliki kamu, Sayang. Kamu tetap akan jadi yang utama bagi kami,” ucap Andra dengan perasaan haru. “Sekarang fokus mengejar mimpi dan Papi akan mendukung kamu. Jangan lagi terbebani sama masa lalu. Biar itu jadi pengalaman terbaik agar kamu bisa lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan cowok.” Arletha beranjak dari duduknya lalu mendekati sang ayah. Dipeluknya Andra dari belakang dan tidak lupa memberi ciuman hangat di pipi pria itu. Betapa bahagianya memiliki ayah seperti Andra, selalu mengerti keadaannya. “Makasih ya, Pi. Aku janji selalu ingat semua nasihat Papi. Maaf kalau aku masih sering nyusahin Papi.” “Papi nggak merasa kamu nyusahin. Asal kamu hidup dengan bahagia, Papi juga akan merasakan hal yang sama, Sayang.” “Iya Papi.” Setelah melakukan deep talk dengan ayahnya, kini Arletha sudah ada di kamar dan bersiap pergi mandi. Ia berdiri di depan cermin besar sambil menghapus sisa riasan tipis di wajahnya. Pikirannya melayang, tertuju pada apa yang terjadi hari ini. Dan anehnya, rasa sakit di hati serta sesak pada dadanya sudah tidak ada lagi. Seketika bibirnya tersenyum, saat sadar ini semua karena River. Arletha mendadak terdiam dengan raut wajah panik saat merasakan dadanya berdebar ketika ingat sikap perhatian River. Bagaimana mereka berpelukan saat ia merasakan emosi yang meluap. Serta dalam benaknya bertanya-tanya, mengapa ia bisa setenang itu bersikap manja pada pria yang berstatus sebagai sahabat ayahnya. “Ya ampun, Arletha! Kenapa baru sadar sekarang kalau tindakan kamu yang tadi cukup memalukan. Main peluk om om di tempat umum. Nggak malu kalau dia mikir yang aneh-aneh?” gerutunya. Namun bayangan akan dekapan hangat pria matang itu, memenuhi pikiran Arletha. Aroma tubuh yang khas, masih terekam jelas membuat jantungnya semakin berdetak cepat. “Tapi jujur saja, pelukan om River memang sangat nyaman,” gumamnya. Tangan Arletha menepuk pelan kepalanya agar segera sadar dari pikiran yang tidak sepantasnya. Bagaimana mungkin pikiran liarnya muncul padahal tadi ia masih menangis karena marah dan sakit hati. “Nggak boleh dan jangan sampai. Om River terlalu dewasa dan berbahaya untuk aku yang masih muda. Jangan sampai ada pikiran yang berlebihan, karena ini sangat tidak pantas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN