Mobil yang dikemudikan oleh Arletha memasuki area basement gedung Eleven Media. Ia datang sendiri setelah meminta izin dengan sang ayah. Meski tempat ini adalah milik keluarganya, tapi Arletha merasa tidak sepantasnya datang sesuka hati. Bisa saja kemunculannya di sana, mengganggu para karyawan yang sedang bekerja.
Setelah memarkirkan mobil pinjaman milik Andra, kini Arletha masuk ke lobi gedung Eleven. Suasananya cukup ramai dan juga sibuk. Orang-orang lalu-lalang dengan masing-masing tujuan. Bahkan Arletha juga melihat artis terkenal yang mungkin ada acara di Eleven.
“Selamat siang Mbak Arletha.”
Sapaan dari bagian resepsionis membuat senyum Arletha mengembang. Ia tidak menyangka akan ada yang mengenalinya, padahal cukup jarang ke tempat ini. Tentu Arletha tidak gila hormat, bahkan jika bisa, ia ingin diperlakukan selayaknya orang biasa tanpa harus memandang siapa ayahnya.
“Selamat siang,” balasnya.
“Mau ketemu Pak Andra ya, Mbak?”
Arletha mengangguk ringat. “Iya. Sekalian mau makan siang.”
“Oh begitu. Lama nggak ketemu Mbak Letha, makin cantik saja.”
“Terima kasih pujiannya.” Mata Arletha melihat nama yang tercantum di kartu identitas wanita itu. Jelas ia tidak tahu siapa saja nama karyawan Eleven yang jumlahnya sangat banyak. “Mbak Lulu semangat kerja, ya.”
“Iya Mbak Letha. Terima kasih,” balas wanita itu.
Setelah bertegus sapa dan berbincang singkat, Arletha melanjutkan lagi langkahnya menuju ruangan sang ayah. Namun sebelum menuju ke sana, ia memutuskan untuk melihat-lihat keadaan di gedung tersebut. Sudah cukup lama tidak pergi ke studio dan ia ingin tahu bagaimana kondisinya sekarang.
Saat menyusuri sebuah lorong, Arletha menemukan ruangan yang digunakan oleh para presenter atau pembaca berita melakukan persiapan seperti berganti pakaian serta merias wajah. Di Eleven tentunya menyediakan orang khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Dan ketika Arletha berdiri di depan pintu yang tidak tertutup rapat, ia mendengar kegadugan di dalam sana.
Merasa penasaran, gadis itu pelan-pelan melihat ke dalam. Arletha mendapati situasi yang cukup panik dan tegang. Hal ini membuatnya ingin tahu apa yang terjadi.
“Gimana dong, kalau dia nggak datang, siapa yang make up-in aku? Cuma dia yang bisa make up sesuai sama yang aku mau. Nggak mungkin ganti riasan, pasti aneh dilihatnya.”
“Aku masih hubungi dia, Mbak. Semoga saja diangkat.”
“Permisi,” sapa Arletha ragu.
Dua orang di dalam ruangan itu, menatap dengan kening mengkerut. Mereka sepertinya tidak tahu dengan siapa berhadapan.
“Iya. Kamu siapa?”
Arletha tersenyum ramah. “Barusan aku lewat di depan dan dengar kalian ribut. Jadi masalahnya kamu butuh MUA, kan?”
“Iya, kamu benar. Yang harusnya punya kerjaan belum datang dan nggak bisa dihubungi. Jadi kami pusing, padahal sebentar lagi mau on air.”
“Aku bisa bantu. Kebetulan aku pernah ambil pekerjaan sebagai MUA,” ujar Arletha.
Dua orang yang sedang dalam kebingungan, menatap Arletha ragu. Bahkan keduanya saling lirik dalam keadaan terhimpit.
“Kamu yakin?” tanya wanita yang merupakan presenter gosip. Lalu tangannya mengulurkan ponsel yang sedang menyala. “Biasanya aku di make up kayak gini. Memangnya bisa?”
Arletha mengangguk penuh percaya diri. “Bisa. Kamu tenang saja.”
“Baiklah, kami terima bantuan kamu. Sudah nggak ada waktu buat basa-basi. Sebaiknya lakukan saja,” ujar wanita yang satu.
Tanpa mau membuang waktu, Arletha langsung melakukan apa yang tadi ia katakan. Melihat beberapa palette make up dan beberapa alat penunjuang lainnya. Ia memperhatikan sekali lagi contoh riasan yang diingin wanita tadi. Setelah itu, tangannya dengan cekatan dan juga hati-hati melukis wajahnya.
Butuh waktu kurang dari 20 menit dan Arletha sudah selesai dengan make up simpel tapi cantik. Tidak meninggalkan kesan terlalu sederhana dan masih sesuai dengan tema riasan yang diinginkan. Hasil karya Arletha membuat dua orang itu tertegun dengan tatapan kagum.
“Wow!”
“Gila, cantik banget. Ternyata kamu sangat berbakat.”
Arletha tersenyum mendengar pujian itu. Padahal ia cukup gugup saat bekerja karena sudah lama tidak melakukannya.
“Kamu suka, kan?”
Wanita itu mengangguk. “Suka banget. Ini sih lebih bagus dari biasanya.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Win, buruan ke studio. Sebentar lagi mulai.”
“Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Semoga siarannya lancar,” ucap Arletha.
Arletha pergi dari ruangan itu dengan senyum lebar. Hatinya senang karena bisa membantu orang lain dengan kemampuannya. Ia masih terharu, bisa menggunakan tangannya untuk membuat seorang wanita tampil dengan cantik. Padahal sejak pulang dari Paris, ia berhenti melakukan pekerjaan yang selama ini menjadi mimpinya. Dan itu semua terjadi karena Baskara.
“Siang Papi.”
Andra menghentikan kegiatannya saat mendengar suara dari putrinya. “Sayang, kamu dari mana saja? Bukannya tadi bilang sudah sampai, tapi kenapa baru ke sini?”
Arletha memberi pelukan serta ciuman kepada sang ayah. “Tadi aku keliling sebentar, Pi. Kangen lihat-lihat studio di sini.”
“Oh, terus gimana? Kamu sudah tertarik jadi penerus Papi di Eleven?”
“Oh tentu saja belum, Pi. Tolong jangan ungkit masalah ini lagi, aku masih belum siap,” jawabnya.
Andra tertawa renyah melihat ketakutan putrinya. “Papi Cuma bercanda. Kalau memang kamu nggak siap, berarti cari calon suami yang mau meneruskan Eleven. Kan, nggak lucu kalau perusahaan ini jatuh ke tangan yang tidak tepat.”
“Iya, Papi tenang saja. Nanti juga pasti ada waktunya bahas soal itu,” ucap Arletha. Lantas gadis itu melihat jam yang melingkar di tangannya. “Oh iya, kita jadi makan siang kan, Pi?”
“Jadi tapi Papi nggak bisa jauh dari Eleven, Sayang. Satu jam lagi Papi ada meeting penting dan ini mendadak. Kita cari makan siang dekat sini saja, ya.”
Arletha mengangguk setuju. Bahkan matanya berbinar ketika ingat akan sesuatu. “Kalau begitu makan di kafenya Freya saja, Pi. Dekat sini dan makanannya cukup enak.”
“Freya?” Kedua mata Andra menyipit dengan ekspresi penasaran. “Siapa Freya?”
“Freya itu pemilik Oak Tree Café yang ada di seberang gedung Eleven. Aku pernah beli kopi buat Papi di sana dan Papi bilang enak, kan?”
“Oh kafe itu. Papi sempat ke sana, tapi Papi nggak tahu kalau pemiliknya namanya Freya,” ujar Andra.
“Nanti aku kenalin Papi sama dia. Orangnya cantik dan juga baik. Padahal aku baru kenal tapi kami mudah akrab.”
Andra mengangguk pelan. “Baiklah.”
***
Sesampainya di kafe milik Freya, ayah dan anak itu dipersilakan duduk di meja oleh pemiliknya. Karena bertepatan dengan jam makan siang, jadi pengunjung cukup ramai. Para karyawan sibuk melayani pembeli yang datang.
“Freya, kenalin ini Papiku. Dan Papi, kenalin ini Freya pemilik kafe ini.”
Freya mengulurkan tangan dengan ramah. “Halo Om, saya Freya.”
“Andra,” balas pria itu ramah. “Dan kita sudah pernah ketemu. Tapi saya nggak tahu kalau kamu kenal dengan putri saya.”
“Iya, Anda beberapa kali pernah pesan kopi di sini. Dan saya juga nggak tahu kalau Anda papinya Arletha.”
Arletha tersenym melihat interaksi keduanya. “Gimana, Fre? Papiku ganteng kan, sesuai sama apa yang aku ceritakan?”
Wanita itu tersenyum malu. “Iya, sesuai sama yang kamu bilang,” jawabnya. “Oh iya, kalian mau pesan apa?”
“Aku mau pasta yang pernah aku pesan dan minumnya lemon tea. Papi mau apa?” tanya Arletha.
Andra menghela napas pelan sambil melihat buku menu. “Saya pesan menu rekomendasikan dari kamu, Freya.”
“Baik kalau begitu, silakan ditunggu,” ucap Freya sebelum pergi.
Arletha melihat ponselnya yang sepi dari notifikasi. Membosankan memang, tapi ia tidak punya pilihan lain. Gadis itu menghela napas, lalu meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, kemudian fokus pada sang ayah.
Kening Arletha mengkerut ketika melihat ayahnya sedang memandang seseorang. Bahkan kepalanya sampai menoleh, demi bisa menatap Freya yang sibuk di meja kasir.
“Papi lihat Freya, ya?”
Andra terkejut, dengan wajah sedikit panik. “Nggak kok, Sayang.”
“Jangan bohong, aku nggak salah lihat, loh,” ucapnya dengan nada curiga. “Papi suka sama Freya?”
“Ngawur kamu!” ucap Andra yang kini menatap putrinya. “Papi Cuma merasa nggak asing dengan dia. Maksudnya sebelum ketemu dia di sini, Papi merasa pernah lihat dia. Tapi bingung di mana tepatnya.”
“Oh begitu. Mungkin pernah ketemu di jalan, atau di tempat lain. Ya sudah, nggak perlu pusing soal itu, Pi.”
“Makanya kamu jangan nuduh Papi yang aneh-aneh,” sindir Andra.
Arletha tertawa kecil melihat wajah ayahnya berubah merah. “Suka juga nggak apa-apa. Freya cantik dan mandiri. Mungkin cocok sama Papi.”
“Sudah jangan mojokin Papi. Sekarang Papi mau tanya, bagaimana rencana kamu ke depan? Ini sudah cukup lama untuk kamu berpikir. Apa kamu mau lanjut kuliah?”
Ditanya demikian, Arletha ingat lagi dengan apa yang sudah ia pikiran beberapa hari terakhir. Meski berat, tapi ia harus tetap menyampaikannya kepada sang ayah. Mumpung ada momen yang tepat.
“Pi, kalau aku balik ke Paris gimana? Mami juga setuju kalau misal aku balik dan kembali berkarir di sana.”
Seketika raut wajah Andra berubah mendengar perkataan putrinya. “Kenapa harus balik, Sayang? Apa kamu nggak bisa berkarir di sini?”
“Bukan nggak bisa, Pi. Tapi rasanya balik ke Paris pilihan yang terbaik.”
“Tidak, Papi nggak setuju kamu balik ke Paris. Kalau Cuma karena Bas, Papi bisa buat kamu lupa sama dia.”
Arletha menggeleng. “Bukan karena Bas, Pi. Tapi ini keinginaku sendiri.”
“Papi nggak kasih izin kamu ke sana. Ambil pekerjaan di sini, kamu tetap bisa berkembang dan mengejar mimpi jadi MUA terkenal. Kalau mau buka usaha, Papi akan siapkan semuanya. Asal kamu nggak balik lagi, Papi akan lakukan semuanya untuk kamu, Sayang.”
Melihat ayahnya begitu teguh akan pendirian, ada sedikit rasa bersalah yang bersarang di hati Arletha. Meski ini bukan keputusan yang diambil dalam sekejap mata, tapi ia memang lebih nyaman jika berkarir di luar negeri. Namun jika melihat ada rasa khawatir dari suara dan juga sorot mata Andra, ini membuatnya tidak tega.
“Arletha, kamu sudah memutuskan untuk pulang, artinya kamu memang sudah punya rencana jangka panjang. Jadi Papi mau kamu tetap di sini, lakukan apa yang memang ingin kamu lakukan. Kalau kamu pergi lagi, bukan Cuma Papi yang sedih, tapi oma juga.”
Arletha menghela napas, lalu menyentuh tangan ayahnya yang ternyata cukup dingin. Bagaiman mungkin ia tega mengambil keputusan yang cukup egois dan menyakiti pria baik di hadapannya.
“Maaf Pi, ternyata apa yang baik menurutku, belum tentu baik untuk Papi. Aku nggak akan egois, hanya demi kesenanganku. Jadi Papi tenang saja.”