10. NAMA CANTIK SEPERTI PARASNYA

1442 Kata
“Jadi malam itu, kamu mabuk karena patah hati?” Arletha mengangguk dengan menahan tangis. “Aku nggak tahu harus gimana, Om. Semua sakit menumpuk di hati dan beban pikiran terhadap papi dan oma buat kepalaku pusing. Mencari pelampiasan ke klub adalah jalan tercepat yang bisa aku ambil. Makanya papi marah, tapi bukan karena aku bohong melainkan karena aku melakukan kecerobohan akibat patah hati.” “Ya Tuhan,” gumam River tidak percaya. Pria itu lantas menghela napas pelan. “Saya tahu rasanya patah hati, dan saya nggak akan menghakimi kamu karena pergi ke klub. Situasinya pasti sangat sulit, sampai kamu berani mabuk seorang diri dan juga berbohong.” “Aku Cuma nggak mau ngeluh di hadapan papi dan oma, Om. Tapi caraku juga salah. Dan malam ini, aku pikir semuanya sudah selesai. Tapi nyatanya rasa sakit itu masih ada dan rasanya nggak enak.” Arletha kembali berderai air mata. Bersama River, tangisnya benar-benar sulit untuk dikendalikan. Seperti mendapat tempat nyaman untuk berkeluh kesah. “Kalau nggak keberatan, apa kamu mau cerita? Dengan begitu saya jadi tahu harus menghibur kamu dengan cara apa. Tapi kalau berat, sebaiknya jangan,” ucap River. River mengambil tisu yang ada di mobilnya untuk diberikan kepada Arletha. Menunggu dengan sabar bagaimana tanggapan gadis di sebelahnya. Apakah mau bercerita atau tidak. Tangannya pun tidak diam, mengusap pundak Arletha agar lebih tenang. “Aku mau cerita biar Om River nggak mikir aku cengeng.” “Sedikit pun saya nggak pernah berpikir begitu, Arletha. Tapi kalau kamu mau cerita, saya akan dengar.” Arletha menarik napas dalam, agar bisa sedikit tenang. “Waktu ketemu di bandara, aku baru pulang dari Paris. Memutuskan berhenti kerja dan pulang demi seseorang.” “Pacar kamu?” “Iya tapi sekarang mantan. Aku pulang tepat saat dia ulang tahun dan berencana kasih kejutan. Tapi justru kepulanganku disambut dengan kenyataan dia selingkuh dengan kakak sepupuku.” Kening River langsung mengkerut dengan ekspresi kaget. “Selingkuh dengan kakak sepupu kamu? Wah, gila!” “Iya, Om. Mungkin kalau aku nggak pulang dan tetap di Paris, mereka akan terus berbohong di belakangku.” River tidak lagi bicara melainkan mendengarkan Arletha bercerita. Raut wajahnya menyiratkan bagaimana kesal sekaligus kasihan. Membayangkan bagaimana sakitnya posisi Arletha saat ini. Dan merasa sangat wajar gadis ini menangis di tempat umum. Entah apa yang mendorong River untuk menarik tangan Arletha ketika mendengar pengakuan sedih dari anak sahabatnya. Gadis yang baru beberapa kali ia temui, berhasil membuatnya merasakan sedih dan iba. “Kamu gadis yang kuat, Arletha.” “Aku nggak mau mereka lihat kondisiku sekarang, Om. Aku nggak suka dikasihani tapi aku juga sedih dan marah.” “Nggak apa-apa, Arletha. Keluarkan sekarang dan setelah ini, saya yakin kamu akan bangkit tanpa ingat lagi masa lalu menyakitkan itu,” ucap River. Tidak lama, River pun mengurai pelukannya. Matanya masih terpaku pada sosok di hadapannya. Arletha menatap lekat River dengan penuh keraguan. “Apa aku bisa move on, Om? Aku benar-benar takut terus terpuruk dan ingat sama Bas.” “Saya yakin kamu bisa, Arletha. Dan kamu harus ingat, jangan pernah mau kembali dengan orang yang berselingkuh. Itu penyakit dan sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Masih banyak laki-laki di luar sana, yang jauh lebih baik. Kamu juga gadis yang memiliki value, jadi jangan merasa kecil hati,” jelas River. Tangannya mengusap sisa air mata di wajah Arletha. “Sekarang jangan nangis lagi. Sudah cukup air matanya. Sayang kalau dibuang untuk orang yang nggak penting dan nggak bersyukur sudah punya kamu, Arletha. Kalau papi dan oma tahu, mereka pasti sedih.” “Makasih ya Om River. Maaf kalau aku terlalu banyak cerita dan juga nangis,” ucap Arletha dengan perasaan tidak enak. River tersenyum sambil menggeleng. “Kamu nggak perlu minta maaf. Yang penting perasaan kamu sekarang sudah lebih baik. Jangan sungkan untuk cerita kalau kamu lagi ada masalah. Saya cukup dekat dengan papi kamu, jadi saya harap bisa menjadi teman yang baik juga buat kamu. Mungkin saya terlalu dewasa untuk dijadikan teman, tapi setidaknya saya sudah lebih banyak merasakan asam garam kehidupan daripada kamu,” tuturnya panjang. “Iya Om. Mungkin karena Om punya sikap dewasa seperti papi, jadi aku nyaman berkeluh kesah sama Om River.” Tangan pria itu terangkat, lalu mengusap pelan pucuk kepala Arletha. “Syukurlah kalau begitu, saya ikut senang mendengarnya.” Suara dering ponsel milik Arletha menyela percakapannya bersama River. Gadis itu nampak panik karena yang menghubunginya adalah sang ayah. Sepertinya Andra cemas karena Arletha belum pulang. “Papi kamu?” tanya River. Arletha mengangguk cemas. “Iya. “Jawab saja. Bilang kalau kamu lagi sama saya biar papi kamu nggak marah atau khawatir.” “Iya Om.” River menunggu Arletha bicara dengan Andra. Mau tidak mau juga mendengar percakapan anak dan ayah. Dan tentu saja ia akan bertanggung jawab mengantar gadis itu pulang ke rumahnya. “Gimana? Papi kamu marah?” “Enggak. Cuma tadi heran kenapa bisa sama Om River. Tapi Om sendiri dengar penjelasanku.” “Sebaiknya sekarang saya antar kamu pulang.” “Iya Om.” River mengemudikan mobilnya dengan fokus. Sesekali melihat ke samping, memastikan kondisi Arletha baik-baik saja. Meski hanya diam dengan pandangan ke luar jendela, sedikit membuat hati pria itu lega. Setidaknya gadis itu tidak menangis lagi. Perhatian Arletha akhirnya teralihkan saat mobil yang dikemudikan River, berhenti di parkiran minimarket yang buka selama 24 jam. Menatap penasaran River yang sedang membuka sabuk pengaman. “Om mau ke mana?” River tersenyum. “Tunggu sebentar, ya. Saya ada sedikit keperluan.” “Oh? Iya Om.” Pria itu lantas keluar dari mobil meninggalkan Arletha di sana. Tanpa membuang waktu, River mengambil beberapa keperluan lalu segera membayarnya. Tidak butuh waktu lama, ia sudah kembali ke mobil. “Cepat sekali,” gumam Arletha. “Saya nggak mau kamu nunggu lama,” ucap River. Lalu pria itu mengulurkan kantong belanjaan kepada Arletha. “Ini untuk kamu. Setahu saya, baik untuk memperbaiki suasana hati.” “Apa ini Om?” tanya gadis itu dengan polos. Lalu melihat apa yang River beli untuknya. “Kamu nggak ada alergi coklat atau sussu, kan?” Gadis itu menggeleng. “Om River ke minimarket Cuma buat beliin aku sussu stroberi dan coklat?” “Iya. Kamu suka, kan?” “Suka,” jawab Arletha. Di wajahnya nampak senyum senang sekaligus terharu. “Makasih ya, Om River.” “Sama-sama. Saya harap, ini bisa membuat perasaan kamu jadi lebih baik.” Arletha tersenyum dengan mata berbinar. “Aku nggak tahu kalau Om River sangat perhatian.” “Kita bisa lanjut pulang?” “Iya.” Sepanjang perjalanan pulang, River tersenyum melihat Arletha menikmati sussu stroberi yang ia belikan. Seperti anak kecil yang suasana hatinya berubah baik saat mendapatkan apa yang diinginkan. “Makasih ya, Om.” River membuka sabuk pengamannya saat sampai di depan rumah Arletha. “Sama-sama. Biar saya ikut turun. Takut papi kamu dengar ada mobil datang, dan marah kalau saya nggak ikut turun.” “Nggak usah pikirin papi. Nanti Om River malah ditahan lama, padahal ini sudah malam.” “Tidak apa-apa. Papi kamu paling Cuma mau tegur sapa saja.” Akhirnya keduanya turun dari mobil. Berjalan ke depan pintu pagar bersama-sama. Dan dugaan River tidak benar karena Andra tidak muncul. “Om River, maaf ya kalau sampai saat ini aku masih panggil dengan sebutan om. Masih sulit dan nggak terbiasa kalau Cuma panggil nama.” “Nggak masalah, santai saja,” balasnya. “Sebaiknya sekarang masuk. Kamu juga butuh istirahat.” Arletha mengangguk pelan. “Om River hati-hati ya.” “Iya. Salam sama papi dan oma, ya.” “Iya.” “Arletha …” “Iya Om?” River mendekati gadis itu yang sudah berjalan beberapa langkah. Tangannya terangkat, kemudian tertuju pada kepala Arletha. Mengusap rambutnya dengan lembut. “Jangan sedih lagi, ya. Gadis seperti kamu, nggak pantas bersedih terlalu lama.” “Iya. Demi papi dan oma, aku nggak akan seperti tadi. Dan sekali lagi makasih untuk nasihat baiknya, Om.” “Oke. Selamat malam.” “Bye Om River. Sampai jumpa lain waktu.” River kembali ke mobilnya dengan perasaan lega. Bagaimana tidak, ia harus menghadapi dilema seorang gadis yang tengah mengalami patah hati. Dan gadis itu adalah putri temannya sendiri. Salah memberi saran, ia bisa habis di tangan Andra. “Laki-laki yang nggak bisa bersyukur. Gadis seperti Arletha masih saja disakiti,” gumam River kesal. Perlahan mobilnya bergerak meninggalkan komplek perumahan mewah itu. Sepanjang jalan, River terus mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Tangis sedih dan sakit Arletha membuatnya juga tidak tenang. Tetapi satu sisi merasa senang, karena ternyata Arletha nyaman berkeluh kesah dengannya, mengingat mereka belum lama kenal. “Arletha Sheinafia Rhajaksa. Nama yang sangat cantik, seperti parasnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN