Kedua mata Arletha mulai nampak berkaca-kaca. Ia masih berdiri di tempat semula. Kakinya begitu sulit untuk digerakkan, apalagi berusaha mencari tahu apa yang River dan Meisya lakukan. Dadanya begitu sesak, tidak percaya dengan apa yang dilihat di hadapannya. Arletha mengusap air mata yang nyatanya tidak mampu dibendung. Dengan punggung tangannya, tidak dibiarkan tanda kesedihan itu semakin mengalir deras. Apa yang terjadi malam ini, harusnya tidak perlu ditangisi. Terlebih River bukan miliknya. Namun pada kenyataannya, rasa sakit itu benar-benar terasa nyata. Sulit sekali untuk diabaikan. “Enggak, aku nggak boleh nangis. Setidaknya jangan di sini, Arletha,” gumamnya pedih. Saat ada orang melewatinya dan memandangnya dengan heran, Arletha hanya bisa menyembunyikan wajahnya. Tidak ingin