Suara berisik yang menggema di sebuah ruangan, membuat Arletha yang tertidur pulas akhirnya terbangun. Matanya perlahan terbuka meski terasa sangat berat dan lengkat. Seketika tangannya menyentuh kepala yang terasa berdenyut sakit. Tidak menyangka kalau paginya akan sambut dengan keributan dan juga kondisi tubuh yang tidak baik.
“Dasar b******k!”
Kening Arletha mengkerut sambil perlahan bangun dari posisi tidurnya. Ia melihat seseorang tengah berdiri dengan memegang ponsel di tangan. Suara umpatan yang khas, membuat Arletha sadar siapa yang sedang bersamanya. Saat sosok itu tiba-tiba menoleh, Arletha hanya bisa menghela napas pelan.
“Eh, sudah bangun?” Valen perlahan mendekati Arletha ke tempat tidur. Wajahnya yang tegang masih terlihat jelas. “Aku ganggu, ya?”
Arletha kembali menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang masih sakit. “Pagi-pagi marah sama siapa, sih?”
“Siapa lagi kalau bukan mantanku yang suka lupa diri sejak jadi artis.” Valen menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. “Capek ganggu terus. Pingin ku tendang ke planet paling jauh biar nggak balik lagi,” sambungnya.
“Kenapa cowok selalu menyebalkan saat sudah jadi mantan?” gumamnya. Arletha mengedarkan pandangan matanya sambil terus memegang kepala. “Kamu yang bawa aku ke sini?”
Valen menggeleng keras. “Hampir lupa. Nona Rhajaksa, lain kali kalau mau pergi ke bar atau klub, tolong jangan sendirian. Selain berbahaya, kamu juga merepotkan orang lain. Untung saja ada orang baik yang mau bawa kamu ke hotel tanpa berniat buruk. Walaupun ujung-ujungnya aku yang harus ngurus kamu.”
“Maksud kamu?” Arletha mengedipkan matanya beberapa kali karena bingung. Terang saja, kondisinya sedang tidak baik, sehingga otaknya jadi berjalan dengan lamban.
“Semalam kamu mabuk berat. Terus ada om om yang bawa kamu ke sini, lalu nelpon aku.”
“Om-om?”
Valen mengangguk. “Iya. Lumayan ganteng sih untuk ukuran om-om seusia papi kamu. Terus dia juga baik karena nggak pergi sebelum aku datang. Jadi beruntunglah kamu, Arletha.”
Mendengar cerita Valen, memaksa Arletha untuk mengingat apa yang terjadi semalam. Meski dengan kepala pusing dan sakit bak dihantam benda berat, ia terus berusaha. Ia hanya ingat sosok asing pengganggu yang mencoba menyentuh dan berbuat tidak baik. Tidak ada yang bisa digali lagi dari memorinya semalam.
“Dan sekarang bukan pagi lagi, tapi sudah siang. Papi kamu sempat telpon, aku bilang kamu nginep di apartemenku.”
“Oh God!” seru Arletha dengan wajah panik. “Aku harus pulang, papi pasti interogasi karena dia sudah tahu soal Baskara.”
Valen menggeleng melihat kepanikan sahabat baiknya. “Lain kali jangan melakukan hal yang merugikan diri sendiri. Yang ada, si Bas besar kepala karena kamu mabuk gara-gara putus sama dia. Dia kira kamu sedih dan menyesal putus dari dia, Tha. Yang repot papi kamu.”
“Enggak akan. Aku nggak pernah nyesel buang sampah model dia!” seru Arletha yang masuk ke dalam kamar mandi.
***
Pergi dari hotel, Arletha tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia pergi ke stasiun televisi yang merupakan miliki keluarganya dan saat ini dikelola oleh ayahnya sebagai Direktur Utama Eleven Media.
Tujuannya datang ke tempat Andra adalah untuk meminta maaf karena sudah membuat khawatir. Arletha berharap ayahnya tidak akan bertanya ke mana ia semalam dan tentu saja tidak ingin pria itu tahu bahwa putrinya mabuk di klub. Tidak lupa juga, menyemprotkan banyak parfum ke dalam tubuh serta pakaiannya agar bau alkohol tidak terlalu menyengat.
“Siang Mbak,” sapa Arletha kepada sekretaris Andra.
Wanita berusia 30 tahun itu bernama Reiza, nampak terkejut melihat kedatangan putri dari atasannya.
“Ya Tuhan, Arletha! Kamu sudah pulang dari Paris?”
Arletha mengangguk malu. “Sudah, Mbak. Gimana kabarnya?”
Hampir lupa, ada kopi buat Mbak.”
“Saya kabar baik, Letha.” Reiza menyalami serta memeluk singkat putri dari atasannya.
Arletha menyerahkan sesuatu kepada wanita di hadapannya. “Aku nggak bawa oleh-oleh dari Paris. Sebagai gantinya, aku bawa kopi, Mbak.”
“Makasih banyak, loh,” balas Reiza. “Kamu makin cantik saja. Ngomong-ngomong, liburan berapa lama?”
“Aku nggak balik ke Paris. Mau kerja di Indo saja.”
“Oh iya? Wah, selamat datang kalau begitu. Kita bisa jadi sering ketemu.”
“Makasih Mbak Reiza. Oh iya, Papi ada di dalam? Ada tamu nggak?”
“Ada. Beliau lagi sendiri di dalam.”
“Kalau begitu aku masuk dulu, Mbak.”
Setelah mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, perlahan Arletha masuk. Memasang raut wajah tenang dan secantik mungkin, agar suasana hati Andra tidak berubah buruk lalu memarahinya karena dua malam tidak tidur di rumah.
“Siang Papi,” sapa Arletha manja. “Kopi buat Papiku tersayang. Aku beli di coffee shop dekat dengan Eleven. Sepertinya baru buka dan kayaknya enak.”
Kening Andra mengkerut, dengan sorot mata tajam. Tangannya bersedekap di depan d**a, sambil memperhatikan gerak-gerik putrinya.
“Kenapa lihat Letha kayak gitu sih, Pi? Memangnya ada yang aneh?” tanya Arletha. Tubuhnya mendarat di kursi depan meja kerja Andra.
“Semalam ke mana? Apa nggak kangen tidur di kamar sendiri?”
Arletha berdeham pelan, tetap dengan ekspresi manjanya. “Aku butuh teman curhat, Pi. Jadi aku nginep sama Valen. Cuma dia temanku dan yang bisa ngerti keadaanku saat ini.”
“Kalau cerita sama Papi, kamu merasa nggak dingertiin, ya?”
“Bukan begitu. Aku nggak mau bebani Papi dengan masalahku. Tapi tenang saja, aku nggak akan terpuruk terlalu lama. Patah hatiku akan segera sembuh.”
Andra menghela napas pelan, lalu mengubah posisi duduknya menjadi santai. “Letha, Papi nggak pernah larang kamu mau menginap di tempat Valen atau bergaul dengan siapa pun asal tujuan baik, tapi kamu harus izin dulu. Baru kemarin kamu minta maaf dan janji nggak kayak gini, tapi kamu ulangi lagi. Lama-lama Papi marah, loh.”
“Maaf Papi. Semalam pikiranku kacau banget, jadi nggak tahu harus gimana lagi selain cari tempat untuk menenangkan diri. Sekali lagi aku minta maaf ya, Pi.”
“Iya. Papi maafin kamu karena tahu kamu lagi patah hati. Apa perlu Papi turun tangan untuk beri Bas pelajaran karena sudah nyakitin putri kesayangan Papi?”
Arletha menggeleng tegas. “Nggak perlu, Pi. Masalahku sama dia sudah selesai. Sekali lagi aku minta maaf sudah buat Papi khawatir.”
“Oke, baiklah. Tapi sebagai gantinya, nanti malam kamu harus temenin Papi ke acara pesta resepsi temen Papi. Ingat, kamu nggak boleh nolak. Ini sebagai ganti dari sikap kamu semalam,” ucap Andra.
Arletha menghela napas, lalu mengangguk pelan. Meski terasa berat, tapi ia tetap menyanggupi demi menebus rasa bersalahnya.
“Iya Papi, aku pasti temenin, kok.”
***
Arletha merapikan long dress berwarna hitam dengan model leher sabrina. Membuat lehernya yang jenjang serta punggungnya yang putih, terekspose dengan jelas. Rambutnya ditata rapi dengan riasan wajah cukup minimalis. Penampilannya saat ini dipilih untuk menemani sang ayah datang ke pesta resepsi pernikahan.
“Pi, kok aku deg-degan ya. Memangnya nggak aneh Papi datang ke pesta tapi ngajak anak?”
Andra menggenggam tangan putrinya. Berjalan dengan gagahnya seakan belum memiliki anak.
“Memangnya kamu pikir Papi harus datang sama siapa? Sama mami kamu? Ya nggak mungkinlah,” ucapnya. “Jangan tanya kenapa nggak sama pacar, Papi masih jomlo.”
Arletha terkekeh pelan. “Makanya cari pacar biar ada teman kalau pergi ke acara seperti ini.”
“Memangnya Papi boleh punya pacar? Menikah juga?”
“Boleh. Asal lulus seleksiku,” jawab Arletha asal.
“Ya Tuhan, berat kalau begini.”
Mendengar keluhan sang ayah, Arletha tersenyum jail. “Bercanda, Pi. Dari dulu aku selalu minta Papi cari pasangan, tapi sampai sekarang nggak ada hasilnya.”
“Dulu Papi sudah pernah, kan?”
“Iya. Tapi aku nggak akan setuju kalau sama tante itu. Dia itu cerewet dan nggak suka kalau Papi sayang sama aku. Daripada nanti aku dipisahin sama Papi, mending tolak. Iya, kan?”
“Iya, Papi juga lebih hati-hati kalau dekat sama perempuan. Papi sayang kamu, jadi Papi juga mikirin perasaan kamu, Sayang.”
“Iya Pi. Pokoknya jangan minder sama umur, ya. Contoh teman Papi yang nikah sekarang, walaupun duda, bisa tuh ketemu sama istrinya yang cantik.”
Andra terkekeh. “Papi nggak pernah minder. Kamu bisa lihat sendiri, Papi masih kelihatan muda dan juga tampan. Berdiri di samping kamu, malah jadi makin muda. Iya, kan?”
“Iya deh iya. Papiku memang paling tampan dan penuh pesona.”
Setelah berbincang sambil menunggu giliran, akhirnya Arletha dan Andra bisa memberikan ucapan kepada kedua pengantin. Tentu saja Arletha harus menemani ayahnya untuk bertegur sapa dengan tamu lain yang merupakan teman semasa kuliah di London. Mengenalkan Arletha sebagai putrinya dan disambut dengan respon kagum karena gadis yang dulunya terlihat masih anak-anak, justru sudah sangat dewasa.
“Pi, masih lama, nggak?” bisik Arletha.
Andra melirik singkat karena masih bicara dengan teman kuliahnya. “Sebentar, Sayang.”
Entah harus berapa lama lagi Arletha berada dalam situasi canggung seperti ini. Berada di antara pria dewasa dengan obrolan yang cukup random. Bukannya Andra tidak mengerti keadaannya, hanya saja Arletha yang tidak terbiasa. Namun satu hal yang bisa disyukuri dari ajakan ayahnya ke acara ini, yaitu melupakan patah hati yang sedang menderanya. Arletha sama sekali tidak sempat mengingat sosok Baskara karena perhatiannya teralihkan dengan topik pembicaraan yang terkadang diajukan oleh teman-teman sang ayah.
“Mas Andra!”
Andra dan Arletha menoleh ke sumber suara. Seseorang berperawakan tinggi dengan tubuh tegap serta paras tampan, sedang berjalan menghampiri keduanya. Senyum pria itu nampak manis dan memesona. Dengan kemeja serta blazer hitam, sangat cocok dengan postur tubuhnya.
“Apa kabar, Mas?”
“River!” Andra sangat terkejut sekaligus senang bertemu dengan sahabat lamanya. “Kabar baik. Wah, sya nggak nyangka bisa bertemu kamu di sini. Kamu sudah pulang dari Paris?”
Pria bernama lengkap River Chandrakala menjabat tangan Andra lalu memeluk singkat. “Sudah Mas. Beberapa hari yang lalu. Maaf lama nggak hubungi Mas Andra karena ponsel saya sempat hilang saat di Paris. Jadi semua kontak hilang.”
“Nggak masalah. Kita masih bisa bertemu dan ngobrol seperti dulu karena kamu sudah di sini,” ucap Andra. “Oh iya, kamu harus kenalan dengan putri saya. Dulu kamu Cuma lihat lewat fotonya. Arletha, kenalin ini River. Teman satu almamater Papi waktu kuliah di Paris. Dia lebih muda dari Papi.”
Arletha mengulurkan tangan dengan raut wajah sedikit canggung. “Halo Om, aku Arletha.”
“Arletha?” Kedua mata pria itu menyipit dengan kening mengkerut. “Kamu yang mabuk semalam, kan?”