Wajah Arletha tidak bisa menyembunyikan raut terkejut atas apa yang barusan ia dengar. Dalam keadaan seperti ini, siapa bisa menebak kalau pria yang sudah dianggap mantan, berani datang ke rumahnya. Arletha tidak mau bertengkar atau beradu argumen di hadapan ayah dan juga neneknya. Namun sekarang, ia bingung harus bagaimana.
“Kenapa kamu diam, Letha?” tanya Andra.
Arletha hampir tersedak karena kaget akan suara sang ayah. “Oh? Suruh tunggu, Bi. Bilang saya masih makan malam.”
“Kenapa disuruh nunggu? Ajak saja sekalian makan malam.”
“Benar, Sayang. Dulu bukannya begitu, kamu selalu semangat ajak Bas makan bersama kita,” sang nenek menimpali.
“Nggak usah, Pi, Oma. Biar saja dia nunggu, pasti nggak masalah kok,” cegah Arletha.
Andra menghela napas, lalu mengangguk. “Ya sudah, terserah kamu saja.”
Dalam suasana tidak nyaman, Arletha memaksakan diri untuk menghabiskan nasi di atas piring. Bukan ingin mengulur waktu, tapi sebuah kebiasaan di keluarganya, makanan yang ada di piring, harus dihabiskan demi menghargai berkah yang Tuhan berikan kepada keluarga mereka.
Begitu selesai makan, Arletha bergegas ke ruang tamu untuk menemui Baskara. Sebenarnya malas sekali baginya, namun ia tidak ingin masalah ini berlarut-larut dan mengganggu kehidupannya. Mungkin menyembuhkan luka sangatlah sulit, tapi Arletha tidak mau membuang waktunya meratapi masalah ini.
Baskara menoleh ketika suara derap langkah berhenti tidak jauh dari tempatnya duduk. Ponsel yang tadi dimainkan sambil menunggu Arletha, langsung masuk ke saku celananya. Pria itu berdiri, menyambut kemunculan gadis itu.
“Sayang, sudah selesai makan malam?”
Arletha bergeming, langsung duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Baskara. Wajahnya nampak dingin, dengan mata menatap Baskara tajam. Kedua tangannya bahkan terlipat di depan dadanya.
Tidak mendapat jawaban dari Arletha, pria itu berdeham canggung. Lantas kembali duduk di tempat sebelumnya.
“Maaf kalau aku mengganggu waktu kamu dengan papi dan oma. Maaf juga kalau aku datang tanpa kabar karena nomorku sudah kamu blok. Jadi aku nggak bisa telpon atau kirim pesan,” ucap Baskara.
“Memang ada urusan apa lagi?” tanya Arletha dingin.
“Apa kamu mau bicara di tempat lain? Aku nggak enak kalau papi dan oma dengar tentang masalah ini.”
Arletha tersenyum sinis. “Kenapa kalau mereka tahu? Kamu malu kalau ternyata selingkuh sama Vivi?”
“Bukan begitu. Aku nggak mau bersikap kekanak-kanakan, kita harus selesaikan semuanya secara dewasa.”
“Nggak ada yang perlu diselesaikan karena semuanya sudah selesai. Sejak semalam, aku sudah menganggap hubungan kita berakhir. Kita sudah selesai, kita sudah putus. Jadi mau berdebat soal apa lagi?”
“Enggak, Sayang. Aku nggak mau kita putus.” Baskara menolak tegas. “Kamu harus dengar penjelasan aku dulu. Kamu juga terlibat atas keputusanku berselingkuh dengan Vivi.”
“Apa?” Raut wajah Arletha semakin menegang. “Maksud kamu apa? Apa hubungannya aku dengan kegilaan kamu?”
“Aku kesepian, Letha. Aku hancur sejak kepergian mama,” ujarnya.
Arletha menggeleng tidak menyangka jika Baskara akan membawa mendiang ibunya sebagai alasan. Jelas ini tidak bisa ia terima.
“Tega ya, kamu. Mama kamu sudah pergi dengan tenang, malah kamu jadikan alasan.”
Wajah Baskara menunjukkan raut frustrasi. Ia menggeleng, lalu menunduk sejenak untuk membuang napas panjang. Sebelum akhirnya kembali menatap Arletha.
“Enggak. Ini memang kenyataan, Letha. Aku benar-benar terpuruk saat kepergian mama, satu-satunya keluarga yang aku miliki. Satu sisi kamu nggak bisa ada disaat aku butuh kamu. Tapi aku juga nggak bisa minta kamu pulang meski sebentar saja karena aku tahu kamu nggak bisa,” ucap Baskara. “Aku terbang dalam keadaan perasaan nggak tenang. Dan saat itu, Vivi tugas sama aku jadi dia yang berusaha untuk nenangin, menghibur dan meyakinkan hatiku kalau semuanya baik-baik saja. Dari sana aku merasa nyaman dengan dia. Salahku memang karena perhatian Vivi justru aku masukkan ke hati hingga berujung kami selingkuh dari kamu,” sambungnya.
Kedua tangan Arletha mengepal demi menutupi gemetar pada tubuhnya. Kedua matanya berusaha membendung air mata agar tidak keluar. Siapa sangka jika perselingkuhan pria di hadapannya dengan sang kakak sepupu, akibat kesepian yang tidak mendapatkan penghiburan darinya. Arletha yang terluka, kini semakin sakit hati hingga berujung ada rasa bersalah yang muncul akibat pengakuan Baskara.
Pria itu beranjak dari duduknya. Melangkah mendekati Arletha, kemudian berlutut di hadapannya. Tangannya meraih tangan gadis itu, lalu menggenggamnya.
“Aku minta maaf, Arletha. Terlambat memang, tapi aku menyesal sudah melakukan ini. Aku nggak mau kehilangan kamu karena sejujurnya hanya kamu di hatiku. Vivi hanya pelarian, dan dia nggak bisa menggantikan kamu. Jadi tolong, kasih aku kesempatan. Aku nggak mau kita putus,” ucapnya penuh sesal dengan mata yang basah.
Arletha menatap Baskara dengan perasaan sakit. Ia sangat mencintai pria yang tengah berlutut di hadapannya. Bahkan alasan meninggalkan karir di Paris demi pria ini. Namun ada dua hal yang tidak bisa ia toleransi di dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan. Dan Arletha masih teguh dan prinsip itu.
“Aku nggak bisa,” ucapnya. Arletha melepaskan tangannya dari Baskara, lalu berdiri dari duduknya. “Mungkin nanti aku bisa maafin kamu, tapi aku nggak akan pernah bisa lupa tentang sakit hati karena diselingkuhi. Jadi sebaiknya kita akhiri hubungan ini daripada saling menyakiti.”
“Tapi Letha …”
“Sebaiknya kamu pulang, Bas. Aku mau istirahat. Kamu bisa lihat kantong mataku, kan? Jadi harusnya kamu tahu gimana kondisiku,” ucap Arletha lalu pergi dari hadapan pria itu.
“Arletha, Letha!”
Arletha bergeming meski Baskara memohon dalam keadaan masih berlutut. Bukan hal yang mencengangkan jika gadis itu tegas dalam mengambil keputusan. Sebagai anak tunggal, semua yang diinginkan selalu dipenuhi. Meski dimanja, tapi sifat keras kepalanya, tidak ada yang bisa membantah. Itu sebabnya, walapun ia sangat mencintai Baskara, sakit hatinya membuat cinta itu tidak berarti apa-apa.
“Kamu ada masalah apa sama Bas?” tanya Andra di ujung tangga. Perlahan mendekati putrinya yang masih berada di tengah tangga. “Jawab Papi, Sayang. Apa kalian putus?”
Gadis itu mengusap air matanya. “Bas selingkuh dengan Vivi, Pi. Jadi hubungan kami sudah selesai. Papi nggak usah nanya-nanya lagi soal Bas, karena aku sudah nggak ada hubungan.”
Andra hanya bisa memasang ekspresi kaget saat tahu penyebab dari pertengkaran yang sempat ia dengar meski hanya samar-samar. Jelas ia kecewa. Tetapi sebagai ayah, ia tidak akan ikut campur atas keputusan putrinya.
“Bisa-bisanya bocah itu nyakitin hati putriku,” gumam Andra kesal.
***
Tanpa sepengatahuan ayah dan neneknya, Arletha pergi dari rumah ketika malam cukup larut. Tujuannya ada sebuah bar yang cukup terkenal di kawasan Jakarta Selatan. Ini bukan kali pertama gadis itu mengenal dunia malam. Kedatangannya hanya seorang diri, karena memang ingin menghibur diri akibat batah hati. Selain itu, ia ingin mencoba mengusir rasa bersalah atas apa yang ia dengar dari Baskara.
“Kenapa aku harus peduli dengan alasannya dia? Sudah jelas dia salah, masih coba cari alasan. Sialan!”
Arletha meneguk kembali minuman beralkohol yang sejak tadi menemaninya. Minuman ini juga yang membuat kesadarannya perlahan menurun. Tidak peduli dengan keramaikan sekitar. Yang dipikirkan sejak datang hanyalah frustrasi dan juga sakit hati. Ia ingin melupakan semuanya, demi kebaikannya dirinya sendiri. Melepas beban agar bisa ulang rencana di hidupnya.
“Boleh gabung?”
Suara yang bersumber tepat di sebelahnya, membuat Arletha menoleh sekilas. Setelah itu, ia asik meneguk minuman tanpa peduli dengan pertanyaan pria asing yang duduk di sampingnya.
“Hei, kamu mabuk, ya? Biar aku temani, nggak baik cewek cantik sendirian di tempat seperti ini.”
Arletha menepis tangan yang mencoba menyentuh lengannya. Memberi tatapan tajam pada sosok yang berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Jangan ganggu aku. Cari tempat lain saja!”
Saat Arletha ingin turun dari duduknya, tubuhnya limbung. Tangannya berusaha memegang bibir meja bar demi tidak jatuh. Satu tangannya lagi memegang kepalanya. Gadis itu merasa pusing dan matanya buram.
“Santai Cantik. Kamu mabuk, jadi sebaiknya duduk dulu.”
Arletha berusaha untuk melepaskan diri ketika pria itu mencoba merangkulnya. Disisa kesadaran, ia tidak ingin terjebak. Namun, salahnya sendiri karena terlalu banyak minum. Dan bodohnya, ia pergi tanpa teman.
“Jangan sentuh! Aku …”
“Baby, biar aku antar kamu pulang, ya.”
“Nggak mau …!”
“Kalau dia menolak, jangan dipaksa!”
Samar-samar Arletha masih bisa mendengar suara berat dari seorang pria. Namun ia tidak bisa menahan lagi, hingga akhirnya ambruk. Syukurnya pria asing yang baru datang itu, segera memegangnya.
“Anda siapa?”
“Saya?” Dia keponakan saya, jadi sebaiknya pergi. Jangan coba-coba cari kesempatan sama orang yang lagi mabuk.”
Pria yang ingin mengerjai Arletha tersenyum sinis. “Yakin ini ponakan Anda? Atau mungkin sugar baby Anda?”
“Terserah! Yang jelas, jangan sentuh dia.”
Begitu berhasil mengusir orang itu, nampak pria ini harus melakukan tugas lainnya. Matanya menatap Arletha yang tidak sadarkan diri dengan kepala berada di atas meja. Pria itu menghela napas, lalu menggeleng pelan.
“Harusnya saya nggak perlu ikut campur masalah orang lain, apalagi gadis ini sikapnya nggak sopan.”
Begitu sampai di dalam mobil, Arletha menggeliat pelan. Matanya sedikit terbuka, mencoba untuk sadar meski sulit. Samar-samar ia melihat wajah asing yang duduk di kursi kemudi.
“Kamu …kamu siapa?”