6. RAHASIA YANG TERBONGKAR

1706 Kata
Kedua mata Arletha berkedip dengan raut wajah terkejut. Bahkan bibirnya terbuka karena pertanyaan dari pria dewasa di hadapannya. Otaknya segera mencerna kalimat yang barusan didengar. “Ya, benar. Kamu gadis yang menabrak saya di airport dan juga mabuk di klub,” ucap River lagi. “Jadi dia Arletha yang sempat saya lihat fotonya, Mas?” tanyanya pada Andra. Andra berdeham dengan raut wajah tegang. “Iya, dia anak saya. Dan semalam kamu yang bersama dia di klub?” “Iya. Dia mabuk dan saya bawa ke hotel. Tapi tenang, saya nggak melakukan hal buruk. Dan saya pastikan dia aman dengan temannya. Kalau nggak salah namanya Valen.” Andra mengangguk. Kini pandangan matanya tertuju pada sang anak. Tersirat dari sorot matanya, ada bentuk kekecewaan yang tengah dirasakan. “Letha bisa jelasin semuanya, Pi. Jangan salah paham,” ucap Arletha pada akhirnya. Ekspresinya masih sangat tegang. Sesekali melihat River dengan sedikit kesal. “Aku memang tidur di hotel sama Valen, kok. Jadi benar apa yang dibilang sama teman Papi,” sambungnya. “Loh, jadi Mas Andra nggak tahu soal ini?” River nampak terkejut. “Anak jaman sekarang, mana mau jujur kalau pergi ke tempat seperti itu. Entah apa tujuannya, saya pun nggak ngerti,” sindir Andra kepada anaknya. Arletha menggeleng panik dan juga merasa bersalah. “Pi, jangan marah. Papi tahu alasannya, kan? Tapi aku memang salah karena nggak jujur. Itu juga ada alasannya.” Melihat ketegangan antara anak dan ayah akibat ulahnya, membuat River mendadak diserang rasa tidak enak. Salahnya karena bicara tanpa pikir panjang. Namun ini karena efek terkejut saat melihat Arletha yang semalam mabuk berat, ada di hadapannya sebagai putri dari teman baiknya. Lantas River berdeham pelan. “Mas, jangan marah. Arletha sudah dewasa, jadi dia pasti pingin tahu tempat seperti itu.” “Tapi dia mabuk, River. Kalau kamu nggak ada, bisa saja terjadi hal buruk.” “Yang penting sekarang dia baik-baik saja, Mas. Jangan dimarahi, kasihan,” bisik River. Andra tersenyum mendengar bisikan teman baiknya. Pria itu lalu menurunkan ketegangan wajahnya serta tatapan tajam kepada putrinya. Apalagi saat ini mereka sedang ada di sebuah acara dengan tamu yang cukup banyak. “Terima kasih, River. Terima kasih karena kamu melakukan hal yang tulus kepada putri saya.” River menepuk pundak Andra dengan kedipan mata. “Sama-sama. Sayang, saya nggak tahu dari awal kalau dia putri Mas Andra.” “Kamu benar-benar lupa?” “Iya. Dulu rasanya masih sangat muda.” River menatap Arletha yang tertunduk. “Dia tumbuh dewasa dengan sangat baik. Cantik seperti Mbak Tere.” “Kamu benar. Makanya saya harus mengawasi dengan baik, biar dia nggak salah pergaulan.” River terkekeh. “Oh iya Mas, saya belum ketemu sama pengantinnya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi.” “Tentu. Kamu harus datang ke kantor Eleven.” “Siap. Nanti saya pasti ke sana.” River kembali menatap Arletha. “Arletha,” panggilnya. Gadis itu mengangkat wajah, lalu mengarahkan pandangan pada River. “Senang bisa bertemu kamu lagi.” Tangan pria itu terangkat. Mengusap pucuk kepala Arletha. “Kamu benar-benar sudah dewasa.” Arletha hanya tersenyum tipis. “Terima kasih sudah bantu, Om.” “Sama-sama. Lain kali hati-hati ya,” ucap River sambil mengedipkan satu matanya. Setelah River menghilang, kini Arletha harus berhadapan dengan sang ayah. Gadis itu menatap Andra yang juga sedang menatapnya. Nyalinya ciut dan harus siap dengan kemurkaan pria itu yang mungkin sudah berada di ujung lidah. “Kita pulang sekarang,” ucap Andra ketus. Arletha mengangguk ragu. “Iya Pi.” Di dalam mobil hitam yang tengah melaju, Arletha duduk di kursi penumpang. Suasana di mobil cukup tegang karena Andra belum mengeluarkan sepatah kata pun. Keningnya mengkerut dengan tatapan fokus pada jalanan malam yang cukup ramai. Hal ini semakin membuat Arletha bingung harus melakukan apa. “Sejak pulang dari Paris, kamu belum pernah tidur di rumah. Sekarang mau begitu lagi?” tanya Andra memecah kesunyian. Arletha menoleh ke samping, sembari menggeleng. “Pi, aku bisa jelasin semua dari awal. Keputusanku untuk bohong, ada alasan yang kuat. Jadi Papi dengar dulu.” “Oke, ayo ceritakan. Papi mau tahu, apa kamu masih tega berbohong sama Papi yang sudah beberapa kali kasih kesempatan buat kamu,” ucap Andra dingin. “Malam pertama aku sampai Jakarta, aku Cuma berencana kasih kejutan ulang tahun buat Bas, tapi aku malah lihat dia ngajak Vivi ke apartemen. Aku mau sendiri, dan apartemen Valen yang paling nyaman waktu itu. Dan soal semalam …” Arletha menggigit bibir bagian bawah karena ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ia terlalu malu karena sudah keterlaluan terhadap ayahnya yang sangat menyayanginya. “Apa? Kenapa diam?” “Bas nyalahin aku atas keputusannya selingkuh sama Vivi, Pi. Jadi semalam aku benar-benar sakit hati dan nyari pelarian ke tempat yang nggak semestinya. Aku nggak berpikir panjang akan akibatnya. Untung ada teman Papi, jadi aku bisa selamat dari cowok yang berniat buruk sama aku,” jelasnya. “Valen juga cerita kalau Om River nggak pergi sebelum dia datang. Memastikan kalau aku sudah dengan orang yang tepat dan dalam keadaan aman,” sambungnya. “Nyalahin kamu? Maksudnya apa, Letha?” “Dia …dia bilang butuh perhatian dan teman saat terpuruk. Sedangkan aku ada di Paris. Aku sedih Pi atas perkataan dia yang seolah-olah menyudutkan aku,” gumam Arletha sedih. Andra memukul setir mobil setelah mendengar penjelasan Arletha. Wajahnya semakin tegang dan kilat amarah nampak sekali di matanya. Hal ini membuat gadis itu terkejut dan takut. “Pi, aku minta maaf,” ucapnya dengan suara bergetar. “Papi bisa maafin kamu tapi Papi sangat kecewa dengan Bas,” ujarnya. Andra menoleh singkat. “Kemarin mungkin Papi bisa menahan diri, tapi sekarang Papi nggak terima. Dia sudah nyakitin kamu, tapi malah melimpahkan kesalahannya sama kamu. Pria macam apa bisa bersikap seegois itu?” “Aku sudah nggak apa-apa, Pi. Jangan berpikir kalau aku akan semakin terpuruk. Dukungan Papi benar-benar buat aku kuat. Papi harus percaya kalau aku nggak akan lemah hanya karena cowok seperti Bas.” Andra membawa mobilnya mencari tempat yang sedikit lengang untuk menepi. Dalam keadaan emosional, ia tahu harus melakukan apa. Sementara itu, Arletha sudah pasrah dengan apa yang ayahnya lakukan. Meski tahu jika Andra tidak pernah melakukan hal kasar kepadanya, tapi kali ini ia tahu ayahnya sangat kecewa, dan marah. Sehingga ia memilih pasrah. Begitu mobil berhenti, Andra langsung melihat putrinya. Napasnya sedikit berat dengan sorot begitu dalam. Tangannya terangkat, mengusap pucuk kepala Arletha. “Letha, kamu tahu bagaimana Papi sayang sekali sama kamu. Pertama kali kamu kenalin Bas sebagai pacar, Papi nggak ada ragu bahkan mendukung selama kamu bahagia. Tapi kalau putri Papi diperlakukan seperti ini, Papi nggak terima. Siapa dia, berani menyakiti kamu dan malah menyalahkan kamu.” Dengan kedua mata berkaca-kaca, Arletha mengangguk. “Maafin Letha sudah buat Papi khawatir dan sedih, ya.” “Mulai sekarang, Papi nggak akan biarin kamu dekat dengan pria sembarangan. Papi harus tahu betul bagaimana latar belakang dan kepribadiannya. Nggak peduli kamu setuju atau tidak. Karena bagi Papi, lebih baik waspada sejak awal daripada lihat anak kesayangan Papi pergi ke klub lalu mabuk akibat patah hati.” Tidak ada yang bisa Arletha katakan selain perasaan yang bercampur aduk. Masih dengan rasa bersalah, tapi kini bertambah dengan rasa haru sebab ayahnya tidak pernah lelah menjaga dan menyayanginya. Meski hidup dalam keluarga tidak utuh, kasih sayang yang ia dapatkan tidak pernah kurang. Arletha semakin merasakan kuat untuk bangkit dari patah hati yang dilakukan Baskara. *** “Halo, selamat datang di Oak Tree Café!” Arletha membalas sapaan dari pegawai kafe dengan senyum, sembari melangkah menuju meja pemesanan. Ia disambut oleh orang yang sama saat ia datang pertama kali. Begitu hangat dan ramah. “Hai, aku mau pesan kopi yang pernah kamu rekomendasikan. Rasanya enak dan aku suka.” “Baik. Ada tambahan lain?” tanya wanita itu. Pandangan mata Arletha tertuju pada etalase kaca yang memperlihatkan deretan cake dengan berbagai jenis. Nampak enak dan menggugah selera. “Lemon cake satu. Oke, itu saja.” “Dine in or take away?” “Dine in,” jawabnya. Setelah melakukan pemesanan dan p********n, Arletha mencari tempat duduk yang nyaman. Dari tempatnya sekarang, ia bisa melihat gedung Eleven media milik keluarganya. Begitu megah dan juga sangat terkena. Hal ini membuatnya menghela napas panjang. “Punya Papi pekerja keras, tapi anaknya pengangguran. Apa aku balik ke Paris saja, ya?” Lamunan Arletha buyar ketika pesanan miliknya sudah diantarkan. “Sendirian saja?” “Iya, lagi sumpek jadi mau cari angin,” jawabnya. “Oh. Ya sudah, selamat menikmati. Semoga setelah ini, pikiran kamu jadi lebih baik.” Arletha mengangguk. “Makasih. Oh iya, kamu pemilik kafe ini?” “Iya, aku yang punya, yang kelola dan yang kerja.” “Wah, keren,” puji Arletha. Wanita itu tersenyum. “Bukan keren, tapi terpaksa.” “Dalam keadaan terpaksa pun tetap terlihat keren.” Lalu gadis itu mengulurkan tangan. “Aku Arletha.” “Freya,” balasnya. “Nama yang bagus. Dan tempat ini keren dengan kopinya yang enak. Papiku juga suka waktu aku bawakan ke kantornya.” Freya nampak semringah. “Oh iya? Wah makasih.” “Sama-sama.” “Ya sudah, aku harus kerja lagi. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat panggil.” “Iya, tenang saja.” Setelah Freya pergi, Arletha kembali dengan kopi serta cake di atas meja. Menikmati sendiri sambil meruningkan nasibnya. Sekilas mengingat tentang Baskara yang mengacaukan rencana indahnya. Namun segera ditepis karena menghargai kasih sayang sang ayah. “Enggak! Aku nggak mau ingat cowok b******k itu. Aku terlalu berharga untuk orang seperti dia,” batinnya. Selesai membatin, Arletha buru-buru meneguk ice coffee miliknya. Matanya melihat ke sekitar hingga nampak kaget ketika melihat siapa yang tengah berjalan menuju meja pemesanan. Matanya membola dan wajahnya menjadi kaku. “Itu …itu Om River?” gumamnya. “Ya Tuhan! Sekian banyak kafe di Jakarta, kenapa harus ke sini, sih?” Arletha menarik turun topi yang dikenakan agar wajahnya tidak terlalu terlihat. Bukan tidak suka, hanya saja ia tidak memiliki minat untuk bertegur sapa dengan teman ayahnya. Meski pria itu membantunya, tapi River juga membuat rahasianya terbongkar. “Semoga dia nggak lihat aku,” batinnya. Sambil menunduk dan memainkan ponsel, Arletha berusaha tidak peduli akan keberadaan pria matang itu. Berharap tidak lama River pergi dari tempat ini. “Sendirian? Boleh saya gabung di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN