Eps 08. Gugup

669 Kata
Perbincangan terhenti saat Pak Danu keluar dari pintu ruangan Manager dengan membawa selembar kertas. Tatapan Pak Danu langsung menjurus ke arah Ashel membuat Ashel tercekat. “Ashel, kamu dipanggil Pak Manager!” tegas Pak Danu kemudian dia duduk di kursinya dan langsung bekerja. Kenapa jantung Ashel jadi rame? Apa mendingan kabur aja, ya? Bego! Yang namanya Ashel tidak sebego itu. Ashel harus berani. Gumamnya dalam hati. Dia sungguh-sungguh menyesal telah tertidur di jam kerja. Tak henti hatinya mengumpati diri sendiri karena telah melakukan kesalahan. Ini gara-gara kelopak mata rasanya berat, ngantuk banget. Efeknya sampai ketiduran. “Shel, cepetan sana!” bisik Naifa yang melihat Ashel malah terbengong. Ashel mengangguk dan memberanikan diri memasuki ruangan manager setelah sebelumnya melakukan aksi ketuk pintu selayaknya karyawan lainnya. Baru selangkah melewati pintu, ia tercengang melihat sosok yang kini duduk di kursi manager. Itu kan Fariz! Kok, lelaki itu bisa ada di sana? Pandangan Ashel bertemu dengan mata Fariz. Seketika itu, hati Ashel rasanya seperti disiram air es, dingin sekali. Ya ampun, Riz, gini amat pengaruh ditatap sama kamu? Kaki pun gemeteran. Duuuh... Jangan sampai ambruk di depanmu Cuma gara-gara lemes. Malu-maluin. Gumam Ashel. “Duduk!” titah Fariz menunjuk kursi di depan mejanya. Ashel patuh. Kini ia duduk berhadapan dengan si tampan. Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu, dan Fariz hanya diam saja. Lelaki itu malah sibuk membolak-balikkan kertas-kertas di mejanya tanpa bicara apapun. Ashel mengelus d**a. Duduk berhadapan dengan bos dalam keadaan diam membisu begitu, Ashel salah tingkah sendiri jadinya. Lama ia memperhatikan wajah Fariz yang jauh lebih mempesona sejak terakhir kali Ashel lihat di SMA. Yang paling Ashel suka, hidungnya. Mancung ala-ala Palestina. Ashel melebarkan mata menatap wajah di hadapannya itu saat mengingat satu hal. Tidak ada rambut lepek. Juga tidak ada ekspresi culun di wajah itu. Tak salah, wajah itu sama persis dengan wajah si Tono, Office Boy yang pernah membuat Ashel hampir stres. Tapi untuk apa Fariz menyamar jadi tukang sapu? Pandangan Ashel kini pindah ke tangan Fariz yang saat itu mengenakan kemeja lengan pendek, otot-otot bisepnya kelihatan, membuat Fariz tampak semakin menarik di mata Ashel. Iiih... Dosa. Zina mata. Ashel tersenyum dan kembali mengutuki dirinya sendiri. Andai aja Fariz tahu, kalau Ashel sudah mendambakan Fariz sejak SMA, akankah itu kedengaran lucu? Mustahil lelaki seperti Fariz akan tertarik pada Ashel. Ashel pesimis. Kini pandangan Ashel menjelajah ke jari-jari Fariz. Ia mendapati cincin warna perak melingkar di sana. Cincin apa itu? Cincin kawinkah? Atau cincin tunangan? Mana mungkin cowok sesempurna Fariz belum dikekep orang. Minimal pasti punya pacar. Ah, kenapa Ashel jadi kepo banget sama status Fariz? “Halo, kamu dengar saya?” Ashel tergagap mendengar pertanyaan Fariz. Pertanyaan apa? Oh, jadi yang sejak tadi ngomong itu suara Fariz? Bukan dengungan di telinganya? Gara-gara keasikan memikirkan status Fariz, telinga Ashel seperti tersumbat. “Maaf, Pak. Tadi bicara apa?” Mudah-mudahan Fariz tidak akan kesal dengan pertanyaannya itu “Kamu yang namanya Ashel?” “Iya, Pak.” Ashel mulai gugup ditatap Fariz begitu, inikah saatnya Fariz akan mengomelinya? Ia siap mendapat omelan sang bos. Fariz menekan enter di laptopnya kemudian printer berderit mengeluarka kertas yang sudah ada gambar kurvanya di sana. Entah kurva apa itu. “Kamu bikin kurva ini di sana!” Fariz menunjuk white board yang menempel di salah satu sisi dinding. “Sesuaikan saja dengan ini!” ia menunjuk kertas tadi dan menyerahkannya kepada Ashel. Syukurlah Fariz tidak membahas masalah Ashel yang ketiduran di jam kerja. “Tapi... bukannya laporan ini sudah ada di laptop Bapak, ya? Maaf Pak, kenapa harus dibuat lagi di papan itu? Bapak kan juga bisa lihat laporan yang sama di kertas ini kalau Bapak perlu, nggak perlu ditulis di papan kan, Pak?” Dalam arti kata lain, Ashel ingin bilang kalau pekerjaan itu adalah pekerjaan sia-sia. Kurva bisa dilihat di laptop kok mesti ditulis lagi, sih? Namun ia menyampaikannya dengan bahasa yang menurutnya santun. “Saya mau perhatikan kurva itu setiap saat. Saya mau lihat pergerakan dan pergeserannya. Kamu kerjakan saja sana!” “Baik, Pak!” Ashel bangkit dari kursi.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN