Eps 07. Masih Terkenang

848 Kata
Guru yang mengajar pun pintar membawa pelajaran hingga membuat para siswa tidak jemu. Penyampaiannya asik. Itulah alasan yang membuat pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang selalu ditunggu-tunggu. Keributan para siswa yang biasanya seperti gemuruh serombongan lebah seperti ketika pelajaran lain pun tak terdengar. Semua diam menunggu guru muda itu memulai pelajaran. “Selamat pagi anak-anak!” Bu Eyi melempar pandangan ke sekeliling. Mengamati wajah-wajah pagi yang penuh semangat. Belum ada malas. Memang judulnya belajar bahasa Indonesia, tapi yang mengajar bahasanya medok alias logat Jawanya kental sekali. Begitulah mayoritas penduduk Yogyakarta. Khas dengan gaya medoknya. Salah satunya Bu Eyi, Yogya tulen. “Pagi Bu!” Serentak semua menjawab. Sejurus perhatian para siswa menuju ke depan kelas. Pada biji mata biru yang indah. Pada senyum lebar yang tak pernah pudar. Bu Eyi duduk. Meletakkan buku besar yang sejak tadi dibawanya ke meja. Lalu mengabsen siswa satu per satu. Setiap nama yang dipanggil menyahut ‘hadir’ seraya menunjuk jari keatas. Lengkap. Tak ada satu pun yang mengotori buku absen. “Bagus!” puji Bu Eyi bangga. Ia berdiri, berjalan kesana kemari disela-sela meja para siswa sambil memperhatikan penampilan para siswanya. Bu Eyi tidak langsung memulai pelajaran. Terlebih dahulu ia membuka obrolan santai pada anak didiknya. Mengajak bergurau. Menanyai Fariq kenapa rambutnya bisa basah bagian depan saja, yang ditanya bingung harus jawab apa. Butiran embun telah membuat kepalanya yang setiap pagi melintasi jalan perkampungan tanpa helm menjadi basah. Belakangnya kering. Lucu. Alea tertawa renyah disamping Fariq. Dan masih banyak obrolan ringan yang membuat gemuruh tawa menggelegar sampai terdengar ke ruang kelas sebelah. Semua itu dilakukannya untuk mengusir kata bosan. “Baiklah, sekarang kita akan memulai untuk membagi kelompok belajar. Tujuannya untuk pembuatan makalah.” Bu Eyi mendekati buku besarnya dan mengamati nama satu persatu. “Usul, Bu!” Fariq mengangkat tangan. Bu Eyi mengernyitkan dahi. Menatap Fariq lekat. “Usul apa?” “Begini, teman-teman sering kali merasa nggak adil jika pembagian nama kelompok dilakukan dengan cara menunjuk nama siswa.” Fariq mengungkapkan apa yang sedang dipikirkannya. “Kamu memperjuangkan kemauan Val ya?” Alea berbisik dengan wajah manyun. Fariq mengangguk tanpa merasa bahwa teman disisinya merasa cemburu, ada perempuan lain yang mendapat perhatian lebih. Val bertepuk tangan kecil. “Yes!” desisnya. “Jadi menurutmu bagaimana?” tanya Bu Eyi menunggu. “Biar adil, kita pakai cara kocok aja. Kayak arisan. Dengan begitu nggak ada yang bisa protes, nggak ada yang merasa diasingkan, semua pasrah dengan ketentuan yang ada.” “Bagus! Ide bagus.” Bu Eyi mantap. Val cemberut. Dengan cara diacak begitu, memangnya ia dijamin bisa berada di kelompok Fariq? Jangan-jangan malah benar-benar satu kelompok dengan Bono. Nasib nasib… Semuanya setuju. Tak ada yang mengelak. Rasanya itu ide yang tak bisa dielak lagi. Siswa berjumlah empat puluh orang. Dibagi menjadi delapan kelompok. Maka masing-masing kelompok berjumlah lima orang. Bu Eyi menyerahkan cara pembagian kelompok kepada Fariq. Fariq memotong kertas HVS yang diberikan Bu Eyi menjadi empat puluh bagian. Kotak-kotak. Setiap potongan kertas ditulis satu buah angka. Angka 1, 2, 3, 4 dan 5. Fariq meminta beberapa orang temannya untuk menggulung kertas tersebut. Gulungan kertas dimasukkan ke dalam kaleng. Dikocok. Fariq berkeliling dari sudut kelas ke sudut berikutnya lagi untuk membagikan gulungan kertas tersebut. Masing-masing orang hanya boleh mengambil satu. Ketika fariq berdiri tepat didepan Bono, lelaki berhidung besar itu merogoh isi kaleng paling bawah. Mengambil satu. Dibuka. Nomer satu. Giliran Darwin disebelahnya mengambil satu gulungan kertas. Dibuka. Tersenyum. Bono mengintip kertas di tangan Darwin. Nomer satu. Ia memeluk Darwin dan berbisik girang, “Kita satu kelompok.” “Asik ya. Tak ada kau, aku pun pilu.” Darwin malah bercanda. Fariq terus berkeliling seperti orang menjajakan dagangan. Masing-masing siswa mengambil satu dan membuka. Histeris. Ada yang mendapat nomer dua, tiga, empat dan lima. Yang nomernya sama, sudah otomatis mereka adalah satu kelompok. Alea menatap Fariq saat lelaki itu menyodorkan kaleng ke hadapannya. Fariq mengerlingkan sebelah alisnya. Alea tersenyum. Mengambil satu. Diletakkannya di meja. Tanpa membuka. Deg-degan juga. Ia ingin berada di satu kelompok bersama Fariq. Ia sadar seisi kelas pasti menginginkan hal yang sama. Bagaimana tidak, Fariq bukan hanya Ketua OSIS yang dikagumi banyak orang. Tapi juga cerdas dan penuh akal. Selalu ada ide cemerlang di otaknya yang encer. Wajar saja ia menjadi incaran. Jika Alea tidak berada di kelompok Fariq, entah apa jadinya. Lalu jika Val satu kelompok dengan Fariq dan ia tidak berada disalah satunya? Entahlah… Sampai di meja Val yang berada di barisan belakang, Fariq meminta Val secepatnya mengambil kertas. Gadis itu justru menangkupkan kedua tangannya di d**a seraya berbisik, berdoa panjang. Membuat yang lain kelamaan menunggu. “Ayo, buruan!” seru Fariq tak sabar melihat Val masih saja komat-kamit dengan mata terpejam. “Semoga aku satu kelompok denganmu!” Val bicara dengan nada sangat manja. Membuat Alea menoleh ke arahnya dan memendam cemburu. Val mengambil satu kertas. Cepat-cepat dibuka. “Nomer satu.” Teriaknya histeris. “Fariq, kamu nomer berapa?” “Aku belum ngambil. Terakhir aja,” ungkap Fariq sambil menyodorkan kaleng pada siswa terakhir yang berada di sudut kelas. Kertas diambil. Tersisa satu. Fariq mengambil sisa kertas dan kembali duduk di kursinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN