Eps 09. Kaki Sialan

760 Kata
Ibu telah tiga kali keluar masuk rumah melintasi Fariq yang masih duduk di teras dengan tatapan jauh ke arah kiri. Pada jalan panjang di depan rumah. Tiga kali juga ibu menanyakan apa yang sedang ditunggu. Fariq hanya menjawab,”Teman.” Sebenarnya ibu sudah tahu apa yang sedang ditunggu Fariq. Semalam Fariq sudah menyampaikan bahwa ada teman-temannya yang akan datang. Ibu hanya menggoda. Agar Fariq tak terlalu berlebihan menanti kedatangan teman-temannya. Ibu menjemur kerupuk ubi di sepotong seng yang telah diletakkan dengan rapi di samping rumah. Seng digeletakan di atas bunga bonsai yang dipotong rapi petak-petak. Begitulah ibu, rajin. Sisa ubi pembuatan tapai ia manfaatkan untuk dibuat kerupuk. Hampir semua yang berkaitan dengan ubi tak ada yang dibuang. Mungkin hanya kulitnya saja yang dibuang ke dalam lubang besar tempat pembuangan kulit ubi di belakang rumah. Usai menyusun kerupuk ubi ke atas seng, ibu kembali masuk. Dan tak muncul lagi. Fariq melirik arloji di tangan, jam sembilan lewat lima belas menit. Hari ini kelompok Melati, kelompok belajar bahasa Indonesianya akan mengadakan pertemuan di rumah. Untuk mengerjakan makalah mengenai pembuatan tapai. Tak mungkin teman-temannya itu lupa. Subuh tadi Alea telah mengirimnya sms bahwa ia dan teman-teman akan segera datang. Dan jamnya, Fariq lupa merembuk jam berapa mereka harus berkumpul. Senyum Fariq merekah ketika dari kejauhan tampak iring-iringan motor mendekat ke arahnya. Tak lain Darwin, Alea, Bono dan Val. Fariq berdiri untuk menyambut. Menunggu hingga teman-temannya sampai ke halaman rumahnya. Dua kendaraan beroda dua berhenti tepat di halaman rumahnya yang luas. Matahari telah naik, menandakan hari telah beranjak meninggalkan pagi. Darwin berboncengan dengan Alea, sedangkan Bono bersama Val. Dua orang yang sering berantem itu justru berboncengan di satu kendaraan. Lucu. Sesekali dijalan mereka adu mulut. Membuat Bono sengaja membelok-belokan stang motor ketika sedang kesal. Val menjerit ketakutan. Jika jatuh, ia takut tidak akan cantik lagi. Fariq mengamati keadaan teman-temannya. Masing-masing mengenakan tas punggung. Mereka tidak kedinginan, sebab embun telah diangkat oleh sinar matahari. Keempat-empatnya menggunakan jaket tebal. Mungkin kejadian tempo hari telah dijadikan pengalaman oleh Darwin dan Bono. Kampung yang masih alami itu tentu saja diselimuti embun tebal dikala pagi hari. Bahkan alis dan bulu mata bisa menjadi basah akibat dihinggapi embun sampai membentuk butiran dan menetes. Alea turun. Melempar senyum cerah. Menghampiri Fariq. Darwin masih nangkring di atas motor, melempar pandangan ke pokok rambutan. Tak ada buah yang masak. Val turun dengan wajah cemberut. Kepalan tangannya meninju lengan tangan Bono yang disambut dengan tawa ringan oleh lelaki berhidung besar itu. “Ribet banget dibonceng sama Bono. Dia sengaja bikin aku jantungan.” Val mendekati Fariq seolah sedang mengadu dan bermanja. Wajahnya manyun. Fariq tak mengomentari. Tersenyum melihat teman-temannya yang berwajah berseri-seri. Hanya Val yang merengut. Namun hanya sebentar saja. Ketika mata Val mengamati sekeliling rumah Fariq, ia mendadak takjub. Suasana segar tercium. Asri. Sejuk. Alea melempar pandangan ke segala arah. Mengamati sejuknya suasana dengan belaian angin sepoi-sepoi. Dua gadis yang baru menginjak kampung Damai merasakan sesuatu yang nyaman. Seperti ada magnet yang membuat hati mereka tertarik dan melekat pada kampung bernuansa hijau. Fariq mengajak teman-temannya masuk ke rumah. Langkah keempatnya tertahan. Mereka berbisik. “Ada apa?” Fariq menoleh, heran melihat langkah teman-temannya terhenti. Menunggu di pintu. “Ha ha…” Darwin mendadak terbahak-bahak. Keras. Membuat yang lain menjauh. Suara tawanya yang menggelegar tak enak didengar. “Kecilin dikit volumemu. Ntar mayat pada bangun tauk!” Bono menyeletuk. Alea terkekeh. “Mana ada mayat bisa kaget. Ada suara petir juga dia nggak bakalan bangkit kok.” Fariq masih berdiri di pintu menunggu jawaban. Mereka malah asik berembuk hal yang tak penting. “Ini nih, mereka bilang hidung mereka mencium wangi masakan.” Darwin menjelaskan pada Fariq yang menunggu dengan wajah penuh tanda tanya. “Ibu kau pasti sedang masak enak.” Darwin bicara terus terang. Tanpa rasa segan. Alea, Val dan Bono saling pandang dengan wajah merah semu. Malu. Merundingkan soal masakan. Fariq tersenyum saja. Melangkah masuk. Keempat temannya mengikuti. Bono dan Val bagaikan kucing dan anjing. Saling dorong karena tak mau berdekatan. Membuat suasana menjadi gaduh. Berisik. “Duduklah!” Fariq mempersilakan. “Ya ampun, formal amat sih.” Bono menyeletuk. “Kalau kamu mau berdiri, ya silakan,” sela Alea dengan senyum. Semuanya duduk di sofa cokelat. Melingkari meja kaca. Fariq berlalu ke belakang. Langkahnya terhenti ketika bertemu ibu di ambang pintu dapur. Ibu telah membawa lima gelas dan satu ceret kecil keemasan berisi kopi ginseng diatas nampan. Pagi masih agak dingin, menurut ibu ginseng hangat akan mampu membuat tubuh menjadi hangat. Fariq tampak kesal melihat ibu menyediakan air untuk dirinya dan teman-temannya. Ia berusaha merampas nampan dari tangan ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN