Seorang anak berusia 7 tahun yang baru saja memasuki sekolah dasar itu terlihat berdiri di depan murid lainnya. Tersenyum dengan riang dan menatap orang orang di depannya sambil melambaikan tangan, seolah itu mereka adalah rakyatnya. Shuhua, nama anak itu. Dia tidak sabar memperkenalkan diri pada calon bawahannya itu.
Memiliki circle baru, teman baru, babu baru, dan orang orang baru yang akan memberikannya makanan juga. Anak yang terkenal jahil dan juga keras kepala, nakal pula. Itu penghargaan yang dibawanya dari pra-school.
“Coba perkenalkan diri, Namanya siapa?” tanya sang guru.
“Shuhua Chou.”
“Pekerjaan orangtua kamu apa?”
“Mamih aku tiap hari dapet duit 400 juta, mobilnya banyak, beli helicopter seminggu sekali. Yang paling jelek itu mobil fortuner.”
“Wah, memangnya Mamih kamu kerjanya apa?”
“Ngehayal.”
“HAHAHAAHAHAHA!”
“Hahahahaah!”
“Abang kenapa sih ketawa sendiri?” tanya Shuhua kaget, ternyata Galaxy sedang menatap ponselnya sendiri.
“Liat rekaman pas kamu masuk sekolah dasar, Ci. Nakal banget kamu dulu.”
“Itukan dulu, sekarang kan enggak.” Shuhua kembali focus memotong motong buah semangka yang kulitnya berwarna hitam. Sengaja menjauh dari Kasur supaya tidak meninggalkan noda. Shuhua memotongnya di meja yang ada di dekat balkon, berhadapan dalam jarak yang cukup jauh dengan Galaxy yang sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
“Boro boro enggak, Mamih kamu pernah dipanggil ke ruang BK kan?”
“Ih jangan diingetin napa,” ucap Shuhua mendengus kesal. Dia Menyusun semangka itu di piring sebelum membawanya ke atas ranjang, duduk berhadapan dengan lebih dekat. “Enak loh, Bang. Manis banget.”
“Kan, udah Abang bilangin.”
“Nanti dibawa pulang yak sisanya?”
“Bawa aja pulang. Tapi nanti malem nginep di sini, Ci. Kasian Rara gak ada temennya.”
“Gampang, tar ke sini.”
“Mamih kamu marah gak nanti?”
Keduanya menikmati semangka bersama sama di atas ranjang. Airnya tidak terlalu banyak, tidak akan meninggalkan bekas. Meskipun ada satu atau dua tetes air semangka yang jatuh, mungkin tidak akan terlihat karena spreinya berwarna hitam.
“Gampang, si Mamih nanti disogok semangka.”
“Siapa yang disogok pake apa?”
Keduanya menoleh ke ambang pintu, dan dikagetkan dengen kedatangan Sinta yang membawa keranjang berwarna merah; oleh oleh dari Macau. “Eh, ada Tante.”
“Kalau lagi pacaran, pintunya ditutup biar gak ada yang liat. Tapi jangan sampe kebablasan juga.”
Galaxy hanya tertawa pelan, sementara Shuhua sudah cekikikan malu sambil sesekali menggoyangkan tubuhnya.
“Kenapa kamu? Setan masuk?” tanya Sinta melihat tingkah anaknya.
“Ih mamih mah gak seru ah.”
Focus lagi pada Galaxy, Sinta tersenyum. “Maaf ya, Kak. Suka ngerepotin si Suhu. Nih Tante bawain oleh oleh. Mama kamu katanya harus pergi ke beberapa negara, jadi makan aja sama Rara ya, Kak.”
“Makasih, Tante. Gimana kabarnya Koko Winwin?”
“Sehat, dia mulai magang di sana. Biasa kalau yang pinter sih gampang mau kerja di mana juga,” ucapnya sambil menatap anak gadisnya yang sibuk mengunyah. “Gak kayak makhluk satu itu. Kamu makan ap aitu, Ci? Semangka gosong kok dimakan sih?”
“Coba dulu,” ucap Shuhua memasukan satu potong semangka ke mulut Mamihnya. “Enak?”
“Wuih, Papih kamu pasti suka makan semangka.”
“Tuh masih ada dua biji, dikasih sama Bang Al. Mamih bawa pulang ya, gantinya Cici malem ini mau nginep di sini. Nemenin Rara.”
“Bolehlah, asal jangan ganggu kamu ya,” ucap Sinta sambil mendekat ke arah semangka gosong yang berbentuk bundar dan juga besar.
Melihat itu, Galaxy sedikit khawatir. Pasalnya semangka itu lumayan berat, satunya lebih dari 9 kilo. “Tan, nanti aku suruh orang aja yang anterin. Itu berat loh.”
“Mana berat? Ringan gini, Kak. Btw makasih ya.”
Kaget melihat bagaimana sosok itu membawa semangka dengan begitu mudahnya. Ternyata anak dan ibunya sama sama kuat, membuat Galaxy merinding.
“Kenapa, Bang? Dingin, mau Cici peluk?”
Baru juga Shuhua merentangkan tangannya sambil mendekat,
TOK. TOK. “Maaf mengganggu, Tuan. Ada teman temannya di bawah.”
“Suruh ke sini aja, Bi.”
******
Hal yang membuat Shuhua kaget itu adalah ketika dirinya disuruh untuk keluar terlebih dahulu. Galaxy bilang teman temannya akan sangat berisik dan juga menanyakan hal hal yang aneh. Namun ketika Shuhua melihat ada perempuan diantara mereka, dia langsung mengerutkan kening dan menatapnya dengan tatapan tidak suka, apalagi saat pria di sekitarnya memperlakukannya dengan sangat manis. Terlihat jelas kalau perempuan itu bukan bagian dari Teman mereka.
“Jangan jangan…. Bukan siapa siapa,” ucap Shuhua memilih keluar dari jalan pinggir demi tidak bertemu dengan mereka.
Dia melangkah cepat ke rumahnya. “Kok pulangnya cepet?” tanya sang Mamih begitu melihat anaknya sudah pulang. “Gak nungguin di sana?”
Mungkin kebiasaan karena Shuhua lebih sering berada di rumah tetangganya daripada di rumahnya sendiri. “Ada temennya Bang Al dari kampus, disuruh pulang dulu. Soalnya temen temennya berisik.”
“Ohh.. itu ya?” Mamihnya yang sedang memasak mengintip lewat jendela. “Ada cewek satu, cantik lagi. Jangan jangan pacarnya Bang Al itu?”
“Kok Mamih gitu sih? Gak dukung Cici sama Bang Al ya?”
“Tapi ya gimana, kalau dibanding sama itu cewek, kamu gak ada apa apanya.”
“Papih!” teriak Shuhua mengadu pada Papihnya yang sedang berkutat dengan laptop.
“Sini, Ci. Pijitin papih coba.”
Niat mengadu malah disuruh mijit. “Gak jadi ngadu deh, Cici mau ngintip dari kamer.”
Sementara itu di sisi lain, teman teman satu kampusnya takjub melihat bagaimana rumah Galaxy yang sudah seperti istana, bahkan lantai bawahnya bisa digunakan untuk bermain futsal. Mereka sibuk mengagumi, dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leah. Dia mendekati Galaxy.
“Maaf ya, aku baru bisa dateng hari ini sama yang lain.”
“Gak papa kok, kan tadi ada praktek. Gimana prakteknya? Lancar?”
“Lancar,” jawab Leah sambil duduk di bibir ranjang. Mengabaikan teman teman Galaxy yang saling berbisik dan berdehem di balkon sana. “Kamu jatuh pas abis nganterin aku dari Bandung ya? Sorry, Al.”
“Minta maaf mulu, kamu gak salah. Kalau kamu ngerasa salah terus aku malah gak nyaman.”
“Maaf.”
“Tuh bilang maaf lagi.”
Leah terkekeh hingga memperlihatkan salah satu lesung pipinya. “Kalau kamu udah sembuh, kita jalan mau?”
“Kemana?”
“Bukan ke rumah rector atau ke Bandung lagi kok”
“Boleh, kamu tentuin aja tempatnya.” Kemudian tatapan Galaxy turun dan tidak sengaja melihat tangan Leah yang terluka. Seperti luka lebam. “Ini tangan kamu kenapa?”
“Kejepit pintu.”
“Kok bisa? Gak focus atau gimana?” Galaxy bahkan sampai menggenggam tangan itu untuk melihat lukanya lebih jelas.
“Iya gak focus, mikirin kamu terus.”
“Eh?”
CEKREK.
CEKREK.
Saat Galaxy menoleh, teman temannya sedang memotret sambil cekikikan di sana.
“Cie, yang bentar lagi mau official.”
“Pacar pertama ya?”
“Akhirnya setelah sekian lama single, jadi double.”
Begitulah mereka saling berbisik.