Arjuna Masih Tak Terima

1224 Kata
"Ini pempersnya ukuran berapa ya, Bin?" tanya Aruna berhadapan dengan sederetan popok bayi dengan berbagai merk. "Ukuran paling kecil lah, newborn, pasti ada pilihannya," balas Binar yang mencoba membaca satu per satu keterangan yang tertera tiap-tiap wadah pempers. "Ukuran S bukan sih? Yang isi berapa ya?" Kembali Aruna mengutarakan kebingungannya. "Yang banyak sekalian, Na, biar gak bolak-balik beli." "Ya ud–" "Gak usah banyak-banyak! Bayi itu cuma dua hari di rumah!" Perkataan Arjuna memotong pembicaraan antara Aruna dan Binar sebelumnya, mengundang lirikan sini dari saudaranya sendiri. "Ngikut aja lo, Babi!" balas Aruna memandang tak suka ke arah pria itu. "Gak usah banyak-banyak, secukupnya aja!" ulang Arjuna membalas tatapan sinis Una. Tampaknya lelaki ini masih menolak kenyataan perihal bayi bernama Ryu yang telah menggemparkan seisi rumah pagi tadi. Ya meskipun mereka masih harus menunggu hasil tes DNA, tetap saja bayi itu berkaitan dengan Arjuna. Mungkin jika tidak, bungsu keluarga Nugraha ini tidak sebegitunya menolak keberadaan Ryu. Binar sudah mengetahui permasalahan ini dari Aruna selepas mereka melaksanakan sarapan tadi, ia juga mendengar langsung perjelas dara mengenai tes DNA yang akan mereka laksanakan antara Arjuna dan Ryu. Seperti pinta Ayah tes DNA akan dilakukan dengan mengikut sertakan Dara, walaupun sebenarnya hal ini bukan bidangnya, sedikit banyak dokter forensik ini tau perihal medis. Hal ini merupakan usaha agar meminimalisir kecurangan yang dilakukan oleh pihak tak terduga, mengingat pesaing bisnis keluarga mereka cukup banyak. Mereka tak mengambil sampel darah untuk bahan uji DNA, tapi Dara memutuskan untuk mengambil beberapa helai rambut dari Arjuna dan Ryu. Selain karena lebih praktis, Buna juga tak tega melihat bayi sekecil itu harus diambil sampel darahnya, yang tentunya sangat menyakitkan. Semua orang setuju perihal keputusan ini. Oleh karena ada bayi yang harus mereka beri perhatian lebih, Buna menyuruh mereka bertiga untuk berbelanja perlengkapan bayi. Tidak terlalu banyak memang, setidaknya cukup sampai Arjuna kembali lagi ke Surabaya. Katanya sih hanya membeli pempers, s**u formula, dan beberapa barang lainnya. "Mau bayi itu anak lo apa bukan, gue berhak beliin dia banyak kebutuhan! Lagian ini uang Buna, gue yang dikasih kepercayaan, kenapa elo yang repot?" cerocos Aruna mengambil pempers berisi paling banyak, memilih menghiraukan ucapan kembarannya. "Itu artinya lo juga anggap anak itu anak gue kan?" seloroh Arjuna tak kalah sinis dari Aruna. "Gue gak bilang gitu!" "Lo emang gak bilang gitu, yapi dari gesture sama perlakuan lo ke gue, lo nuduh gue!!" Binar melangkah menengahi kedua anak kembar ini yang hampir akan bertengkar di supermarket, ia yakin akan terjadi kegaduhan jika ia hanya diam saja menonton. "Minggir, Bin, gue mau ngasih tau cowok t***l ini paham!" Aruna menolak dilerai, malah sedikit menyingkirkan tubuh Binar dari hadapannya. "Eh anjing! Gue gak t***l, elu yang t***l gara-gara surat dari orang asing itu!" Bisa Binar lihat rahang Arjuna mengetat, marah. "Elu yang t***l karena gak percaya sodara lo sendiri!" "Cukup, Jun, cukup!" Binar menaikkan tangannya tepat di muka Arjuna, pertanda lelaki itu benar-benar harus menyudahi ucapannya. "Mungkin elo emang syok, gak ada yang mau kejadian kayak gini dateng tiba-tiba nimpa dirinya. Gue tau, gue paham. Tapi bayi itu tetep bayi, dia gak bisa jalan ke toilet waktu mau buang air, gak bisa ambil makanan sendiri kalo laper, bahkan dia bakal nangis kalo ngantuk tapi tetep gak bisa tidur. Siapapun dia, dia berhak dapet perlakuan yang baik selama pertumbuhannya." Arjuna berani sumpah jika Binar mengatakan ini lagi disaat lebih tepat, Arjuna akan tersenyum senang. Karena untuk pertama kalinya lelaki itu mendapat omelan panjang dari sang pujaan hati. Sayangnya hati Juna sedang gundah, jadi ia lebih memilih memalingkan wajahnya menghindari tatapan Binar. Akhirnya Arjuna pergi mengelilingi mall sendiri, meninggal dua perempuan tersebut terdiam ditempat melihat punggungnya menjauh. Binar menghela nafas beralih menatap Aruna yang masih memasang wajah juteknya, kalau dipikir-pikir kawannya ini selalu terbawa emosi ya? "Lo marah terus, pms ya?" tegur Binar sambil menyenggol pelan bahu Aruna. "Emang!" Pantas saja! ### Semalam mobil milik Arjuna datang, sayangnya hari ini mereka tak bisa keluar untuk menjajal mobil baru tersebut. Selain karena Arjuna menolak untuk keluar rumah, Buna juga berpesan pada Aruna dan Binar untuk menjaga Ryu saat Buna keluar rumah untuk mendatangi pertemuan bersama Ayah. Meskipun ada pekerja di rumah, Buna yakin akan sangat merepotkan jika pekerja itu harus mengurusi rumah beserta bayi itu sekaligus. Padahal hari ini seharusnya mereka berkeliling untuk mencari oleh-oleh sebelum besok lusa kembali ke Surabaya, tapi tak apalah, rasanya Binar juga betah saja mengaja bayi selucu Ryu. Ryu memang mengemaskan, kulitnya putih bersih dengan pipi bulat yang membuat hidungnya tampak kecil mungil di atas bibir yang merah merona. Entah menurun dari siapa perihal rambutnya, sebab sampai umur dua bulan bayi ini belum memiliki rambut. Binar dan Aruna memutuskan membawa Ryu sekaligus perlengkapan yang telah mereka beli ke kamar mereka, kata Buna sih jika Ryu menangis cukup liat isi popoknya saja, kalo bukan karena itu berarti ia sedang lapar dan ingin minum s**u. Sejauh ini Ryu masih terlelap, dengan Aruna dan Binar yang berbaring di samping kanan dan kirinya. "Kalau Ryu bener-bener dibawa ke Surabaya gimana ya, Na?" tanya Binar sambil mengawang menatap atap kamar. "Ya gak gimana-gimana, nanti juga ada pengasuhnya," balas Aruna sambil memainkan ponsel. "Nanti kita sering-sering negokin yuk!" Ucapan Binar membuat Aruna mengalihkan perhatiannya, melihat Binar yang masih bertahan dengan posisi yang sama. Baru saja ia ingin membalas ucapan Binar, Ryu menangis, membuat keduanya bangkit tiba-tiba. "Popoknya, Bin, liat!" interupsi Aruna pada Binar, sedangkan ia beranjak berniat mengambil pempers di meja. "Iya, Na, dia pup," ujar Binar setelah melihat isi popok Ryu. "Gua ambil apa nih, Bin?" tanya Aruna tampak terdiam menatap perlengkapan bayi di depannya. "Ambil popoklah ...!" "Terus nyebokinnya gimana?" "Iya ya?" Mereka sama-sama terdiam, baru sadar jika telah melewati satu informasi penting dari Buna. Tak mungkin mereka menelepon Buna sekarang, pasti ia tengah sibuk berbincang-bincang dengan rekan kerja di sana. Binar dan Aruna saling menatap, masih terdiam memikirkan perihal apa yang harus mereka lakukan disituasi seperti ini. "Buka YouTube deh!" putus Aruna segera membuka ponselnya, tak ada waktu lama, suara Ryu sudah menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Aruna mendekati Binar, memberi tempat agar temannya ikut serta melihat cara mengganti pempers bayi. "Oh ... Pake tisu basah, Bin, tapi kita gak beli tisu basah tadi!" gumam Aruna mengangguk-anggukkan kepala seolah telah memahami video yang ia tonton. "Gue ada di tas, tapi masih beberapa lembar. Soalnya kemarin dari Surabaya udah tinggal separo." Binar beranjak mendekati tas ransel miliknya di sudut kamar, bersamaan dengan itu Arjuna membuka pintu kamar kembarannya, menatap gusar ke arah makhluk hidup di kamar tersebut. "Itu bayi suruh diem napa? Gue gak bisa tidur .... " seru Arjuna sambil mengacak-acak rambutnya gusar. "Ya kalo bisa udah gue suruh bego! Dia pup, kita gak punya tisu basah buat bersihin pupnya!" seloroh Aruna balik menatap kesal kembarannya. Mendengar itu Arjuna membawa langkahnya memasuki kamar Aruna, tepatnya mendekati Ryu yang masih meraung. Binar sudah mendapatkan apa yang sebelumnya ia cari di dalam ransel, lantas ikut mendekati Ryu di atas kasur. "Mana tisunya?" tanya Arjuna menegadahkan telapak tangan di hadapan Binar. "Mau apa?" Meskipun masih bertanya seperti itu, Binar tetap memberikan tisu basah yang ia bawa. Arjuna tak menjawab, memilih berjongkok agar badannya setara dengan kasur Aruna. Binar yang berdiri di belakangnya hanya bisa kaget kala Arjuna dengan lihai mengganti pempers Ryu, sekaligus membersihkan sisa-sisa pup yang menempel di bokongnya. Aruna bahkan melotot tak percaya, mereka tetap terdiam hingga Arjuna selesai dan kembali keluar kamar. "Dia ... Dia kok bisa sih?!!!" ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN