Ryu Anak Siapa?

1215 Kata
Esok harinya entah mengapa Binar bangun terlambat, bahkan Aruna yang tidur lebih larut darinya sudah bangun dan siap turun untuk sarapan bersama selepas mandi. Sedangkan Binar baru membuka matanya, menatap lesu ke arah Aruna yang sudah bertolak pinggang di hadapannya. "Pusing kepala gue, Na!" keluh Binar sambil memegang dahinya. "Sakit lo?" tanya Aruna perlahan menurunkan tangannya dari pinggang. "Tau deh .... " "Kalo enggak, lo cepet mandi. Nanti turun ya, sarapan." "Iya." Setelah mendapatkan jawaban dari Binar, Aruna keluar dari kamar, ia harus turun untuk memesan sarapan yang ia inginkan pagi ini kepada ibunya. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa ia bangun lebih bagi ketimbang yang lain, ia bahkan membangun kedua kakaknya untuk segera mandi dan berangkat bekerja. "Aaaa!" Duk ... duk ... duk ... Mendengar teriakkan menggelegar dari Gladis, Aruna mempercepat langkahnya menuruni tangga, lebih tepatnya ia berlari diikuti oleh kedua kakaknya yang langsung sigap keluar kamar menyusul langkah Aruna. "Ada apa, Bun?" Dara, Lula, dan Una yang telah berdiri di belakang sang ibu. Gladis tampak berjongkok di depan pintu, menutupi atensi yang membuatnya berteriak menghebohkan satu isi rumah. "Astaga!" seru Dara yang melihat sosok mungil yang ibunya gendong. "Ada suratnya Bun!" Ini Aruna yang tak sengaja melihat sepucuk surah jatuh ketika bayi itu mulai diangkat. Keempat perempuan itu berkerumun membaca sepucuk surat yang sebelumnya Aruna pungut, satu per satu bait mereka pahami sambil dilanda rasa syok berat. 'Jun, gue gak tau lagi harus bawa kemana anak ini. Tapi gue tau keluarga lo dan elo pasti bisa ngerawat dia. Maaf gue gak bisa nyerahin dia langsung. Namanya Ryu, gue belum kasih nama lengkap buat dia. Gue mau lo aja yang kasih nama dia, ini anak lo, hak lo.' "Ada apa sih, Buna?! Pagi-pagi udah ribut aja!" gerutu Arjuna yang baru turun dari lantai dua. Arjuna melangkah menuju empat orang perempuan yang masih berdiri di dekat pintu masuk rumah, lama-lama penasaran juga melihat apa penyebab mereka bertahan sepersekian detik di sana. "Juna!" seru ibunya menatap tajam ke arah Arjuna. Seolah mendapatkan sasarannya, Gladis melotot marah. Arjuna yang baru saja melangkah mendekat seketika menelan ludah gugup, melihat tatapan mematikan dari sang ibu. Apa salahnya? Tak mau tambah penasaran, Arjuna tetap melangkahkan kakinya menuju tempat Buna tanpa mengindahkan tatapan maut tersebut. "Kamu hamilin cewek mana lagi hah?!" sergah Gladis tak menunggu Arjuna sampai di hadapannya. "Maksud–" Ucapan Arjuna terhenti ketika matanya mendapati seonggok bayi yang ibunya gendong, terdiam sejenak mencerna apa sebenarnya yang terjadi. "Nih baca!" Lula menyerahkannya sepucuk surat bertuliskan tangan yang telah mereka baca tadi. Arjuna termenung sejenak, membaca setiap tulisan yang tertera dalam selembar kertas itu. Tubuhnya membeku ditempat, dalam hati berdoa semoga semua ini hanyalah mimpi. Sayangnya bukan, nyatanya ia bisa melihat keempat perempuan di depannya menatap dirinya marah. Juna tidak tahu. Selama Juna hidup tak ada sedikitpun pikiran ia akan memiliki seorang anak dengan cara seperti ini. "Bukan anak Juna, Bun!" Entah mengapa kata itu yang keluar dari bibirnya. "Ck! Orang itu ada tulisan kok! Gak usah ngelak!" bentak Dara kesal, adiknya tak mengakui bayi laki-laki yang tadi tergeletak di depan rumah mereka. "Iya, lo kebanyakan tidur sama cewek makanya gak inget!" imbuh Aruna yang tau betul sifat ceroboh kembarannya. "Makanya kalo mau s*x ingat kondom!" Ini Lula yang paling frontal. "Parah sih lo! Gue aja baru mau nikah, bisa-bisa lo udah punya anak." Dara masih geram melihat adik bungsunya terbengong di tempat. Beberapa waktu berlalu mereka masih berdiri ditempat, seolah menunggu Arjuna mengakui bayi itu sebagai darah dagingnya. Hingga seorang pria paruh baya keluar dari kamar, menatap heran ke arah mereka semua. "Ada apa?" tanya Artha, niatnya mau sarapan bersama tapi malah mendapati keadaan canggung di dalam rumah mereka. "Arjuna punya anak, Yah!" "Maksudnya?" Mendengar suaminya tampak kebingungan Gladis melangkah masuk membawa bayi yang ia temukan sebelumnya ke arah Ayah, membuat rahang Ayah mengetat. Disisi lain Arjuna menelan ludah gugup, dirinya berada diujung tanduk. Ibunya tampak berbisik sebelum Ayah berucap, "Juna, sini ikut Ayah." ### "Bukan anak aku, Yah! Bukan!" "Tapi surat itu? Lagian, Jun, gak mungkin itu anak kakakmu!" Ayah, Buna, Dara, Lula, Aruna, dan Arjuna diam, menyisakan keheningan menyelimuti ruang keluarga yang sedang mereka tempati. Semua terlihat gusar, menatap ke arah bayi yang kini terlelap nyaman di dekapan Buna. Ctik! Aruna menjentikkan jari lantas berujar, "Lo inget satu tahun lalu? Waktu lo pulang pagi sambil sempoyongan?" "Kap–" "Iya! Buna inget, waktu itu kamu ngakunya tidur di rumah Yuda!" imbuh Gladis yang teringat sepintas memori satu tahun lalu. Arjuna yang sebelumnya ingin menyela jadi terdiam, mulai teringat kejadian yang Aruna maksud. Malam itu ia sama sekali tak ingat siapa perempuan yang menghabiskan malam bersamanya. "Kamu itu ceroboh, Jun! Udah banyak perempuan yang dateng ngaku hamil anakmu selama kamu di Surabaya. Untungnya Ayah bisa buktiin kalo anak itu bukan anak mu." Artha berhenti sejenak, "tapi kali ini Ayah gak bisa, lihat wajahnya, dia mirip sama kamu," sambung Artha skeptis. Arjuna menggusak rambutnya gusar, memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Dia masih berusia dua puluh tahun, baru memasuki semester empat. Tak mungkin ia mengurusi bayi yang entah berapa umurnya itu. Lagian siapa sih perempuan itu? Arjuna tak merasa kenal, tapi mengapa ia tahu namanya? Apa sebelumnya mereka saling kenal? "Arjuna mau tes DNA, kalo dia bukan anak Juna, bawa dia ke panti!" putus Arjuna sepersekian detik kemudian. "Juna apa-apaan kam-" Ucapan Gladis dihentikan oleh Artha yang memberikan isyarat mengunakan tangannya agar keadaan terkendali, nyatanya memang keputusan Arjuna tidak melibatkan hati nurani sama sekali. Namun, meskipun demikian masalah ini harus diselesaikan dengan kepala dingin. "Okey, Ayah setuju buat kamu tes DNA, tapi kalo terbukti bayi ini anakmu ... Kamu harus bawa dia ke Surabaya." "Ayah!" Dengan tatapan menghunus sang ayah menatap Arjuna tajam. "Kita gak bisa rawat bayi ini disini, Jun. Ayah kerja, kakak-kakak mu juga kerja, mungkin ada Buna, tapi Buna juga punya tanggungan di kantor Ayah. Lagi pula resiko ngerawat bayi buat keluarga ini tuh besar, Jun, saingan Ayah pasti selalu cari celah dimana titik kelemahan keluarga kita. Kamu harus paham itu, Jun." papar Ayah panjang lebar. "Juna kuliah, Yah!" Masih saja Juna menolak keputusan ayahnya. "Biar nanti kita cari pengasuh di Surabaya, untuk tempat tinggal kamu sewa apartemen di sana." Artha terus memberikan solusi. "Juna ngekos! Udah bayar sampe lulus, lagian Juna gak suka di apartemen, sepi!" "Kamu di kos, anakmu di apartemen. Gak usah ribet, Jun!" "Ga-" "Bantah terus, Jun! Lagian kita belum tau anak ini anak elo apa kagak! Belum ada hasil tes DNA yang valid, terus kenapa lo panik?" Kali ini Dara yang sedari tadi diam ikut angkat bicara, risih juga lama-lama melihat kelakuan di bungsu. Ditengah ketegangan yang terjadi, Binar nampak mengintip dari arah luar, memastikan apakah ia boleh masuk di tengah-tengah perdiskusian yang tidak ia ketahui. Aruna yang menyadari hal itu beranjak berdiri menghampiri kawannya. "Ayo sarapan, Bun, Una laper!" katanya sambil melangkah keluar ruang keluarga mengandeng tangan Binar. "Itu anak siapa, Na?" tanya Binar yang sempat melihat sekilas bayi dalam gendongan Buna. "Nanti gue jelasin, yang penting sekarang kita makan!" Binar menurut saja, sedangkan di ruang keluarga Buna menyerahkan bayi yang tengah terlelap itu kepada Arjuna, tak ada orang lain yang bisa mengurusinya, pekerja paruh waktu di rumah ini juga belum datang. Sedangkan Gladis harus menyiapkan makan untuk suaminya, Dara, dan Lula yang akan berangkat kerja. "Namanya Ryu," pinta Gladis sebelum akhirnya melangkah mengikuti penghuni rumah lainnya. ####
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN