Malamnya Ryu dibawa untuk tidur bersama Buna dan Ayah, tak mungkin bayi itu ditaruh tetap di kamar Aruna karena kasur di kamar itu jauh lebih kecil ketimbang kasur kamar orang tua mereka. Selain itu juga Aruna memiliki polah yang kurang bisa dikontrol saat tidur, takut tak sengaja menyakiti Ryu.
Semalaman Binar tak bisa tidur, otaknya terus berputar memikirkan hal buruk jika esok hari tes itu menyatakan Ryu bukan anak Arjuna, sebab pria itu sendiri yang ingin Ryu di taruh panti asuhan jika terbukti ia bukanlah ayahnya. Mungkinkah benar keluarga ini bakal menyerahkan Ryu ke panti asuhan? Atau mereka akan mengadopsinya?
Entah pukul berapa Binar baru bisa tertidur yang pasti lebih larut ketimbang Aruna, meskipun begitu ia bisa bangun ketika adzan subuh berkumandang. Binar tiba-tiba teringat perihal kebun belakang rumah ini, kemarin ia tak keluar kamar sama sekali, satu hari ia benar-benar hanya menatap wajah Ryu saat tidur atau bermain kala bayi itu terbangun.
Binar beranjak mengambil jaket untuk menetralisir hawa dingin di luar sana, niatnya Binar akan melihat pemandangan kebun terlebih dahulu sebelum melaksanakan sholat subuh. Masih gelap sebenarnya, tapi ya sudah tak apa, ia yakin Aruna akan menolak untuk berada di kebun belakang saat menjaga Ryu nanti.
Tanpa memastikan kondisi kebun belakang dari jendela, Binar langsung saja menuruni anak tangga guna menuju pintu penghubung menuju kebun. Pekerja paruh waktu ia lihat baru saja datang, bersamaan dengan satpam yang telah berjaga semaleman pekerja itu memasuki rumah.
"Eh temennya Neng Una ya?" tegur perempuan paruh baya itu ramah, Binar lupa siapa namanya.
"Iya ... Hehehe .... " balas Binar mengehentikan langkahnya.
"Mau dibikinin teh gak, Neng ? Sekalian ini pak satpam mau kopi," ucapnya memberi tawaran untuk Binar.
"Gak usah, Bi, saya cuma mau ke kebun belakang kok!" Binar tak suka teh, kopi, atau minuman jenis apapun yang disajikan ketika masih hangat, bahkan panas.
"Oh gitu ... Ya udah, Neng, langsung aja ke belakang."
Binar mengangguk, kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu penghubung yang kebetulan tak jauh di sebelah dapur, sedikit membuat hatinya tenang karena ia tahu bakal ada orang yang menolong dirinya jika ada terjadi sesuatu.
Binar itu suka sekali langit dini hari, apalagi terhadap corak jingga yang mengiringi munculnya matahari pagi. Semua anak kos hafal sekali kegiatan Binar setelah bangun tidur, berdiri di depan pintu kos sambil berpegangan pada pagar menatap langit. Hal itu akan terus berlanjut hingga pukul enam, atau kadang samapi pukul delapan jika Binar tak ada kelas pagi.
Kegiatan itu beberapa hari ini tak ia lakukan karena Binar sedang berkunjung ke rumah Aruna, entah mengapa ia selalu bangun kesiangan semenjak sampai di rumah ini. Mungkin akibat perjalanan yang ia lakukan tempo hari, dan untuk pertama kalinya ia mengawali paginya dengan menatap langit Jakarta.
Binar tersenyum saat pintu penghubung itu terbuka, hawa dingin menyergap kulit putihnya. Binar suka. Kakinya lantas ia bawa masuk lebih jauh ke dalam area belakang rumah. Matanya menelusuri tiap jengkal tanaman yang sedang berbuah, tampaknya nanti Buna akan memanen tomat merah besar yang sudah sangat ranum di sana.
Baru saja Binar ingin mendekati pohon tomat itu, tangannya tiba-tiba dicekal oleh sesuatu membuat bibirnya sontak berteriak tertahan.
"Akhh ...!"
"Hey ini gue," ucap sosok itu yang ternyata berada di samping Binar, duduk di kursi panjang yang sengaja ditaruh di area ini.
"Juna?"
Beruntung Binar tak berteriak terlalu keras, sehingga satpam dan pekerja paruh waktu yang ada di dapur tak mendengar teriakkan tertahannya. Tak enak rasanya jika mereka tergopoh-gopoh mendatangi Binar padahal gadis itu tak sedang dalam keadaan berbahaya atau semacamnya.
"Ngapain disini?" imbuh Binar tak mendapatkan jawaban dari Arjuna.
Binar menelisik wajah letih Arjuna, di samping tubuh pria itu bisa ia lihat asbak yang penuh dengan putung rokok, begitu pula dengan satu batang rokok disela-sela jari Juna. Lelaki ini tidak tidur semalaman.
Akhirnya Binar memutuskan untuk duduk di samping Arjuna, turut serta menatap luruh ke arah langit.
"Lo lagi bingung ya?" Binar bertanya untuk memulai percakapan. "Gue paham kok posisi lo, ya meskipun gak begitu paham karena gue gak pernah ngalamin, tapi sedikit banyak gue tau lo lagi gak punya arah." Usai berucap demikian Binar menoleh menatap Arjuna yang masih bergeming di posisinya.
"Ryu itu lucu tau, Jun, sayang banget kalo anak itu harus masuk panti asuhan. Di luar sana banyak pasangan yang pengen punya anak tapi belum juga di kasih, ya walaupun Ryu dateng di waktu yang salah, tapi tetep dia itu berharga banget!"
"Harusnya gue yang nanya, ngapain lo disini?" Arjuna akhirnya bersuara setelah sekian lama terdiam, meskipun ia mengabaikan ucapan Binar sebelumnya.
"Hah? Maksudnya?"
"Ngapain lo disini pagi-pagi buta?" ulang Arjuna kali ini menolehkan kepalanya.
"Gue?" Binar menunjuk dirinya sendiri yang dibalas anggukan oleh Juna. " Mau liat langit," imbuh Binar.
"Terus ngapain cewek, pagi buta, mau liat langit, tapi malah nyeramahin ayah anak satu ini?"
"Kita seumuran, kenapa? Gue harus takut gitu? Kan lo bukan perampok, pembunuh juga bukan," ujar Binar bersendekap, hawa dingin mulai terasa merasuk ke tulang-tulangnya.
"Gak usah naif deh, Bin. Lo juga tau tiap jum'at malem gue ke My Way. Asal lo tau gue itu langganan tetap Holywings," papar Arjuna sambil tersenyum remeh.
"Terus apa hubungannya?" tanya Binar tak tahu arah pembicaraan lawan bicaranya.
Arjuna terdiam, kembali menatap lurus ke depan seolah tak mendengar perkataan Binar. Langit mulai cerah, perlahan matahari muncul dengan malu-malu menampakkan atensinya. Binar menghirup udara segar pagi hari, sedikit bercampur dengan asap rokok milik Arjuna.
Pria di sampingnya masih diam, menyesap rokoknya perlahan lantas menjatuhkan satu batang rokok itu ke tanah, selanjutnya ia injak agar rokok yang sebelumnya ia nikmati tak lagi menyala. Binar melirik jendela lantai dua, mendapati Lula dan Dara keluar kamar sambil membawa handuk, ingin segera mandi.
"Gue gak yakin bisa jadi bapak yang baik buat Ryu." Untuk pertama kalinya Arjuna mengucapkan nama bayi yang kemarin mereka temukan di depan rumah itu. "Gue kayak gini, bejat."
"Lo punya keluarga lo, Jun, kenapa harus bimbang? Mereka pasti bantuin elo," balas Binar. Sejauh ini keluarga yang ia tumpangi untuk tinggal beberapa hari memang tampak harmonis dan saling memberi support satu sama lain. Berbanding terbalik dengan informasi yang ia dapatkan dari Aruna kemarin.
"Ayah aja gak mau bantu gue ngerawat Ryu, dia maksa gue bawa bayi itu ke Surabaya, Bin!" sanggah Arjuna menggebu-gebu.
"Kan ada alasannya."
"Gak. Itu cuma alesan kosong. Ayah emang gak mau ngerawat Ryu!"
"Kalo Ryu bener-bener anak lo, berarti dia cucu Ayah lo, Jun. Gak mungkin setega itu kok!"
"Kenapa gak mungkin? Ayah emang bisa kasih uang buat ngerawat Ryu, tapi dia suruh bayi itu sama gue jauh dari dia. Ayah gak bakal sebaik itu, dia kayak gitu karena mau ngasih gue pelajaran!"
"Tapi Ryu tetep cucunya."
"Iya, tapi emang dia mau punya cucu dengan cara gini? Mau dia punya cucu yang ibunya gak jelas siapa? Ryu ada karena kesalahan gue, itu alesan kenapa Ayah ngotot suruh gue bawa Ryu ke Surabaya," jelas Arjuna sambil menatap tepat ke manik mata Binar. "Buna mungkin mau, tapi kalo itu keputusan Ayah gak ada yang bisa ganggu gugat."
Entah dorongan dari mana tangan Binar kini telah berada di bahu Arjuna, mengelus pelan punggung pria itu agar kembali tenang. Binar tak ada kuasa apapun disini, ia hanya bisa melihat apa tindakan yang akan diambil keluarga ini terhadap Ryu. Binar juga mulai sadar jika di dalam diri Arjuna, lelaki itu mulai menerima keberadaan Ryu, hanya saja kondisinya belum memungkinkan.
"Kalo gitu ada gue, gue bantu lo ngerawat Ryu."
####