"Flo, dengarkan aku dulu!" Devan mengejar menghampiri Flo. Hingga kini dia sudah berdiri tepat di hadapan Flo.
"Mau bicara apalagi? Aku sudah gak mau mengenal kamu lagi. Sebaiknya, kamu pergi dari sini, dan jangan pernah ganggu hidup aku lagi!" Ucap Flo ketus.
Flo langsung mendorong tubuh Devan kasar, agar tak menghalangi dirinya pergi.
"Flo, aku masih sangat mencintai kamu. Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, hanya sekadar have fun aja. Andai kamu–"
"Cukup! Aku jijik mendengarnya. Apa yang kamu lakukan sudah fatal. Aku gak bisa!" Sanggah Flo.
Hati Flo terasa sakit. Dia pikir, dia yang menyakiti Devan. Tapi ternyata, Devan yang selama ini selingkuh darinya.
"Aku akan buat kamu jatuh ke pelukan aku lagi. Jika dengan cara baik-baik tak bisa. Aku akan menggunakan cara licik. Aku gak rela kamu dimiliki siapapun." Devan berkata. Dia juga tampak tersenyum licik.
Flo berusaha untuk fokus kuliah. Meskipun pikirannya saat itu campur aduk. Ingin rasanya dia segera lulus dari kuliahnya. Hingga dia terbebas dari dua manusia laknat pengkhianat.
Jam mata kuliah pertama sudah selesai. Flo berniat untuk ke kantin, untuk beristirahat sejenak. Kini semuanya sudah berubah. Biasanya, dia selalu bersama Laura dan juga Devan.
"Flo," panggil Laura membuat langkah Flo terhenti.
"Mau apalagi?" tanya Flo sinis.
"Aku senang. Akhirnya kamu tahu tentang hubungan aku dengan Devan. Jadi, aku tak perlu lagi menutupinya dari kamu," ucap Laura. Flo menghela napas panjang.
"Jadi, kamu memanggil aku. Hanya ingin berkata seperti ini? Buang-buang waktuku saja. Itu sudah tak menjadi urusanku. Ya sudah lanjut saja sana. Semoga suatu hari nanti, kamu akan merasakan di posisi aku. Laki-laki tukang selingkuh, gak ada obatnya. Dia bisa saja selingkuh dari kamu. Jangan bangga dulu! Devan seperti itu, bukan karena mencintai kamu. Tapi, karena kamu murah memberikan secara gratis padanya. Tadi pun, dia masih saja mengejar aku. Lebih baik kamu ikat saja dia! Biar gak mengganggu aku lagi," kata Flo tegas.
Wajah Laura terlihat memerah menahan malu dan kesal. Dia merasa terhina. Meskipun sebenarnya, memang seperti itu. Karena Devan memang tak pernah mencintai dia. Tapi paling tidak, dia sekarang sudah tak ada saingannya. Laura mengepalkan tangannya. Sedangkan Flo justru berusaha bersikap santai. Dia yakin, kalau ini justru lebih baik.
Ponsel Flo berdering, dan dia melihat William yang menghubunginya. Flo memilih mengabaikannya. Perasaannya masih kesal, karena bertemu dengan Devan dan Laura.
Pesan masuk ke ponselnya. "Kenapa kamu tak menerima panggilan telepon dari saya?"
Flo hanya membacanya, dan tak berniat untuk membalasnya. Merasa pesannya diabaikan, William menghubungi kembali. Flo membiarkan sampai ponsel itu berhenti berdering. Setelah itu, dengan cepat dia non aktifkan ponselnya.
"Emang enak," kata Flo. Dia tampak cekikikan sendiri. Dia yakin, saat ini William pasti merasa kesal.
Baru beberapa jam saja, membiarkan Flo tanpanya. Dia sudah seperti kebakaran jenggot. Jo yakin, bosnya itu sebenarnya sudah jatuh cinta pada istri kecilnya. Hanya saja gengsinya begitu besar.
"Datangi saja ke kampusnya diam-diam, Tuan. Biar tuan tahu, apa yang sedang Nyonya Flo lakukan di sana," cicit Jo.
"Tidak perlu! Biarkan saja! Hanya saja ada hal penting yang ingin saya katakan. Ya sudah, nanti saja saya bicaranya di Mansion," sahut William.
William memilih melanjutkan pekerjaannya kembali. Flo sudah selesai kuliah. Dia memutuskan untuk langsung pulang ke Mansion.
"Flo," panggil Daniel. Sejak tadi dia sudah menunggu Flo selesai kuliah.
"Mau apalagi kamu menemui aku?" Kata Flo ketus.
Daniel menarik tangan Flo kasar. Flo berusaha memberontak. Melihat aksi brutal yang dilakukan Daniel, security yang melihat langsung menghampiri.
"Jangan ikut campur kamu! Ini urusan anak dengan bapaknya," pekik Daniel.
"Dia bohong, Pak. Dia bukan bapak saya. Dia memang sempat menjadi bapak tiri saya," ungkap Flo.
Wajah Daniel memerah. Dia merasa tak terima. Ini penghinaan untuknya.
"Dasar licik! Aku akan bongkar semuanya," ancam Daniel.
"Oh, ya? Kamu pikir, aku takut. Bongkar saja! Aku pun bisa melaporkan kamu ke polisi. Tidak akan ada seorang bapak yang tega, menjual anaknya. Sebelum aku melakukannya. Lebih baik sekarang kamu pergi! Sejak hari itu, aku sudah tak peduli sama kamu dan wanita itu," ucap Flo. Hatinya terasa sakit kala itu. Dia memang akan mendapatkan uang yang banyak. Tapi, harga dirinya terinjak-injak.
"Dasar anak durhaka! Bagaimanapun dia itu ibu kandung kamu. Ibu yang melahirkan dan membesarkan kamu," sahut Daniel.
"Seorang ibu tidak akan tega melakukan itu. Binatang pun, berusaha melindungi anaknya dari binatang buas," jawab Flo berapi-api.
Ingin rasanya Flo meneteskan air matanya. Tak ada satupun yang mengerti perasaannya saat ini. Semua hanya melihatnya uang.
"Baiklah, sekarang aku akan pergi! Tapi, tidak nanti. Aku tak akan melepaskan kamu begitu saja. Kamu harus sadar. Jika bukan karena aku, kamu tak akan bisa mendapatkan uang yang banyak. Sekalipun kamu menjadi seorang p*****r!"
"Pergi! Cepat pergi kamu dari sini!" Teriak Flo.
Flo menutup wajahnya. Air mata yang sejak tadi tertahan. Akhirnya menetes juga.
"Belum puas 'kah kamu menghancurkan aku?!"
Hal itu tak lama. Dia memutuskan untuk pulang. Flo ingin segera sampai di Mansion. Tak ingin mendapatkan masalah lagi.
Ojek yang membawanya sudah sampai di depan Mansion mewah milik William. Flo masuk ke dalam. Dia bisa bernafas lega, karena William belum sampai. Dia masih ada waktu untuk beristirahat.
"Nyonya, apa Anda ingin kami siapkan makanan?" tanya sang kepala pelayan.
"Tidak perlu. Aku tak lapar. Aku ingin segera beristirahat. Nanti sore saja," jawab Flo.
Dia bergegas ke kamarnya, untuk beristirahat. Flo langsung melepas pakaiannya, hanya memakai tanktop dan juga celana hotpants. Dia pikir, William pasti pulang malam. Tak butuh waktu lama. Dia sudah tertidur nyenyak.
"Apa Nyonya Flo sudah kembali?" tanya William. Dia menghubungi Mansion, untuk mengetahui keberadaan istrinya.
"Sudah, Tuan. Saya ini di kamar. Dia bilang, dia mau beristirahat, Tuan," jawab Lidya–selaku kepala Maid di Mansion William.
William langsung mengakhiri panggilan telepon dengan Lidya, begitu saja. Kini dia beralih ingin melihat CCTV Mansion. Berkali-kali dia menelan salivanya, melihat keseksian istri kontraknya. Bahkan miliknya ikut bereaksi.
"s**t!"
Dia memilih mengakhirinya. Dirinya tak boleh lemah. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. Wajahnya terlihat tegang.
"Tuan, apa Anda sakit?" tegur Jo.
"Ti--tidak. Hanya saja sedikit pusing saja," jawabnya bohong. William mengatur napasnya, menenangkan dirinya.
Sejam dua jam dia masih bisa menahannya. Sampai akhirnya, dia mengajak Jo untuk pulang. Kini dia sudah dalam perjalanan menuju Mansion. Flo masih tertidur nyenyak. Baginya, ini tidur ternyaman. Sejak dia menyandang status sebagai Nyonya William. Dia tak bisa tertidur nyenyak.
Mobil yang membawa William sudah sampai di Mansion. Dia langsung masuk ke dalam, menuju kamarnya. Perlahan dia membuka pintu kamarnya.
"Dasar anak malas. Bisa-bisanya dia tertidur nyenyak. Tak menyadari, kalau sudah menyiksaku. Kini giliran aku yang akan menyiksanya," ucap William dalam hati. Dia juga tersenyum smirk.