Bab 5 Garis Tuhan

1273 Kata
Seminggu lagi liburan Lian di Indonesia akan berakhir dan ia pun harus segera kembali pulang ke Australia. Sudah dua Minggu setelah peristiwa itu, Dylan tak lagi muncul untuk mencari maupun menghubunginya. Regan juga tidak pernah membahas masalah itu lagi. Kakak sepupunya itu hanya bicara seperlunya saja tanpa pernah membahas masalah yang terjadi antara dirinya dan juga Dylan. Lian harusnya merasa senang karena Regan dan Dylan sudah tak pernah memaksanya lagi. Harusnya ini kan yang Lian harapkan, tapi kenapa sekarang dirinya malah kepikiran terus. Lian bahkan begitu penasaran dengan sosok Dylan, diam-diam ia sering melewati rumah sakit Atma Medika hanya untuk melihat sosok Dylan. Lian yang awalnya ingin pulang ke Sidney pun gagal karena Diana terus membujuknya supaya lebih lama di Jakarta. Diana masih ingin melihat Lian lebih lama lagi. Selama di Sydney wanita itu hanya tinggal sendirian disebuah Apartemen, Lian hidup terpisah dari keluarga ibunya sejak usianya dua puluh tahun, tepatnya sejak ia mampu mencari uang sendiri. Sang ibu pun kini lebih fokus pada keluarga suami barunya. Ia jarang menghubungi Lian bahkan hampir tidak pernah. Lian sebenarnya sangat sedih, merasa sendiri. Terkadang ia juga merasa lelah kerja bagai kuda. Lian bekerja untuk melampiaskan segalanya, namun kenyataannya sampai saat ini ia masih tetap merasa sedih. Popularitas dan kerja keras yang ia hasilkan nyatanya masih tak mampu memberikannya kebahagiaan yang berarti. "Tumben nggak keluar rumah? Bukan Berlian namanya kalau tiba-tiba jadi anak rumahan." Tanya Beby pada Lian yang sedang melamun dipinggir kolam. "Eh, lagi capek aja mbak." Balas Lian sekenanya. "Mama khawatir sama kamu." Ungkap Beby seraya duduk disamping Lian. "Mama? Eum... Nggak perlu ada yang dikhawatirkan. Aku baik-baik aja." "Kamu nggak biasanya kayak gini Li." "I'am fine mbak." Lian pun tersenyum samar. "Seminggu lagi jadi balik?" "Oh, itu... Iya harus udah balik ke Sydney. Ada dua kontrak yang harus aku selesaikan." Balas Lian. "Sampai kapan?" Mendengar pertanyaan Beby, Lian pun langsung menatap wanita itu dengan tatapan heran. "Sampai kapan apanya ya mbak?" "Sampai kapan kamu kayak gini?" "Mbak..." "Mbak ini cuma kakak ipar kamu. Pendidikan mbak juga jauh dibawah kamu." "Mbak jangan gitu dong, kenapa tiba-tiba jadi ngomongin itu? Aku tuh nggak pernah peduli mbak itu siapa, mbak Beb udah aku anggap kayak kakak kandungku sendiri." Lian pun segera mendekat kearah Beby dan memeluknya dari samping. "Makanya tolong dengarkan saran mbak kalau kamu masih menganggap mbak sebagai bagian dari keluarga kamu. Tolong berhentilah mengejar dunia yang tidak pernah pasti, mau sampai kapan Li? Mau sampai kapan kamu hidup dalam kesendirian? Kamu apa nggak pengen punya keluarga kecil? Punya seseorang yang mencintai kamu, punya anak yang menyempurnakan kodrat kamu. Kamu apa nggak pengen hidup kayak mbak?" "Mbak..." "Mama selalu khawatir sama kamu, meskipun mama diam, itu karena beliau nggak pernah mau menyulut emosi kamu yang gampang banget meledak-ledak. Mama nggak bisa selamanya ada untuk kita Li." "Mbak jangan ngomong gitu dong mbak, kan aku jadi takut." Lian pun mulai berkaca-kaca. "Itu memang kenyataan, setiap yang hidup pasti akan mati. Tolong dengar mbak baik-baik, mbak udah tau masalah kamu sama dr. Dylan. Mas Regan yang cerita sama mbak. Kalau terjadi sesuatu sama kamu, mbak mohon turuti kata hati kamu. Hati Li, bukan pikiran. Nurut aja sama masmu ya! Sukur-sukur kalau nggak kejadian. Kalau sampai anak itu hadir, mbak mohon jangan pernah kamu punya niatan untuk menyingkirkannya." "Tapi mbak-" "Lian, jika memang dia datang, nanti kamu pasti akan bisa ngerasain sendiri naluri seorang ibu. Mungkin sekarang kamu bisa ngomong mau menggugurkan, melenyapkan atau segala macam. Tapi disaat itu terjadi, mbak yakin kamu nggak akan pernah bisa mengatakannya. Karir bukan segalanya, keluarga adalah nomor satu. Mbak tanya, apa kamu selama ini bahagia Lian?" Mendengar itu, Lian tentu saja tidak mampu menjawabnya karena dirinya memang tidak pernah bahagia. "Itu..." "Jadi model profesional, karir yang cemerlang, uang yang banyak, kerja keras yang membuahkan hasil, bukannya kamu udah dapat semuanya?" "Aku..." "Berhenti Lian, berhentilah kalau kamu lelah. Jangan memaksakan diri lagi. Uang kamu udah banyak, harta kamu juga nggak akan habis dimakan tujuh turunan. Jadi apalagi yang kamu cari? Mungkin ini semua sudah takdir kamu, pertemuan kamu dengan Dylan sudah digariskan. Ikuti aja skenario Tuhan, pasti bahagia Li, mbak jamin. Jangan berkeras hati lagi ya... Kamu itu capek, kamu butuh istirahat, kamu lelah sayang." Beby pun kembali memeluk Lian yang hanya bisa mengangguk sambil meneteskan airmatanya. Beby itu memang paling bisa membuatnya mellow, bukan seperti Regan yang cuma bisa marah-marah padanya dan tidak pernah bisa mengambil hatinya. Beby memang benar, ucapannya tidak pernah salah. Tapi ego Lian masih membumbung tinggi, masih sangat sulit untuk ditaklukkan sampai detik ini. *** Dylan baru selesai melakukan tugasnya. Hari ini cukup melelahkan, ada tiga operasi yang harus ia tangani. Dua Minggu berlalu, membuatnya sedikit mampu melupakan masalahnya dengan Lian. Tapi Dylan tetap tak pernah lupa akan tanggung jawabnya. Lima hari yang lalu ia meminta pada Regan supaya memutasi Fiona. Dylan benar-benar sudah tidak nyaman bekerja sama dengan perawat licik itu. Ya semoga saja setelah ini sudah tidak ada lagi Fiona-Fiona yang lainnya. Jadi orang tampan dan baik saja ternyata masih tidak cukup, ada saja masalahnya. Jelek salah, tampan apa lagi. Dylan kadang-kadang juga lelah menghadapi wanita-wanita tak tahu diri seperti itu. Pasiennya saja sudah sangat banyak, bahkan kadang melebihi batas. Ada yang kalem, ada yang bar-bar, ada yang centil bahkan juga ada yang manjanya setengah mampus. Dylan bahkan sampai pernah diancam oleh salah satu suami pasiennya. Alhasil iapun mem-blacklist pasien tersebut dan tak lagi menerimanya. Kalau diingat-ingat lucu juga tapi juga mengerikan. Dylan sampai geleng-geleng kepala tak habis pikir mengingat seluruh kemalangan nasibnya itu. Yah mau bagaimana lagi, sudah resiko dokter Obgyn, punya kelebihan good looking dan good rekening lagi. Pantas jadi incaran para kaum hawa. "Hhh... Udah dua Mingguan apa masih nggak ada kabar? Biasanya implantasi itu lima sampai lima belas hari. Kehamilan dapat terjadi dalam waktu dua minggu setelah berhubungan seks. Tapi... kemungkinan kehamilan belum terdeteksi, karena tubuhnya belum memproduksi hormon hCG. Sel telur yang sudah dibuahi belum menghasilkan hormon hCG sampai proses implantasi selesai. Gimana cara tanya ke dia? Dua Minggu nggak ketemu, bicara aja nggak pernah. Kata dr. Regan dia masih baik-baik aja nggak ada gejala macam-macam. Haduuuh... Pusing." Dylan sedang mencoba untuk menghubungi Regan, ia ingin bertemu dan bertanya langsung pada atasannya itu. Semoga saja Regan ada waktu luang dan sedang tidak sibuk, supaya Dylan bisa bertemu untuk menginterogasi soal Berlian. "dr. Dylan tuh!" Ujar salah satu perawat saat melihat Dylan melintas. "Denger-denger kemarin abis mutasi salah satu perawat." "Perawat yang sok kecakepan itu kan?" "Iya, yang suka dandan kayak artis." "Aku juga sebel sendiri lihatnya kalau dia nempel-nempel sama dr. Dylan." "Emang di mutasi masalah apa?" "Denger-denger sih... Gara-gara bikin dr. Dylan ehem-ehem." Bisik perawat itu. "Apaan sih? Ambigu banget." "Ya ampun polos banget sih anak kemarin sore. Gitu aja nggak ngerti." "Biarin wlee..." *** Dylan pun akhirnya pulang, namun ia memilih untuk melewati rumah dr. Regan, berharap jika ia bisa menemukan keberadaan Lian disana. Dylan benar-benar kepikiran, meski ia sudah mencoba untuk lupa, tapi tetap saja naluri Dylan sebagai pria bertanggung jawab tidak bisa diam begitu saja. "Datang aja kesana, bertamu. Emang kenapa kalau datang sebagai tamu? Masak nggak boleh?" Tanya Dylan pada dirinya sendiri. Ketika sedang asyik menyetir mobil, ponsel Dylan pun tiba-tiba berdering menandakan panggilan masuk yang ternyata dari dr. Regan. Dylan pun cepat-cepat mengangkatnya. 'Hallo dok!' 'Hallo kamu dimana?' 'Di jalan dok. Ini otw mau pulang.' 'Kamu bisa main ke rumah? Ngopi bareng sama ngobrol. Nggak lagi capek kan? Kalau capek pulang aja!' 'Saya kesana sekarang dok. Tunggu sebentar.' 'Oke, hati-hati.' 'Siap dok.' Dylan pun tersenyum samar, dengan Regan mengundangnya seperti ini membuat Dylan bisa punya kesempatan untuk memastikan kondisi Lian. Semoga saja memang tidak terjadi apa-apa, kalau pun memang terjadi, Dylan siap kapan saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN