Bab 6 Sebuah Pertanda

1289 Kata
Dylan masuk ke dalam rumah Regan dan tak sengaja melihat Lian yang sedang bermain dengan Diandra. Seketika jantung Dylan pun langsung berdebar tak karuan saat melihat penampilan Lian yang selalu tampil paripurna. Pantas wanita itu punya profesi sebagai seorang model. Kecantikannya memang sudah tidak dapat diragukan lagi, walau tanpa make up pun, Lian masih terlihat begitu menawan. Tubuh ramping, d**a yang berisi penuh dan padat, rambut yang panjang bergelombang, hidung yang mancung, bibir yang merona, mata yang bulat dan kaki yang jenjang. Ya Tuhan, pantas Lian begitu sangat menggairahkan waktu itu. "Ah sial! Mikir apa aku?" Umpat Dylan dengan nada kesal. Ia merutuki pikiran gilanya yang membayangkan iya-iya, apalagi kejadian waktu itu langsung terlintas dipikirannya saat ia menatap sosok Lian. "Mau apa kesini lagi? Pergi sana!" Seruan itu, yang tak lain adalah suara gahar milik Lian. Dylan tentu saja langsung menoleh kearah Lian yang ternyata sadar akan kehadirannya. "E-ekhm! Maaf, tapi dr. Regan mengundang saya kemari. Lagipula tujuan saya kesini untuk bertemu dengan dr. Regan, bukan untuk menemui kamu. Permisi!" "Sudah datang mas bro? Ayo! Langsung ke atas!" Seru Regan pada Dylan dari atas tangga. "Siap dok!" Dylan pun lantas segera mengikuti instruksi Regan dan meninggalkan Lian begitu saja. Lian sendiri tampak kesal setengah mati. Demi apa ia merasa sangat malu pada Dylan karena kegeeran. Sekarang Dylan pasti tengah menertawakan dirinya. Dan entah kenapa tiba-tiba saja Lian merasa ingin menangis gara-gara hal sepele seperti itu. "Seminggu lagi, kamu akan pergi dari sini." Gumam Lian pada dirinya sendiri. *** Dylan senang karena atasannya begitu sangat welcome sekali kepadanya. Padahal ia baru sebentar mengenal Regan. Mungkin saja Regan seperti ini karena Dylan memiliki masalah dengan adik sepupu kesayangannya, jika Dylan tak ada apa-apa dengan Lian, maka belum tentu juga Regan bisa bersikap seperti ini. Suasana di roof top begitu menenangkan, Dylan selalu suka dengan suasana malam hari ini. Apalagi ditemani dengan teman ngobrol yang sama-sama satu profesi meskipun beda spesialisasi. Dylan biasanya hanya sendirian karena ia memang hidup sendiri. Kadang ia juga merasa sangat kesepian. Dylan rindu sekali dengan sosok keluarga. Dan di rumah Regan, Dylan seperti sedang berada ditengah-tengah keluarga. Ia sangat suka. Apalagi ibu Regan begitu baik dan ramah. Istri Regan juga sangat baik. Cuma satu saja orang yang tidak baik padanya dan suka marah-marah. Siapa lagi kalau bukan si Berlian anak manja. Tapi entah kenapa Dylan menyukainya. Eh! "Seminggu lagi dia pulang ke Sydney." Ujar Regan pada Dylan. "Ya dok?" Tanya Dylan yang langsung tersadar dari lamunannya. "Seminggu lagi Lian pulang ke Sydney. Udah dibujuk sama istri saya, tapi ya... Tetap keras kepala." Balas Regan lalu menyesap kopi susunya. "Tapi kan tidak terjadi apa-apa kan dok? Ini sudah dua Minggu, kata dokter kemarin tidak ada tanda-tanda apapun kan?" "Saya juga belum tau pasti karena saya juga tidak mungkin mengamati Lian secara detail. Cuma istri saya terkadang ikut mengawasi gerak-gerik Lian lalu melaporkannya pada saya. Dan ya seperti yang kamu bilang, belum ada tanda-tanda yang berarti. Tapi meski begitu kita tidak bisa langsung menyimpulkan. Karena hal itu hanya Lian yang tau. Bisa saja dia tutup mulut karena dia memang benar-benar tidak menginginkan kehamilan itu. Dia tidak ingin kita mengetahuinya." Mendengar itu Dylan jadi berpikir keras, ia kini merasa semakin khawatir, takut bila kehamilan itu benar terjadi dan ia tidak tahu, lalu Lian tiba-tiba saja menggugurkan kandungannya. "Dia sungguh keras kepala." Gumam Dylan. "Seperti yang kamu lihat sendiri, dia kerasnya seperti apa. Sangat sulit untuk diluluhkan hatinya. Tapi ya... Saya tidak pernah menyalahkan Lian atas semua sifat kerasnya itu. Dia seperti itu memang karena masalalunya yang sangat kelam. Dia itu tumbuh ditengah-tengah keluarga broken home. Ayahnya selingkuh, ibunya selingkuh. Dia anak tunggal dan tidak punya sanak saudara. Usia dua puluh tahun dia ikut ibunya tinggal di Sydney bersama ayah tirinya. Tapi Lian memilih untuk tinggal sendiri karena ia tidak mau tinggal bersama keluarga ayah tirinya. Ibu kandung Lian hampir tidak pernah mau mengetahui kabar putri kandungnya. Oleh sebab itu kenapa hubungan keduanya tidak terjalin baik. Itu sebabnya kenapa saya begitu sangat menyayanginya, mama saya bahkan memberikan kasih sayang yang lebih kepadanya seperti anak kandungnya sendiri. Lian adalah Berlian saya, tidak sembarang laki-laki yang boleh memilikinya kecuali dia sudah lulus dari seleksi saya. Tapi kamu adalah pengecualian. Saya tau kamu luar dalam Dylan, tau asal usul kamu, prestasi kamu, sifat kamu, kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki, saya tau semuanya. Oleh sebab itu saya tidak marah sama sekali, ketika mengetahui kamu dan Lian mempunyai masalah seperti itu. Kecewa ya tentu pasti, tapi saya akan lebih kecewa lagi jika kamu lari dari tanggung jawab begitu saja. Tapi sayangnya kamu sangat gentleman, dan hal itu membuat saya sangat salut kepada kamu." Jelas Regan pada Dylan yang tampak mendengarkannya dengan penuh perasaan. Dylan sempat terkejut mendengar masalalu Lian karena ia pikir Lian berasal dari keluarga utuh dan sangat dimanja oleh keluarganya. Tapi ternyata diluar dugaan, wanita itu mempunyai masalalu yang buruk, asal usul yang menyedihkan dan kehidupan yang penuh akan kemalangan. "Lalu setelah ini apa yang harus saya lakukan dok?" Tanya Dylan. "Tunggu saja, tetap menunggu dengan sabar. Seperti yang kamu bilang, Lian itu tidak bisa dihadapi dengan emosi." Balas Regan. "Baik dok. Saya mengerti. Tolong jika ada apa-apa dr. Regan segera menghubungi saya." "Pasti. Orang yang pertama saya hubungi jika terjadi sesuatu pada Lian adalah kamu." Mendengar itu, Dylan pun tersenyum samar lalu mengangguk. Menghadapi seorang Berlian memang harus mempunyai stok kesabaran yang tiada batasnya dan hanya Dylan lah yang bisa mengatasi hal itu. Regan percaya jika Dylan memang sudah ditakdirkan untuk adiknya yang keras kepala itu. Lian yang bar-bar dan Dylan yang kalem, sungguh perpaduan yang sangat serasi sekali. *** Keesokan harinya Lian bangun sangat siang, bayangkan saja ia tiba-tiba bangun pukul sepuluh pagi. Astaga demi apa ia mengantuk sekali. Tidak biasanya Lian merasa seperti ini. Biasanya ia bangun pukul lima pagi, lalu pagi-pagi ia sudah berolah raga dengan berjoging keliling komplek. Tapi pagi ini ia bahkan bangun pukul sepuluh, oh yang benar saja. "Duuuhhh... Ngantuk banget sih, bawaannya pengen tidur terus. Kenapa nih?" Lian yang entah kenapa, ia bahkan menaruh kepalanya diatas meja makan karena kedua matanya masih terasa berat. "Kenapa sih Li dari tadi ngomel... Terus. Perasaan tiap hari kamu tuh suka ngomel-ngomel deh." Pancing Beby sambil menyentuh pundak Lian. "Masak sih mbak? Perasaan aku biasa aja. Mbak aja kali yang lebay." "Lebay apaan? Kamu tuh akhir-akhir ini sering marah nggak jelas tauk. Lagi PMS ya?" "Aku la-" Mendengar kata PMS, bibir Lian tentu saja langsung terkatup rapat seolah baru sadar akan sesuatu. Lian pun seolah linglung seperti orang bodoh. Ia tiba-tiba melamun, membuat Beby tentu saja merasa cemas. "Li! Lian! Hey Li!" Panggil Beby sembari mengguncang-ngguncangkan bahu Lian. "I-iya mbak?" Lamunan Lian pun langsung buyar. "Kamu kenapa sih? Kok aneh banget?" Tanya Beby dengan tatapan cemas. "A-aku... Aku aku... Bentar mbak!" Lian pun tiba-tiba saja berlari meninggalkan Beby menuju kamarnya dengan tergesa-gesa. "Aneh." Gumam Beby seraya menatap kepergian Lian dengan penuh tanya. Sedangkan Lian yang sudah ada dikamar kini tampak mencari-cari keberadaan benda pipih kesayangannya. Setelah menemukannya Lian buru-buru memeriksa sesuatu. Saat sudah berhasil mendapatkannya, Lian tentu saja langsung lemas saat melihat aplikasi periode menstruasi yang ia miliki. Lian langsung terduduk seraya membekap mulutnya. Kembali linglung seperti orang bodoh. Lian takut masa depan yang sudah ia susun dengan begitu rapi seketika hancur gara-gara masalah ini. Tapi-tapi ini belum tentu juga. Lian tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Masih ada kemungkinan, lagian sudah biasa ia telat haid karena terlalu stres. Ya mungkin saja memang begitu tidak ada sebab lain. Lian harus berpikir positif, jangan berpikiran yang macam-macam. Ia masih yakin jika hal yang ia takutkan tidak akan pernah terjadi. Lian tidak mau dan ia tidak siap. Tapi... Hati kecilnya entah kenapa berkata lain dan Lian pun semakin bingung dengan dirinya sendiri. "Maunya apa sih?" Gumam wanita cantik itu dengan nada frustasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN