Sebagai editor, sebenarnya keberadaan Fei di lapangan tidak begitu dibutuhkan. Namun, mengingat Fei sudah mendeteksi kesedihan dan kegundahan Jemima dari awal makanya dia sengaja ikut. Dengan dalih dia ingin sekali melihat Candi Cangkuang dengan wajah barunya. Karena kini memang benar situasi di sana tidak seperti situasi waktu terakhir kali Fei ke sini saat sekolah dulu.
Zaman-zamannya ikut ekskul Pramuka dan ikut penjelajahan hingga Candi Cangkuang. Kini banyak spot foto yang instagramable.
Fei terus mengikuti Jemima, menghibur perempuan itu, karena kalau sedih pekerjaan Jemima akan berantakan, ujung-ujungnya Fei juga yang kena disangka tidak becus ngedit video sehingga tidak dapat menghasilkan video yang bagus.
Fei duduk dekat lokasi makam Embah Dalem Arief Muhammad, seorang pemuka agama islam yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang. Lelaki itu memijat betisnya yang pegal karena tidak terbiasa jalan jauh seperti ini. Bukan tidak terbiasa sih, otot kakinya kaku karena kelamaan duduk di depan layar ngedit video sebanyak-banyaknya.
Pekerjaan Fei ini sebenarnya menjanjikan, Jemima memberikan gaji yang sepadan hanya saja terkadang masih sering dianggap sebelah mata oleh keluarga besarnya. Bagi orangtua dan saudara-saudaranya pekerjaan inilah yang menghambat Fei mendapatkan jodoh.
“Perempuan itu akan melihat seorang laki-laki yang memiliki masa depan cerah.” Begitu kata Ayahnya Fei.
Semua saudaranya memiliki usaha di bidang yang sama dengan sang Ayah, semua diberi modal dan diberi kesempatan maju bersama, kecuali Fei. Bukan tidak mendapatkan kesempatan yang sama, lelaki berkulit khas pria Indonesia itu menolak bantuan ayahnya, dia ingin berdiri sendiri dengan usaha yang dia dirikan di bidang multimedia.
Kalau memang ingin memberikan modal ya berikan saja, sayangnya ayahnya Fei enggan memberikan uang jika tidak digunakan untuk membuka usaha yang sama. Khawatir apa yang dijalankan Fei nantinya tidak akan mencapai titik keberhasilan.
“Fei, gue lihat Jemima kayak kurang sehat?” pertanyaan Pungkit membuyarkan lamunan Fei. Dia menatap Jemima yang tengah asik foto-foto dengan Wirda, dan ada beberapa follower yang mengenali Jemima dan menjadikan kesempatan ini untuk berswafoto bersama idolanya.
“Dia ada sedikit masalah keluarga, gak apa-apa bentaran juga dia baikan.” Fei menjawab sambil memutar-mutar kemasan air mineral milik Jemima.
“Lo gak ada niatan macarin dia apa? Gue aja nih, lagi pedekate kali aja si Wirda ada nyantol ama gue,” seloroh Pungkit.
Fei tertawa, selain dirinya gak mungkin jadi seseorang yang spesial untuk Jemima, dia juga mentertawakan kepercayaan diri Pungkit. Mana bisa Wirda berpaling, orang perempuan itu sudah memiliki kekasih dan sedang bucin-bucinnya.
“Iya gue tahu si Wirda punya cowok, tapi ya gue sih deketin Sang Pemilik Hati, siapa tahu si Wirda putus trus nanti gue masuk.”
“Sianjir, niat lo udah gak bener gitu,” tukas Fei, dua lelaki itu tertawa bersama memancing Wirda dan Jemima untuk bergabung bersama.
“Lanjut ke sana, yuk, spotnya keren buat ambil vlog sama foto-foto,” ajak Jemima.
Mau bagaimana lagi, namanya juga bekerja, Fei yang sudah lelah nurut saja mengikuti ke mana Jemima dan Wirda melangkah.
Benar, hamparan hijau rumput sintetis dengan latar pesawahan yang asri menjadikan tempat ini pas banget untuk membuat video. Fei kembali duduk di pojokan melihat bagaimana angin mengibarkan rambut Jemima.
Gawai yang baru saja Fei kantongi kini bergetar, panggilan dari Juhari, kakak tertuanya.
“Iya, A?” tanya Fei. Sambil mendengarkan sang kakak bicara, Fei menatap Jemima dari kejauhan entah apa yang sebenarnya Fei rasakan pada atasan sekaligus sahabatnya, yang pasti tawa perempuan itu seperti saat ini adalah sesuatu yang paling membahagiakan untuk Fei.
Panggilan yang dia dapatkan dari sang kakak memaksanya untuk pulang hari itu juga.
“Jem, kalau gue balik duluan lo gak apa-apa, kan?” tanya Fei.
Wirda, dan pungkit yang sedang merekam sontak mematikan kamera dan mendekat.
“Lo mau pulang pakai apa?” tanya Pungkit, “Tunggulah, kita berangkat bareng-bareng pulang pun harus bareng.”
“Ayah gue sakit, Bro. Sodara dah kumpul semua. Gue disuruh pulang sekarang juga.”
Jemima tampak sedang berpikir sejenak, lalu dia memberi kode kepada Wirda untuk menyudahi syutingnya, Fei merasa gak enak karena harus menghentikan pekerjaan mereka. Dia menolak mentah-mentah dan nekad pulang dengan menggunakan kendaraan umum.
“Jangan gitu, lah Fei. Kita udah cukup kok, buat konten okelah, kan lo jagoan ngeditnya,” ujar Jemima.
“Ya udah, tunggu lima menit gue beresin peralatan syutingnya yak, sabar Fei, di sini mana ada kendaraan umum? Mau pake delman? Kapan sampainya?” Pungkit, menepuk bahu Fei menenangkan lelaki yang tengah gundah itu.
“Sini gue peluk, Fei. Biasanya pelukan Bunda Jemima selal bikin siapa pun bahagia seketika.” Jemima merentangkan tangannya. Fei mendekat, benar adanya berada dipelukan Jemima sama nyamannya ketika berada di pelukan Ibu.
Tidak salah jika Fei menyayangi Jemima, bukan sayang seperti seorang pria kepada wanitanya, dia tidak begitu yakin, perasaannya masih abu-abu. Dia menyayangi sahabatnya hanya sebatas itu mungkin.
Fei tidak dapat buru-buru pulang seperti yang dia mau, mereka harus tetap menunggu rakit yang tadi membawanya hingga sampai di sini, kini dia menunggu dengan perasaan sedih. Padahal mulanya Jemima yang sedih dan galau, kini sepasang anak manusia itu saling menguatkan. Berpegangan tangan seakan jika terlepas dunia akan hancur karenanya.
Tidak sadar kelakuan mereka diabadikan oleh Wirda dengan merekamnya dan diupload ke media sosial milik Jemima Official yang dipegang oleh Wirda.
*
“Kity, gue aja yang nyetir, lelet amat anjir!” Fei mengeluhkan cara menyetir Pungkit. Dipanggil Kity Pungkit sengaja memelankan laju kendaraan yang dia kemudikan. Siapa pun tahu Pungkit teramat sensitif jika ada yang memanggilnya Kity.
Padahal itu relevan dengan kelakuannya yang mengundang orang untuk memanggilnya Kity, Pungkit sering sekali cosplay jadi anak kucing yang menggemaskan demi memancing perhatian orang-orang terutama Wirda.
“Yaampun, omongan gue gak didengar sama sekali, tau gini gue naik ojol aja tadi,” tandas Fei.
“Lo sih kata kity kata kity, kalau mau urusan cepat selesai harusnya lo diem, tau-tau ini mobil melesat aja ngalahin jet Pribadinya Eteh Syarini.”
“Siapa Syarini?” tanya Jemima dan Wirda bersamaan.
“Ituloh artis yang cantik itu, yang maju mundur cantik.”
Jemima memutar mata, Wirda memalingkan wajah dan Fei cengo. Astaga Pungkit bisa-bisanya melawak di tengah kepanikan Fei.
“Tenang Fei, ayah lo pasti baik-baik saja,” ucap Jemima yang menangkap kegelisahan Fei. Fei berbalik ke belakang, di jok tengah Jemima tersenyum berusaha menguatkan sang editor.
Jemima tidak tahu, bukan karena sakitnya Fei mencemaskan sang Ayah. Melainkan ada hal lain yang lebih penting yang membuat gelisah. Bukan hanya Jemima yang menanggung beban saat ini, Fei pun sama.
Keduanya berusaha saling menguatkan dengan mengirimkan senyuman. Hanya senyuman, yang memiliki arti banyak hal.