Jones Meet Jomes
“Good Job Fei, editan lo selalu keren gue sukaaaa.” Jemima memekik girang, video yang mereka ambil minggu lalu di Taman Satwa Cikembulan terlihat sangat keren.
Berkali-kali Jemima memutar ulang video, salah satu scene favoritnya adalah saat berada di depan burung unta. Jemima terus memutar bagian itu, jika boleh, Jemima ingin memiliki satu yang seperti itu. Jemima Lidyanata adalah seorang influencer, youtuber dan juga selegram. Dia lumayan famous dengan follower yang tembus hingga lima jutaan.
“Jangan diliatin terus, Jem. Gimana pun itu gak bisa lo miliki, lo juga gak sesultan Alshad Ahmad yang bisa piara itu di rumahnya. Lagian gak mungkin kita ganti konten-konten kita kayak Alshad Ahmad.”
Fei mengangguk mengiyakan omongan Wirda, salah satu tim yang biasa bertugas sebagai kameramen, tim kreatif atau apa aja.
“Siapa yang bilang mau ganti konten, gue Cuma jatuh cinta sama ini hewan sampe-sampe gue gak bisa lupa,” sanggah Jemima, tangannya dengan cekatan mengetik sesuatu di gawainya, sesekali manik matanya melihat ke arah layar komputer.
“Kelamaan jomlo sih, lo. Sampe jatuh cinta segala sama hewan nyeremin gitu,” ejek Fei.
Jemima diam tidak membalas ocehan Fei, padahal biasanya keduanya belum berhenti berdebat sampai ada yang mengaku kalah. Fei bingung dong dengan reaksi Jemima.
“Jem, okay?” tanya Fei.
Jemima terus menatap gawainya entah mendengar atau tidak apa yang dikatakan Fei. Fei atau Ferry Gustian. Sahabat sekaligus editor yang biasa membantu Jemima sehingga konten-konten ZonaJemima semakin cantik dan disukai followers.
“Jem,” panggil Fei sekali lagi. Jemima mengangkat wajahnya, setitik air mata terlihat membasahi pipinya.
“Kenapa?” tanya Wirda tanpa suara, Fei menggeleng tak mengerti.
Padahal barusan Ketiganya tertawa-tawa. Setelah menerima pesan pada gawainya Jemima tiba-tiba jadi murung dan bahkan menangis.
“Kalau ada masalah bicara, Jem. Siapa tahu gue sama Wirda bisa bantu. Kenapa, hmm ... ada haters bicara yang enggak-enggak?” tanya Fei.
“Klien batalin endors atau komplain?” sambung Wirda.
Jemima menghela napas, mengisi oksigen yang seolah menipis setelah membaca pesan dari Ibunya. Jemima membuka screenlock dan memperlihatkan isi dari gawainya.
[Jem, minggu depan pulang dulu, Ingat bagian kita yang ketempatan arisan keluarga besar Maelawati]
Fei dan Wirda saling tatap, tidak ada yang aneh dengan pesan tersebut. Berbeda dengan Jemima yang semakin gusar. Dalam keluarganya, sesukses apa pun seorang perempuan tidak akan pernah dipandang jika seusia Jemima bahkan belum memiliki pendamping.
Sudah pasti saat berkumpul nanti dia akan menjadi bulan-bulanan saudara-saudaranya karena belum memiliki suami, bahkan pacar pun tak ada.
Sesaat kemudian setitik air mata itu berubah deras, Jemima menangis sesegukan. “Harusnya sebagai sahabat lo ngerti apa yang gue rasakan, Fei. Arisan keluarga besar sama artinya dengan masuk ke kandang buaya.”
Wirda ngakak, setelah berpikir beberapa saat akhirnya dia mengerti kegelisahan Jemima. Berbeda dengan Fei yang bergeming. Otaknya masih loading berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Wirda mendekat dan memeluk Jemima, sebagai sesama perempuan yang jomlo dia tahu rasanya menghadapi pertemuan keluarga.
“Maafin gue ketawa, Jem. Habisnya gue rasanya kayak ngaca gitu, pas lebaran kemarin aja gue ngeles gak ikut ke rumah eyang, bisa habis dikuliti karena cuma kita satu-satunya yang gak punya calon buat dibanggakan.”
Fei tersenyum mengerti dia berjalan melewati Jemima dan Wirda, membuka jendela kantor mereka, berharap oksigen masuk leluasa dan mengisi rongga d**a Jemima. Habisnya cewek itu berulang kali menghela napas dan Fei mengira dia kekurangan oksigen.
“Kita bertiga sebenernya senasib,” ujar Fei pada akhirnya. Dia berjalan menuju meja paling ujung dan membuka lacinya. Ada beberapa batang cokelat di sana, sisa ngonten minggu lalu. Fei membuka bungkusnya dan memotong sedikit, lalu memberikan langsung pada Jemima.
“Emut ini, biar mood lo bagusan dikit,” perintah Fei.
“Jangan sedih gitu, gue salah sangga, gue kira lo kenapa gitu tadi.” Fei memotong cokelatnya lagi, meyerahkan pada Wirda.
Wirda yang sedang diet kontan menggelengkan wajahnya. Makanan manis kini adalah musuh bebuyutan perempuan dengan rambut sebahu itu.
“Gue udah mangkir bulan lalu, pas kita syuting ke Purwakarta itu, masa iya besok mangkir lagi, mana nyokap kebagian jadi tuan rumah lagi.”
“Gue sih santai, umur masih 26 masih banyak waktu buat menjelajah dulu.” Fei memasukkan potongan cokelat yang tersisa ke dalam mulutnya.
Dilihatnya wajah Jemima yang basah karena air mata, Fei sudah tidak aneh lagi, sejak jaman sekolah dulu Jemima memang cengeng, dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis.
“Lo cowok makanya bisa seenaknya bilang santai, kita ini cewek diuber orang tua disuruh nikah udah kayak siuber debt collector aja,” seloroh Wirda.
“Mending diuber debt collector, tinggal bayar perkara beres,” sanggah Jemima.
“Udahlah, dari burung unta kita jadi random bahas kejomloan kita, setidaknya lo bersyukur, Jem karena jadi jomes gak kayak gue sama Wirda, jones alias ngenes,” canda Fei disusul dengan tawa Wirda yang renyah serenyah kerupuk udang.
“Apaan Jomes?” tanya Wirda.
“Walau Jomlo tapi femes,” jawab Fei tanpa dosa.
“Astaga, famous Fei, bukan femes.”
“Alah lidah kita kan enakan bilang femes daripada famous,” bantah Fei.
Wirda mencibir hingga terjadilah perdebatan kecil antara Wirda dan Fei.
Jemima sudah sedikit tenang, kini dia membersihkan wajahnya yang penuh air mata, Fei dengan sabar memberikan tisu kepada Jemima, lalu memberi segelas air agar Jemima semakin tenang. Puas dengan tangisnya Jemima bangkit dan duduk di ambang jendela.
“Jem,” sapa Fei. Dia mendekat dengan menggunakan kursi beroda. Fei tidak akan membiarkan Jemima melamun lama-lama. Dia berusaha membuat Jemima sedikit nyaman jadi badut pun Fei rela demi melihat Jemima tersenyum lagi.
“Gue udah gak apa-apa kok, idung mampet kalo abis nangis makanya nongkrong dekat jendela.” Memang benar, Jemima merasa kesulitan bernapas karena hidungnya mampet. Setiap kali habis menangis Jemima memang merasakan itu.
“Gue ada inhaler, mau? Kali aja bisa langsung plong gitu,” tawar Fei pada sahabatnya.
“Mau berbagi penyakit gitu?”
Fei berdecak, bangkit dari kursinya menuju meja tempat dia mengedit video. Membuka laci dan mengambil sesuatu di sana.
“Nih masih segelan, gak ada ceritanya kita berbagi penyakit,” omel Fei.
Jemima meraihnya, membuka paksa pembungkus inhaler itu hingga koyak. Lalu menghirupnya, menthol yang menyengat itu membantu membuat hidungnya semakin lega. Fei melihat pemandangan di depannya dengan perasaan yang entah bagaimana cara menggambarkannya. Jemima selalu membuat lelaki itu gemas.
Tangan Fei terulur hendak mengelus kepala Jemima, tetapi belum sampai telapak tangannya mendarat di rambut ikal milik Jemima, Wirda memanggil Fei. Urung, Fei tidak jadi mengelus puncak kepala sahabatnya.