Uang Receh dan Permohonan Fei

1215 Kata
Candi Cangkuang Jemima menurunkan kakinya hingga masuk ke situ, air dingin yang beriak menampar-nampar kaki Jemima. Fei menjaga Jemima agar tidak terjatuh mengingat naik rakitnya sama sekali tidak diberikan pelampung, Fei tahu betul Jemima itu ceroboh, walau dia bisa berenang tetap saja gak lucu kalau sampai jatuh ke dalam situ. Jemima menyimpan rasa sedihnya sejenak kala melihat keindahan yang jarang dia temui di kota, antusiasnya meningkat kala ujung rakit menyentuh pembatas tembok yang artinya perjalanan menyebrangi situ sudah berakhir. Penumpang rakit yang riuh sudah berdiri dan bersiap turun dari rakit untuk kemudian naik menuju bukit di mana candi Cangkuang berada. Berhubung Jemima berada di paling depan Rakit, dia duluan naik dan menunggu di pinggiran, menyaksikan satu per satu orang meninggalkan rakit. Fei mensejejarkan diri dengan Jemima, menyodorkan botol air mineral. Jemina tidak haus, dia menggeleng dan menyaksikan Pungkit juga Wirda menyelesaikan proses syuting hingga seluruh penumpang rakit sepenuhnya naik ke bukit. “Mulai lagi, Jem,” ajak Wirda. Jemima mengangguk dan mulai membenahi diri untuk kembali melanjutkan Syuting. “Gaizee, sekarang kita naik ikuti jalan ini untuk kemudian masuk ke candi. Oh iya, Candi Cangkuang adalah salah satu candi peninggalan agama Hindu yang berada di Jawa Barat, ini letaknya berada di kecamatan Leles, lihat Gaizee salah satu keunikan candi ini adalah danau atau Situ yang tadi kita lalui dengan menggunakan rakit. Seriusan recomended banget, pemandangannya indah, biaya naik rakitnya juga murah pake banget. Ya gak Fei? Yuk ikuti terus perjalanan Zona Jemima di Jemima Jalan-Jalan.” Jalanan selebar kira-kira satu setengah meter yang sudah diberi paving blok kotak-kotak mereka lalui, sebelah kiri adalah kawasan candi yang diberi pagar besi pembatas sedangkan sebelah kanan viewnya langsung menuju ke situ. Pohon-pohon yang menjulang tinggi melindungi mereka dari terpaan sinar matahari sehingga perjalanan lumayan menyejukkan. Kebayang kalau panas dan harus menanjak dengan barang bawaan yang luar biasa banyak.Di ujung jalan setelah berbelok dari pinggiran situ, mereka berbelok dan bertemu dengan kios-kios pedagang yang menjajakan berbagai macam souvenir. Miniatur Domba Garut, miniatur candi dan juga miniatur rakit adalah salah satu souvenir yang banyak dijajakan oleh para pedagang. Tentunya selain baju dan kaos dengan gambar Candi Cangkuang. “Jem, ke Kampung Pulo dulu, kan?” tanya Wirda. Jemima yang tengah asik melihat-lihat souvenir mengangguk saja. Fei dengan setia membawakan barang bawaan Jemima dan mengikuti perempuan itu ke mana pun dia pergi. Setelah diberi kode oleh Wirda dan Pungkit akhirnya Jemima mulai kembali. “Oke, kita sudah sampai di rumah adat kampung pulo,” ucap Jemima sambil melihat ke arah kamera, lantas mereka berjalan melewati sebuah gapura dengan gerbang yang terbuka di salah satu sisi Gapura terdapat sebuah senjata khas sunda yang terbuat dari plat berwarna kuning. Kampungnya terlihat asri dengan deretan pot bunga yang subur di setiap sisinya. Lokasinya benar-benar bersih sekalipun banyak pengunjung yang datang ke kampung tersebut. Di kampung ini terdapat lima rumah dengan satu mesjid dan sebuah balai pertemuan. “Kebayang gak sih temen-temen, hanya lima rumah dan itu rumah adat yang bener-bener tradisional banget.” Jemima memandang takjub ke sekeliling. “Kalau bulan madu di sini enak kali, ya?” seloroh Fei. “Jieeeh, Si jones ngomongin bulan madu,” ledek Pungkit. Jadilah mereka ledek-ledekan sambil bercanda di salah satu selasar rumah Kampung Pulo. Jemima menunggu Wirda dan Pungkit yang mendokumentasikan keadaan kampung dari berbagai sudut. Puas bermain-main di kampung Pulo, Jemima dan ketiga timnya lantas masuk ke kawasan Candi Cangkuang. Fei mengurus tiketnya, sambil sesekali lelaki itu terus mengawasi Jemima yang ngevlog kali ini rasanya tidak ada nyawanya. Benar sih, tiba-tiba dijodohkan itu rasanya gak menyenangkan banget, memangnya ini zaman apa, sampai orang tua ikut campur gara-gara anaknya belum juga dapat jodoh. Dari gerbang pintu masuk menuju candi Jemima terus mendokumentasikan perjalanannya dia melewati undakan demi undakan yang ramai dengan wisatawan yang asik berswafoto. “Jem, ini gak asik banget, lo capek atau sakit?” tanya Pungkit. Rupanya lelaki itu mulai merasakan kejanggalan pada Jemima. Dia memang terlihat lelah lalu duduk di salah satu undakan tanpa peduli bahwa itu akan menghalangi orang-orang jalan. “Cut dulu dah, kalian bisa istirahat dulu. Jemima kayaknya gak enak badan, biar gue temenin dulu.” Fei berusaha membela Jemima. “Iyalah hanya Fei yang mengerti Jemima. Kita mah apa atuh,”  canda Pungkit dan Wirda. Lantas mereka meninggalkan Fei dan Jemima menghabiskan waktunya. “Jem, kalau gak sanggup lanjutin mending pulang aja, Jem. Kapan-kapan kita ke sini lagi.” “Gila aja, Fei. Si Wirda udah kek macan mau ngamuk begitu, dahlah gue Cuma kaget aja abis baca pesan dari Babe.” “Babe kenapa?” tanya Fei. Saking dekatnya Fei dan Jemima membuat privasi antara keduanya sudah tidak ada lagi. Fei meraih ponsel Jemima, mengotak-ngatik sandinya dan membuka pesan dari Babe Jemima. [Babe udah ada calon buat kamu Jem. Anaknya juragan dodol, gak ada penolakan. Kecuali kamu bawa calon suami yang lebih kompeten dari anak Juragan dodol temen babe ini.] Jelas Jemima jadi semurung itu toh Fei pun saat membacanya rada kesal-kesal gimana gitu. Gak kebayang apa jadinya jika dia ada di posisi Jemima. “Ya udah sih gak apa-apa, gue liat dulu lakinya, cocok enggak.” “Udah pasti gak akan cocok,” bantah Fei. “Sok tahu lo.” “Ya gue ngomong gini karena gue tahu lo. Lo gak mau diatur cowok, lo gak mau bergantung sama cowok, lo gak mau dikekang-kekang sedangkan kerjaan lo begini gak banyak laki yang bisa nerima lo.” “Iya sih,” ucap Jemima. “Kang punteng tong ngahalangan jalan,” (Kak, maaf jangan menghalangi Jalan) tiba-tiba seorang ibu lewat. Jemima dan Fei sadar dia duduk di undakan persis di tengah jalan. Setelah meminta maaf keduanya berjalan bersisian menyusul Wirda dan Pungkit yang sudah menunggu di candi. “Inilah Candi cangkuang Gaizee, sayang banget ya dalamnya di pager besi. Katanya sih dulu enggak dipagar, sayangnya ada orang yang gak bertanggung jawab yang mau gergaji kepala patungnya. Duh, sayang banget ya, itulah Gaizee, ulah orang-orang gak bertanggung jawab itu yang akhirnya nyusahin kita-kita.” “Jem Jem, tahu gak orang yang gak bertanggung jawab itu banyak ragamnya,” ujar Wirda  sengaja tidak mematikan kamera. “Contohnya?” “Abis baperin anak orang terus kabur gitu aja, hahahaha,” Pungkit dan Wirda tertawa bahagia, sedangkan Jemima hanya tersenyum. Sekadar menghargai gurauan Wirda. Fei mendekat, berusaha mengintip ke dalam candi. Berdesakan dengan Jemima. “Kok ada uang receh?” tanya Fei yang berusaha memberikan penerangan dengan flash ponselnya. “Mungkin ada orang yang lemparin uang terus membuat permohonan.” Wirda menjawab pertanyaan Fei. “Okay, pegang dulu Jem,” pinta Fei. “Apaan sih?” Jemima menerima ponsel Fei. Kini lelaki itu merogoh kantongnya mencari uang recehan. “Dapet!” “Fei ngapain sih?” “Bikin permohonan.” “Supaya apa?” tanya Jemima. “Supaya lo gak sedih lagi.” Tandas Fei. “Astaga, bikin permohonan gitu-gitu musrik tau gak?” komentar Wirda. “Astagfirullah, untung belum, tapi recehannya udah dilempar, gimana, dong?” “Ya udah sih, daripada lo bikin permohonan gitu, gue janji deh gak sedih lagi. Nih gue senyum.” Jemima tersenyum manis sekali. Fei ikut tersenyum tanpa sadar lelaki itu mengusap puncak kepala Fei. Perlakuan kecil seperti itu yang seharusnya Jemima artikan sebagai bentuk sayang Fei kepada perempuan itu, nyatanya Jemima tidak sepeka itu. Fei adalah sahabatnya, sekaligus editor tidak mungkin ganti status jadi yang lain-lain.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN