Dari kejauhan Fei dua mobil berjejer di pekarangan rumahnya yang luas. Ada mobil Juhari kakak tertua yang tadi menghubungi Fei dan juga mobil Intan Mayang. Adik bungsunya yang berhasil mengembangkan usaha hingga merambah pusat wisata luar Jawa Barat.
Jika dibandingkan di antara keempat saudaranya, Fei adalah anak yang belum bisa membanggakan Ayah mereka. Fei ke mana-mana masih pakai motor matic dan rumahnya masih ngontrak, sementara semua saudaranya minimal sudah memiliki dua unit mobil dan satu unit rumah mewah di kawasan elit kota Garut.
Pekerjaan Fei sebagai editor Jemima dianggap hanyalah main-main belaka oleh seluruh keluarganya.
“Gawat banget yak sampai Intan juga ada,” tanya Jemima ketika melihat Honda Jazz warna merah milik Intan Mayang.
“Doakan gak kenapa-napa, makasih ya, kalian. Sory banget keseruan di Cangkuang jadi gak seru gara-gara gue minta balik.”
“Yoi, Bro. Asal lo gak panggil gue Kity lagi sih gue aman,” ucap Pungkit.
“Yee, lo kan udah cocok banget jadi Kity,” timpal Jemima.
Fei tertawa, lantas dia melambaikan tangan dan segera berlari menuju rumahnya. Deretan pasang sandal menumpuk di depan pintu ruang tamu. Fei mengucapkan salam dan mendapat jawaban serempak dari kakak adik juga keponakan-keponakannya.
Sang Ayah yang dikabarkan sakit terlihat segar, sedang menikmati sepiring buah mangga yang Fei tebak hasil dari petik di pekarangan belakang rumah mereka.
Fei mendengkus merasa tertipu, dengan langkah gontai dia berjalan menghampiri ibunya dan mencium tangan takzim.
“Kalau bukan bilang Ayah sakit kamu gak akan pulang Fei. Lihat, semua kumpul itu demi kamu, ada yang ingin ayah katakan kepadamu.” Ibunya Fei mengelus puncak kepala Fei yang kini disenderkan pada sandaran kursi.
“Masalah apa? Usaha?” Fei selalu tahu arah pembicaraan keluarga yang memintanya untuk mengelola salah satu usaha sang ayah atau membuka usaha baru yang sebidang dengan seluruh keluarga mereka.
“Ya dengar saja nanti, ini gak menyangkut kamu aja, semua saudaramu makanya dikumpulkan.” Tika, Ibu Fei keturunan Sunda asli yang selalu bertutur kata dengan lemah lembut berusaha terus meyakinkan anak laki-laki kesayangannya.
Seperti arisan, keluarga besar Fei berkumpul. Sang Ayah, Didin Gustian yang berusia lebih dari 60 tahun memimpin rapat keluarga tersebut.
Anak-anak atau lebih tepatnya cucu Didin dan Tika sengaja dibawa para pengasuh untuk meninggalkan ruangan dan tidak mengganggu kelangsungan pertemuan yang dianggap penting oleh Didin.
Belum ada obrolan serius, yang ada detak jarum jam yang seakan menjadi musik pengiring pertemuan ini. Fei sudah tidak betah lama-lama duduk bersama keluarganya.
“Fei, sadar tidak kamu ini belum memberikan hal yang membahagiakan buat Ayah.” Didin mulai bicara.
“Jangan menyela,” cegah Didin begitu melihat putra keempatnya hendak menyanggah.
“Masalah pekerjaan Ayah sudah menyerah, dipaksakan pun gak akan bener hasilnya, daripada modalin kamu dan akhirnya gak bener, mending uangnya Ayah pake buat jalan-jalan ke Turki.”
Hening, benar-benar hening selain suara jam dan tetes air dari wastafel yang bocor. Sesekali suara klakson dari luar rumah mengingat rumah mereka tepat berada di sisi jalan besar.
“Ayah ada jual tanah di Cipanas, semuanya 9 hektar, ini akan Ayah bagikan buat anak-anak. Semua rata, hasil penjualan tanah dibagi tujuh, Ayah, ibu dan kalian.”
“Bagi warisan ini teh?” tanya Intan dengan mata berbinar.
“Bukan warisan, Ayah sama Ibu masih ada kok malah ngomongin warisan. Ini Semacam bentuk kasih sayang kami buat kalian. Tapi ada syaratnya.” Dengan santainya Didin mengatakan itu, ditingkahi denting garpu yang beradu dengan piring.
Anak-anaknya yang sudah tidak muda lagi tidak sabar menunggu apa syarat yang diberikan sang ayah. Hari gini gitu, ya, siapa sih yang gak mau tiba-tiba diberi pembagian hasil jual tanah yang jumlahnya tidak sedikit.
Didin memberikan isyarat kepada Tika untuk membawakan berkas yang disimpannya di kamar. Intan dan kakak-kakaknya terlihat sangat antusias. Berbeda dengan Fei yang tiba-tiba merasa gak enak hati. Lelaki itu memiliki firasat kalau syarat yang akan diberikan ayahnya akan memberatkan dia.
Benar saja, semua kakaknya mendapatkan uang dan langsung ditransfer ke rekening masing masing saat itu juga sedangkan Fei?
“Bukan Ayah sama Mama pilih kasih kepadamu. Semua uangmu aman, walau bagaimanapun itu adalah hakmu.”
Tika mendekati Fei setelah memberi isyarat pada anak-anaknya yang lain untuk meninggalkan ruangan itu.
Kini hanya tinggal bertiga, Fei sedikit gelisah karena walau bagaimanapun dia gugup, dia marah, dia cemburu. Perkara belum mendapatkan pekerjaan yang menurut kedua orangtuanya bisa dibanggakan Fei akan tetap tersudut.
“Fei akan ayah kasih uang, Pabrik dodol dan toko oleh-oleh juga silakan Fei kelola kalo mau. Tapi syaratnya Fei harus mendapatkan jodoh tahun ini juga, jika tidak kami akan menjodohkanmu dengan anak sahabat ayah. Tenang saja, semua uang ini aman.”
“Ayah kira nyari jodoh itu kayak nyari tukang cuanki di pinggir jalan?”
“Makanya Fei kerja yang bener, kalau udah kerja bener dan punya penghasilan yang mapan, cewek model gimana juga pasti mau sama Fei.”
“Trus ini disuruh pulang Cuma begini aja? Fei gak dibagi uang buat ongkos gitu?”
Didin meletakkan piring kosong bekas makan mangga, dia lalu membuka dompet dan memberikan uang tunai. Sepuluh lembar uang pecahan seratus ribuan.
Fei terbatuk, dia tersedak setelah minum air mineral dalam kemasan gelas begitu melihat jumlah uang yang diberikan oleh ayahnya.
***
Fei berhasil melarikan diri dari kumpulan keluarganya, ingat sama Jemima yang kemarin nangis bombay gara gara menghadiri arisan keluarga. Mulanya Fei kira Jemima cuma lebay saja, ternyata ya memang menyebalkan.
Dari rumah menuju pangkalan angkot Fei harus jalan kaki dulu kira-kira 500 meter dari rumah, atau mungkin lebih. Bisa sih naik delman, becak atau ojol, tetapi rasanya sudah lama Fei tidak jalan kaki sejauh menyusuri pinggir jalan raya yang dulu merupakan tempat main masa kecil.
"Fei!" panggil seseorang, lelaki berperawakan kurus kering dengan kain jarik melintang di badannya.
"Hei, Agus." Fei menjabat tangan Agus, teman sekolah waktu SD.
"Waah kumaha kabar?" (Bagaimana Kabar?)
"Weii, gini gini aja, Bro. Ngapain itu bawa bawa jarik?"
"Biasalah ngasuh," jawab lelaki itu.
Fei tidak melihat ada anak kecil di dekatnya, melihat itu pria yang Fei panggil Agus menunjuk anak kecil yang sedang mainan tanah, jaraknya tiga meter dari sana. Persis di depan sebuah gudang toko bahan bangunan yang ada di tempat itu.
"Waah keren, suami idaman," puji Fei. Sebenarnya dia ingin jujur kalau temannya gak ada keren kerennya. Bukan karena momong anak dengan jarik.Tapi gak keren karena biarin anaknya main tanah di pinggir jalan yang notabene jalannya dilalui delman. Kadang ada kusir nakal yang enggak pakai penampung kotoran kuda dan membiarkannya pup di jalanan. Jika kering dan terbawa angin maka serpihannya berterbangan ke mana mana termasuk tanah yang kini dipakai main oleh anak perempuannya.
"Lo kapan bawa anak ke sini?" Pertanyaan yang sudah lumrah di kampung, tetapi sensitif untuk orang orang seperti Fei. Jadinya cukup senyum aja, gak jawab aneh aneh.
"Lo masih nganggur juga, Fei? Duh enak ya punya bokap kaya raya, Mah. Gak perlu susah-susah bekerja. Tiap bulan dapat pasokan."
Satu kali lagi, di kampung memang begitu. Yang namanya bekerja itu adalah ketika seseorang berseragam pergi pagi pulang sore.
Tidak ada istilah pekerjaan freelance, yang ada tetap menganggur. Sebanyak apa pun duit yang dimiliki tetap dianggap tidak bekerja.
Apalagi punya keluarga kaya seperti Fei, semua orang menganggap bahwa Fei dapat jatah setiap bulan dari ayahnya.
Padahal boro boro, jual tanah aja uangnya dikasihkan kalau udah nikah. Fei hanya diberi uang dengar satu juta untuk jajan bakso katanya.
Lelaki itu tersenyum menanggapi omongan teman kecilnya.
Untungnya anak yang sedang ngoprek tanah itu menangis karena kelilipan, Fei selamat bisa melanjutkan perjalanan. Tahu begitu tadi naik ojek atau delman saja.
Parameter kesuksesan di kampungnya adalah ya itu tadi, bekerja di perusahaan atau pabrik.
Berseragam pergi pagi pulang sore hari. Banyak cicilan home kredit, kartu kredit, dan kredit kredit lainnya.
Pekerjaan ngedit video seperti Fei mah enggak dianggap, dianggapnya mainan laptop.
Syuting bareng Jemima dianggap main main. Padahal Dika dibandingkan penghasilan antara Fei dengan teman-temannya yang bekerja pagi pulang sore itu masih besar penghasilan Fei.
Sudahlah lelaki itu pasrah, dia melanjutkan perjalanan menuju rumahnya dengan perasaan yang cukup sedih dan mengenaskan.
Feri_Gustian: Lo di mana, Jem?
Lelaki itu mengetik pesan untuk Jemima. Rasanya curhat dengan teman yang senasib memang pas banget.
Jemima Lidya: Gue di kantor, bareng Wirda bareng Kitty. Bagaimana bokap Lo?
Feri_Gustian:Gue ke sana, nanti gue cerita.
Dia kantongi kembali gawainya, lalu ketika angkot datang Fei menyetopnya.
***
Wajah lusuh dan kuyu Fei akhirnya disambut oleh tiga orang teman yang sedang sangat mengkhawatirkannya. Begitu tiba Wirda bahkan buru buru memberikan segelas air.
Fei yang menunduk sedih mengundang prihatin dari orang kantor yang ternyata sedang menikmati bakso beranak yang dijual oleh Bu Yulia dekat simpang pertigaan yang ada pos polisinya.
Sebelum bercerita, Fei mengambil salah satu mangkok yang berisi bakso besar tinggal setengah. Siapa lagi kalau bukan milik Jemima.
Untungnya Jemima baik dan dia sedikit prihatin mengingat Fei pasti sangat sedih karena orang tuanya sakit. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Jemima padahal. Hmmm ....
"Gue," ucap Fei seraya memasukan sepotong bakso berkuah sangat merah ke dalam mulutnya.
Wirda dan Pungkit menghentikan kunyahannya saking penasaran dengan apa yang terjadi pada ayahnya Fei.
"Gue ditipu." Lelaki itu melanjutkan obrolan lantas menyambar air putih dan bergegas minum.
Baksonya pedas tidak wajar, dijamin kalau makan itu nanti malam bakalan sakit perut.
Dengan antusias Jemima, Wirda dan Pungkit menantikan cerita selanjutnya. Mereka pikir Fei ditipu orang saat dalam perjalanan ke kantor ini. Semacam gendam atau hipnotis, soalnya Fei keliatan banget kayak orang linglung.
"Hp sama dompet aman?" celetuk Wirda, dihadiahi sentilan ringan di kening.
Jemima lantas berjalan memutari meja dan mengambil karet Jepang untuk mengikat rambut Fei yang sangat berantakan.
Surainya yang terlihat gimbal, tetapi sebenarnya lembut itu disisir dengan jari jari lentik Jemima.
Fei memejamkan mata lalu mengembuskan napas, siap untuk menceritakan semua beban hidupnya pada teman teman yang memiliki kesamaan nasib dianggap pengangguran karena kerja bareng Jemima.
"Ditipu bagaimana, ya wajar gue nanya dompet sama hp, dudul banget, sih." Wirda misuh misuh.
"Bokap ternyata enggak sakit, eh bisa bisanya pas gue datang dia enak enakan makan mangga. Dikelilingi cucu yang udah kayak kolecer (kincir) muter sana sini."
"Lah trus lo pulang di suruh apa?" tanya Pungkit. "Kawin?" tebak lelaki itu.
"Enggak," elak Fei, dia sedang tidak berselera untuk diejek.
"Bokap jual tanah yang di Cipanas itu. Semua 9 hektar. Hasil pembagiannya dibagi rata." Siapa sih yang tidak berbinar, jangankan 9 hektar. Tanah seribu meter persegi aja udah banyak.
Fei disangka kaya mendadak, tetapi kok lusuh. Mereka semua heran dengan itu.
"Tapi bagian gue gak dikasihkan, katanya gue kudu kerja dulu yang bener, atau kalau mau ambil alih pabrik dulu. Lo tahu sendiri kan itu buka passion gue? Tau gak, dari milyaran uang yang bokap gue pegang, gue cuma dibagi sejuta doang. Buat jajan bakso katanya."
Prihatin dengan Fei, ketiga temannya itu memberikan ucapan ucapan semangat.
Ruangan empat kali tiga meter yang memiliki furniture serba putih itu pun akhirnya ditinggalkan oleh Pungkit dan Wirda.
Sudah jamnya pulang memang.
Jemima yang belum, dia nunggu Fei ngedit ngedit Video di Cangkuang tadi. Meski sebenarnya perempuan itu tidak berharap banyak.
"Gue disuruh nikah, baru duitnya dikasih."
Jemima tersedak air mineral yang baru saja diteguknya.
"Kok nasib kita samaan? Mereka kenapa sih maksa maksa nyuruh nikah?"
"Maklumi saja, namanya di kampung. Nikah dan kerja di pabrik adalah prestasi. Gue bingung aja dikasih waktu setahun kalo enggak bakal dinikahkan. Kebayang dah gadis pilihan Bokap tuh yang bisa jemur gabah kalau musim panen tiba. Gue gak bisa, gue gak bisa!"
Malam hampir larut, dua anak manusia itu menikmati dinginnya angin malam dengan masalah mereka masing masing.
Sesekali nyamuk yang membutuhkan darah untuk mematangkan telur menghisap darah mereka. Membuat suasana hening itu jadi kegaduhan karena terserang gatal gatal.
Fei dan Jemima, dua orang yang memiliki masalah hampir sama.
Dia lantas berhadapan, ada binar bahagia dari matanya.
"Gue ada ide!" teriak keduanya.
Tawa bahagia terdengar, semoga ide Fei dan Jemima bisa memberikan solusi dan jalan keluar yang baik buat mereka berdua.
Lantas, apa idenya?