“Gue ada ide!” Fei dan Jemima berteriak bersama, bisa-bisanya barengan gitu. Jemima tertawa, Fei ngakak, ditemani malam yang makin sepi dua anak manusia itu.
Dan ternyata ide keduanya pun sama. Ah ... memang sehati nih sang konten kreator dan editornya. Hampir tengah malam di kantor itu masih saja ada aktivitas, biasanya sih ngedit video dan cek video sebelum di upload besok. Namun, kali ini berbeda, mereka malah asik nyari aplikasi chating dan biro jodoh.
“Aman gak sih, Fei?” tanya Jemima.
“Kalau enggak dicoba mana tahu, Jem.”
“Gila nanti tersebar loh, Jemima nyari jodoh di aplikasi online. Ngaruh gak sih sama reputasi gue nantinya. Siapa tahu nanti di aplikasi biro jodoh itu ternyata salah satu follower gue.”
Ada kekhawatiran yang Jemima simpan dalam pencarian ini. Seandainya saja tidak ada tuntutan buat segera menikah dia masih bisa santai. Masalahnya, kalau enggak gitu ya dia dikawinin sama anak juragan dodol.
Kebayang nantinya Jemima bakal kayak Muji, temannya waktu SMP yang sekarang kerjanya jadi mandor di pabrik dodol sirsak. Jadi mandor buat teteh teteh yang bungkusin dodol, jadi mandor buat akang akang yang ngaduk dodol selama berjam jam di atas perapian yang panasnya luar biasa.
Banyak duit, sih, tapi Jemima lebih senang nyari uang dengan cara dia saat ini.
Sudah hampir tengah malam saat Fei akhirnya berhasil daftar di salah satu aplikasi biro jodoh tersebut.
Dia sudah pasang profile dengan foto yang menurutnya paling keren. Foto waktu dekat dengan singa di Taman Satwa Cikembulan.
"Lo gak jadi daftar?" tanya Fei.
"Gue cari jalan lain dah, dari lima juta followers gue pasti ada beberapa persen yang juga main ini, kan?"
"Iya, sih. Gue aja dulu kalau gitu. Ngomong-ngomong ini gimana cara mainnya? Konsepnya begimana?"
"Elah, cari pasanganny kalau berasa cocok yaa kaya kirim permintaan chat apa lah namany tu. Nanti Kalo di accept baru dah mulai PDKT."
Fei mulai antusias, berhubung sudah malam, Jemima akhirnya memutuskan untuk pulang. Perempuan itu sangat merindukan pelukan selimut di kamarnya.
Sepertinya Fei sudah mulai tenggelam dalam aplikasi chatting cari jodoh itu. Bahkan sampai Jemima pamitan untuk pulang lelaki itu hanya mengacungkan tangan dan berjanji akan menyelesaikan editan tepat waktu.
***
Sinar matahari yang mengintip dari balik sela jendela membangunkan Jemima dari tidurnya. Semalam perempuan itu langsung tidur setelah pakai skincare.
Pagi ini selain upload video waktunya untuk menyelesaikan syuting di Jemima jalan-jalan.
Videonya memang diunggah tiga kali dalam seminggu untuk sesi jalan jalan ini. Sisanya konten masak, prank, atau sekadar skincare rutin.
Jatuhnya tetap Jemima syuting setiap hari.
Rencananya Jemima jalan-jalan kali ini mau ke Curug Jagapati. Betul, Curug alias air terjun tersebut awalnya Jemima lihat di salah satu postingan i********: di akun yang dikelola oleh pemerintah kabupaten Garut.
Setelah berkemas, Jemima segera bertolak menuju kantor, seperti biasa dia jadi orang yang terakhir datang.
Wirda sudah mengemasi semua keperluan syuting, sedangkan Pungkit memeriksa kelayakan mobil yang akan digunakan di medan yang cukup menantang. Fei sendiri, dia asik dengan gawainya. Jemima yakin, pak Editor sudah dapat teman chatting di aplikasi biro jodoh.
Seperti biasanya Pungkit alias Kitty menjadi sopir mereka, dengan sabar lelaki itu mengemudikan mobil Zona Jemima di jalan Raya Samarang, terus mengikuti ke arah Pameungpeuk (pesisir selatan Garut). Jalannya turun naik berlika-liku. Untung saja kendaraannya sehat dan terawat, ditambah Pungkit yang menyetir dengan berpengalaman di berbagai medan termasuk medan seperti ini.
Jemima takjub ketika sudah memasuki area Kebun Teh Neglasari, menurut petunjuk orang yang tidak dikenal di jalan, mereka harus mulai perhatikan ke sebelah kiri, berbelok ke jalan kecil di kiri sampai melihat plang berwarna putih bertuliskan “SMPN 3 Cisompet” dan plang dari bilah-bilah kayu berwarna coklat dengan tulisan “Selamat Datang di Objek Wisata Curug Jagapati Ds. Neglasari-Kec. Cisompet”
Mata Jemima dan Wirda ikut awas memerhatikan petunjuk yang diberikan. Fei, masih asik dengan gawainya, sesekali tertawa. Sungguh gak membantu sama sekali.
Dan plang kecil itu tidak memberikan petunjuk yang mengantarkan mereka menuju jalanan curig. Akhirnya tetap mengandalkan Google Maps.
"Gak ada perintah untuk belok tau gak sih, masa dari tadi ini jalanan di Maps lurus aja." Wirda menunjukkan peta dalam genggaman alat elektronik itu.
"Nyasar gak sih, Fei, bantuin dong. Dari tadi hapean mulu," tegur Jemima.
Fei menyimpan ponselnya lalu melihat sekeliling.
"Waah udah di mana ini?" tanya Fei. Saking fokusnya dengan chat dia sampai enggak sadar dengan keberadaan saat ini.
"Kayaknya kelewat deh," ujar Wirda, perempuan itu agak agak putus asa.
"Mending lu gantiin gue syut ini pemandangan deh, Wir," saran Pungkit. "Ini spotnya keren banget, ijo royo royo."
"Fei, Lo turun deh, itu di tengah kebun teh ada yang lagi metik, Lo tanya."
"Kok gue?"
"Ya karena Lo dari tadi diem aja, buruan."
Jemima mendorong punggung Fei dari jok tengah, mau enggak mau lelaki itu turun dari mobil.
Udara dingin seketika menyapa Fei, dia merapatkan jaket dan berjalan terbungkuk bungkuk nahan perasaan dingin.
"Permisi, teh," sapa Fei.
Pemetik teh seumur dengan Fei itu menjawab sapaannya, "Iya."
"Leres jalan ka Curug Jagapati ka palih dieu? (Benar jalan menuju Curug Jagapati ke arah sini?)
"Oh, parantos kalangkung, Kang (Sudah terlewat, Kang). Balik arah aja, nanti ada belokan ke dua kalau dari sini. Dua puluh menit kalau dari sini nanti ada gapura selamat datang."
"Oh, muhun hatur nuhun. (Baik, terima kasih)"
Sekitar 20 menit, tibalah di gapura cukup besar bertuliskan “Selamat Datang”. Di situlah mobil dan motor harus diparkir, di dekat Warung Odading Ceu Eti.
Kami mampir dulu ngopi-ngopi sambil tanya tanya seputar penginapan yang ada di sini.
"Take sekarang aja, kali, ya." Wirda mulai mengatur peralatan, menyalakan kamera dan mendadak jadi MUA yang merapikan penampakan wajah Jemima yang sedikit berantakan karena perjalanan yang panjang.
"Oke!" Wirda memberikan isyarat.
"Hai sobat ZonaJemima, welcome back to my youtube channel. Bareng gue Jemima Lidyanata di Jemima jalan-jalan. Masih di Garut, masih secinta ini sama kota kelahiran gue dan masih akan terus ekplorasi keindahan kota ini. Corat coret di kolom komentar, daerah mana lagi yang harus gue kunjungi. Ada yang bisa nebak gue di mana? mau ke mana, sedang apa dan sama siapa? elaah gak guna banget, gue mau ke Curug Jagapati. Ikuti terus, jangan bosan."
"Oke, Cut. Mantap Jem."
Dari warung mulailah mereka jalan kaki. Awalnya jalanan cukup lebar, jalan desa berupa makadam. Lalu di satu titik ada jalan setapak ke kiri, oleh pemandu lokal Jemima dan rombongan diajak lewat jalan setapak, menurun. Kemudian berganti pematang sawah, lalu masuk jalur kebun warga dan hutan.
Tidak lupa Jemima memotret keindahan alam.
Fei seperti biasa membantu Jemima, menuntunnya, membawakan Tas dan sesekali memberikan minum.
Untungnya meski matahari bersinar cerah, udara di sekitar cukup dingin. Jadi gak begitu menguras tenaga.
Dengan hati hati kelima orang itu melalui track menurun yang cukup terjal di beberapa ruas. Untunglah tanahnya sudah dibuat undak-undakan.
Jalan sambil syuting sekitar 20 menit, tibalah di spot di mana mereka bisa melihat curug dari kejauhan tapi sudah terlihat utuh 4 tingkat. Tingkatannya berbentuk zig-zag, luar biasa keren. Fei membantu Jemima mengabadikan pemandangan indah tersebut.
"Kebayar banget jauh jauh dan capek capek jalan ke sini. Eh ada sinyal gak, gue kok gak ada," keluh Fei.
"Gue ada," jawab Pungkit.
"Gue juga ada," timpal Wirda.
"Lo ada juga? hotspot dong," pinta Fei gak tahu malu.
"Gue ada tapi lowbat, lupa di cas semalam keburu ngantuk," jawab Jemima acuh.
"Power bank kan ada."
"Di mobil."
"Yaaah."
"Ngapain, sih, udah nikmati saja perjalanan."
Kekecewaan Fei mengundang Wirda dan Pungkit untuk curiga. Pada akhirnya Jemima berjalan menapaki jalanan menuju Curug sambil cerita.
Pemandu lokal mengingatkan agar berjalan hati-hati karena undak-undakan batu menuju ke dasar Curug.
"Lo harusnya jadian aja udah sama si Fei. Sama sama jomlo yang dipaksa nikah sama keluarga."
"Usul Wirda ditanggapi dengan jijik oleh Fei dan Jemima."
Bagi Fei, Jemima bukan gadis impiannya. Kedekatannya hanya sebatas sahabat dan juga hubungan profesional.
Sedangkan bagi Jemima, dia ingin memperbaiki keturunan. Bukan karena fisik, melainkan daerah asal.
Fei Garut, Jemima juga Garut. Pengen gitu punya pasangan yang berasal dari daerah lain. Bandung paling dekat.
Wirda dan Pungkit terus mengabadikan pemandangan demi pemandangan.
Jemima takjub melihat pemandangan kolam alami di bawah curug paling bawah.
Mereka bergegas menyimpan barang bawaan dan bersiap untuk menceburkan diri ke dalam air. Kolam itu cukup dalam tapi aman direnangi buat yang bisa berenang saat debit air tak terlalu tinggi. Sayangnya airnya sedang deras-derasnya, meluap keluar dari kolamnya. Jadi mereka cuma berani berendam di aliran airnya. Itu pun harus hati-hati, harus mencari ceruk di antara batu-batu besar supaya nggak terseret arus.
Fei sendiri tidak ikut main air. Dia jadi kameramen, karena dari sebelum sampai di sini sudah sibuk dengan gawainya. Akhirnya dia lupa tidak membawa baju ganti.
"Sudah dapat keputusan mau menginap di mana?" tanya pemandu.
"Belum, kalau misalnya masih terang kami pulang, kalau keburu gelap paling nyari."
Jeritan Jemima dan Wirda membuat Fei mendongak.
Betapa bahagianya mereka.
"Hotel terdekat dari Curug Jagapati ini hanya Hotel yang berada di Pameungpeuk 50-60 menit dari Curug Jagapati. Jadi masih lumayan jauh, berjarak 25 km. Hotelnya sederhana tapi bersih, dengan tarif kamar Rp250.000-350.000."
Fei berterima kasih. Lalu menyelesaikan sisa pekerjaan hari itu. Mulai syuting hingga foto foto produk endors yang harus Jemima review.
***
Mereka sampai di hotel lebih lambat dari pada yang mereka perkirakan. Ban belakang tiba tiba pecah, mana lokasinya cukup jauh dari rumah warga.
Untungnya Fei bisa ganti ban serep. Meski beberapa kali dia misuh misuh karena acara chat dengan gebetan baru di aplikasi cari jodoh akhirnya harus tertunda.
"Fei," panggil Jemima.
Buru buru dia mengantongi gawainya. Fei sedang duduk di beranda kamar hotel, tersedia kursi rotan yang diberi bantalan empuk.
Angin berembus kencang, meniup rambut Jemima yang bergelombang. Fei tidak tahan untuk tidak memperbaiki dan menyelipkan Surai hitam itu di sela telinga.
"Lo udah dapet yang cocok?" tanya Jemima.
"Gue Chatting sama beberapa orang. Dari Garut satu orang, sisanya dari Rancaekek, terus dari Cimahi."
Giliran Jemima, kini dia merapikan rambut Fei, mengikatnya dengan karet gelang bekas beli awug di pinggir jalan sebelum tiba di hotel.
"Udah sih, kalian cocok, ngapain nyari jodoh di luaran." Pungkit keluar kamar membawa secangkir kopi yang harum.
Sebelum meneguknya sedikit demi sedikit dia menghirup dalam dalam.
"Ih, Cocok apaan, amit amit gue kudu sama dia," elak Jemima.
"Siapa juga yang mau sama Lo? Amit-amit!"
"Hati hati," pesan Pungkit. "Amit-amit begini biasanya nanti malah berjodoh."
Jemima berlagak mau muntah, dia akhirnya meninggalkan tempat itu menuju kamarnya dengan Wirda.
"Amit-amit jabang bayi, Jangan sampe."
Jemima terus merapalkan dalam hatinya.