Di Atas Rakit

1155 Kata
Matahari mulai meninggi, Fei dengan kesal mengangkut property yang akan digunakan syuting di Candi Cangkuang. Harusnya mereka sudah berangkat pukul 6, karena perjalanan dari Garut Kota ke kecamatan Leles lumayan jauh juga. Terlebih saat weekend seperti saat ini. Jalur itu pasti macet diserang kendaraan pribadi dari Bandung dan Jakarta yang menjadikan Garut sebagai destinasi wisata dan tujuan berlibur. Kekesalan Fei Bukan tanpa alasan. Seenaknya saja Jemima, Pungkit dan Wirda santai-santai sambil sarapan bubur. Dia sibuk sendiri karena takut terlambat, makin siang makin macet suka ada rekayasa lalulintas dengan memberlakukan sistem one way. “Sarapan dulu, Fei. Perjalanan kita jauh,” bujuk Jemima. Fei akhirnya mengalah, tiga lawan satu, gak akan menang. Bubur hangat dari kedai Mang Bobon disantap juga. Wirda membereskan peralatan makannya, lalu mengambil air mineral kemasan gelas dan membaginya masing-masing satu. Jemima masih asik nyemilin kerupuk menemani Fei yang baru saja makan. Usai memastikan semua siap, mereka berangkat. Jemima tidak lupa take video dalam mobil, kotak besi yang nyaris tidak pernah sepi. Tawa pungkit dan Fei selalu mendominasi, mengolok-olok Wirda yang ngaku orang Garut asli, tetapi tidak pernah ke Candi Cangkuang. Kurang dari dua jam mereka sampai di pelataran parkir, Pungkit mengikuti arahan petugas hingga mobil milik Jemima terselip di antara mini bus dan SUV hitam berplat nomor luar kota. Jemima belum turun, dia merapikan riasannya, dibantu Wirda perempuan itu juga mengganti cardigan dengan outer demi kepentingan konten. Dengan sabar Fei menunggu Jemima. Lelaki itu gentle membawakan tas ransel Jemima lalu menuntun perempuan itu seperti sepasang pengantin yang hendak berbulan madu. Wirda mendengkus kesal. “Kapan take Videonya? Take dulu buat opening pacarannya lanjut nanti aja.” Jemima sadar dan melepaskan pegangan Fei, “Ngapain pegang-pegang?” “Biar gak keliatan jomlo aja,” kelakar Fei. Tepat di pintu masuk kawasan wisata budaya Cangkuang Jemima mulai take video. “Hai, guys, Ahaha basi banget, ya. Ulang-ulang,” pinta Jemima. Jemima melirik Fei dan Pungkit yang tengah berbagi api, menyalakan kretek mereka tepat di bawah pohon yang entah apa namanya. “Hai sobat ZonaJemima, welcome back to my youtube channel. Bareng gue Jemima Lidyanata di Jemima jalan-jalan. Guys, jika kemarin kita main-main sama orang utan dan buaya di Taman Satwa Cikembulan, sekarang kita jalan-jalan di kawasan wisata Budaya Situ Cangkuang, Candi Cangkuang, dan Rumah adat kampung pulo. Ikuti terus keseruan gue.” Wirda mengacungkan jempol, keempat orang itu melanjutkan jalan. Jemima tetap memimpin di depan, sementara Wirda dan Pungkit mengambil gambar dengan kamera masing-masing. “Berapa tiket masuknya, Pak?” tanya Jemima. “Loketnya di dalam, Mbak, harus nyebrang situ dulu baru nanti ketemu loket di pintu masuk candi.” Lelaki berseragam Pemda dengan badge Dinas Pariwisata memberikan arahan. Jemima melihat kamera dan mengacungkan jempolnya. “Ini naik rakit bayarnya di mana, Pak?” tanya Jemima lagi. “Langsung saja ke petugasnya, Mbak, di bawah sana.” Jemima mengangguk dan berterima kasih. “Guys, ini keren banget sumpah, danaunya tenang banget. Eh situ sama danau apa bedanya sih Fei?” “Sama kali, ya, sama-sama nampung air banyak,” seloroh Fei depan kamera, lelaki itu grogi karena tidak biasa tampil depan kamera. “Ish info gak guna. Guys, komen yuk, apa bedanya situ dan danau menurut versi kalian, sekarang mari kita tanya abang-abangnya.” Jemima menuruni undakan, angin seakan mengantarkan gadis itu menuju seorang pria paruh baya yang menggunakan kaos biru dengan tulisan ‘Situ Cangkuang’. “Permisi, Pak. Nyebrang berapa biayanya, Pak?” Bapak itu tersenyum, sadar kalau percakapan mereka direkam, “Gak usah grogi, Pak. Kenalin saya Jemima. Nama bapak siapa?” “Wasman,” jawab lelaki itu. Beberapa pengunjung melirik aktivitas mereka, kegiatan syuting konten itu cukup menyita perhatian. “Pak Wasman, berapa harganya Pak kalau kita nyebrang ke sana? Pakai itu ya, Pak?” Jemima agak kaget melihat kondisi rakitnya. Bambu panjang-panjang yang disatukan di tengahnya terdapat tempat duduk yang ditutp atap dari daun rumbia. “Iya pakai itu, aman, kok, Mbak. Tinggal pilih mau borong apa enggak?” “Bedanya?” celetuk Fei. “Kalau borong gak perlu nunggu rakit penuh dulu kita berangkat, tarifnya 100 ribu bolak balik.” Petugas itu memberikan penawaran harga. Masih bisa ditawar katanya. “Jadi nanti pulangnya pakai rakit ini lagi?” tanya Jemima. Wasman mengangguk. “Kalau gak borong berapa, Pak?” “Lima ribu per orang bolak balik,” tandas Wasman. “Lumayan bedanya, Jem. Lo mau pilih borong atau enggak?” tanya Wirda. Proses tawar menawar ini tidak direkam, keempatnya berunding untuk menentukan pilihan. “Kalau borong enak, privasi dan kenyamanan kita terjamin. Cuma berempat dan kita bebas ngonten.” “Kayak double date gak sih?” celetuk Pungkit. Fei tergelak, akhirnya Jemima memutuskan untuk pilih rakit biasa aja, tidak sistem borong. Alasannya biar gak disangka double date dan bisa tanya-tanya wisatawan lain mengapa memilih berwisata ke Cangkuang ini. Lumayan buat nambah-nambah bobot konten. Fei membantu Jemima turun, menuju rakit. Barang bawaan mereka simpan di tempat duduk. Jemima berjalan hingga ujung rakit, duduk di sana sambil menunggu rakit jalan. Fei berjalan menghampiri, dari jarak dua meter, Fei mengeluarkan gawainya, lalu memotret punggung Jemima. Rambutnya berkibar tertiup angin sehingga membuat hasil foto terlihat sangat indah. Lelaki itu tersenyum dan mengantongi kembali gawainya. “Indah ya, Jem.” Fei duduk tepat di belakang Jemima. Jarak dekat dan angin yang lumayan kencang mengantarkan aroma Jemima yang semanis Vanila menggelitik hidung Fei. Lelaki itumerentangkan tangan dan menikmati indahnya suasana tengah hari di atas rakit. “Indah, sih, tapi tetep hati gue gak enak, Fei.” “Masih belum mau cerita, Jem? Gue ini sahabat lo, siapa tahu gue bisa bantu biar lo gak galau terus kayak gini. Lo ketawa juga rasanya hambar, tau gak. Lo kayak lagi topeng. Keliatan banget pura-pura. Jemima berbalik, kini dia menghadap ke arah yang sama dengan Fei. Air situ yang merembes melalui celah bambu membasahi sepatu Fei. “Kentara banget, Ya?” tanya Jemima. “Lo jago banget acting sumpah, Wirda sama Pungkit gak akan tahu kalau lo lagi sedih. Hanya gue yang gak bisa lo bohongin. Badan lo di sini tapi gue rasa hati lo masih di kamar selimutan.” Jemima tersenyum, dia menundukkan wajahnya, membuat rambutnya yang tergerai menutupi sisi wajahnya. Refleks Fei menyelipkan rambut-rambut itu di balik telinga Jemima. Dari kejauhan orang mengira Fei dan Jemima adalah sepasang kekasih mengingat interaksi mereka yang begitu dekat. Hanya Wirda dan Pungkit yang tahu apa hubungan dari Fei dan Jemima. Jemima mengangkat wajahnya, menatap Fei seperti minta tolong. Selaput bening menghalangi penglihatannya, Jemima berusaha tidak berkedip agar butir kristal itu tidak menetes dari matanya. Namun, semakin lama dia bertahan semakin banyak cairan itu berkumpul di pelupuk. Dia akhirnya menghapus dengan kasar air mata yang tidak seharusnya turun saat seperti ini. “Lo nangis gue ikut sedih lo, Jem.” “Fei, Bunda Ratu mau jodohin gue,” ungkap Jemima. Suaranya lemah tetapi tetap terdengar. Fei tidak tahu lagi, rasanya semua berdengung. Dia seperti melayang dan tersadar saat seorang lelaki yang ternyata petugas yang akan menjalankan rakit melewatinya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN