Part 7 - Mengagumi

1291 Kata
    Rana terdiam, melamat pandangan dalam-dalam, kedua matanya tertuju jauh di pelupuk mata. Tentang seorang lelaki dengan gagahnya, rupa menawan juga sangat berwibawa. Duduk bersama bu Devi di ruang meeting. Tak sengaja Rana membidik wajah yang tak pernah dilihat sebelumnya, di balik tembok putih, laki-laki itu berdiri dari kursinya. Keluar dari ruangan dan tak sengaja melihat Rana yang tengah berdiri dan hanya terlihat separo badannya. Laki-laki itu menghampiri, tepat berada di depan Rana.      “Kau pegawai baru?” Bagai disambar petir di siang bolong. Rana mendengar kata yang keluar dari bibir laki-laki asing yang baru dilihatnya. Suara merdu dengan getaran nada yang pas, membuat bibir Rana terkunci, tubuh seakan menghentikan geraknya dan aliran darah pun seperti macet tak bisa  mengalir sesuai peredarannya. Mata Rana lalu tertunduk dan tak berani menatap lagi laki-laki di depannya itu.      “Saya tanya, apa kau tukang cuci piring yang baru?” Rana masih saja tak menjawab, dia benar-benar tak bisa membuka mulutnya. Dia tetap menunduk tanpa berani lagi memandang wajah laki-laki itu. Sejurus bu Devi memberikan jalan terang untuk Rana, datang tanpa diundang.      “Maaf pak, dia pegawai Baru, namanya Rana, dan Rana berikan salam hormat kepada pak Bowo, pemilik restoran ini”     Rana mencoba benar-benar mengumpulkan keberanian, mengangkat kepalanya dan memandang wajah yang sungguh membuat jantungnya berdetak tak seperti biasanya, tubuhnya seolah menjadi kaku, beku tanpa tersisa. Laki-laki bernama Bowo itu terdiam mengamati wajah Rana yang tak pernah ada sebelumnya.     “Baiklah, bekerjalah dengan benar” Bowo berlalu, hilang dalam pandangan Rana. Berdiri dengan detak jantung yang semakin menggebu, berdenyut semakin tak karuan, keringat dingin merajai, bahkan tak henti-hentinya dia memamerkan sedikit senyum dari bibirnya. Ingatannya hanya tertuju pada Bowo, bagaimana dia mendapat pertanyaan dengan suara yang begitu indah. Terkesima dengan penampilan kaos oblong dan celana jeans yang menghiasi. Rambut hitam dibelah samping, bagian bawah cepak dan ada guratan garis belahan seperti jalan yang lurus. Hidungnya seperti bambu runcing, mata lebar dan kulit sawo matang, tinggi badan proposional ditambah dengan bentuk d**a membusung seolah memberikan kegagahan bagi laki-laki yang membuat Rana merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. ***           Kembali bersahabat dengan piring-piring penuh noda. Tangan terampil Rana siap untuk membuat benda putih itu bersih kembali agar bisa digunakan. Hati Rana telah berbunga-bunga. Ada meteor yang jatuh menggelayut dalam hatinya. Wajah tampan Bowo membuat Rana tak bisa menghilangkan bayangan dari memorinya. Di setiap sudut ruangan terasa senyum merekah Bowo selalu terpampang nyata. Rana seakan terbuai dalam pandangan mata yang hanya sekejap didapatnya. Bibirnya terus mengembang seperti mawar tersiram air hujan.      Daya khayal Rana menghipnotis. Merenda kasih dalam balutan angan. Tiada yang dipikirnya selain ketampanan Bowo. Suara indah Bowo. Postur kekar tubuh Bowo juga tentang sikap baik Bowo. Semua itu berputar-putar mengisi pikiran dalam kepalanya. Air kran mengalir seperti alunan nada-nada cinta yang terdengar begitu indah.      Wajah Rana berbinar-binar. Matanya seperti cahaya bintang yang bersinar. Pipinya berubah merah merekah. Guratan senyum selalu hadir, sekarang dia sedang merasakan keindahan rasa yang tak pernah dilalui sebelumnya.       Bekerja dengan sangat cepat. Rana kembali meletakkan tubuhnya pada kursi coklat yang disediakan untuknya. Dia masih tersenyum tanpa henti. Tak tahu apa yang sebenarnya hadir dalam hatinya. Mencoba menepis tapi tak bisa. Mengalihkan kembali pada obyek lain di dekatnya, pun tak bisa. Pertemuan tanpa di sengaja itu membuat Rana tak bisa memalingkan bayangan Bowo dari hati dan pikirannya. “Ah...payah, kenapa aku selalu ingat dia”     Rana menggerutu di tengah-tengah lamunannya. Dia merasa kesal sedikit pun tak bisa membuang wajah Bowo agar tak selalu mengikuti dalam pikirannya. Semakin mencoba bayangan itu semakin jelas hinggap dalam dirinya. Mencoba dialihkan kembali dengan menata piring-piring dan barang dapur lain yang telah dicucinya, mengisi sabun cuci yang telah habis serta mengambil kain kecil berbentuk persegi untuk mengelap piring yang sudah menunggu sentuhan tangannya.     Rana semakin geram, dia tak bisa benar-benar tak bisa menghilangkan rupa wajah laki-laki bernama Bowo itu. Semakin berkelibat di pelupuk matanya. Datang dalam balutan kasih. Semakin terasa indah bila Rana mencoba berdamai dengan rasa yang kini menyelimuti hatinya. Dia pun kembali membiarkan semua tentang Bowo itu hadir. Dia semakin terlena dan sudah tak lagi menepis bayangannya. ***     Hari pertama menapaki kerja. Si Mbah di rumah menanti kedatangan Rana seorang. Semburat senyum berkibar dengan agungnya. Meretas kekhawatiran saat terlihat wujud Rana di ujung jalan pulang. Berdiri dengan sedikit membungkuk, menyeka bola mata yang hampir basah. Si Mbah tersenyum tulus, menyambut kedatangan cucunya.     “Kau pasti lelah, minumlah teh hangat ini, nduk” Si Mbah menyodorkan segelas teh dan Rana menyambutnya. Tak henti-hentinya si Mbah menghadirkan rasa euforia lewat bibir yang terus mengembang.      “Bagaimana kerjamu?” Rana membalas dengan senyum, sembari menatap tajam si Mbah. Belum dia mengatakan apa pun si Mbah terus menghujaninya dengan banyak pertanyaan lain.      “Kau baik-baik saja, kan?” tukas si Mbah.      “Tidak ada yang menyakitimu?” Mbah terus bertanya.      “Bagaimana dengan teman barumu?” lanjutnya. Rana masih saja mengunci mulutnya, dia menunggu si Mbah menyelesaikan pertanyaan interogasinya itu. Setelah napas si Mbah mulai kembang kempis, Rana barulah angkat bicara.       “Duduklah yang tenang, Mbah. Aku akan menceritakan semua padamu” Si Mbah mengambil posisi duduk di samping Rana. Memandang tepat sasaran, tanpa berubah arah.       “Bekerja di sana menyenangkan, aku tak mengalami kendala apa pun. Orang-orangnya juga baik dan yang terpenting dapat satu kali makan gratis, Mbah” Mata si Mbah seketika tumpah dan pipinya pun basah. Perasaan haru itu menyelimuti hatinya. Dipeluknya Rana penuh kehangatan. Si Mbah memejamkan matanya, terlihat dia telah kembali berdoa pada Tuhannya.      Rangkaian kata yang Rana hadirkan, membuat si Mbah tak bisa memejamkan matanya malam ini secepat kilat. Dia sangat bahagia, hingga rasa suka itu menyelami hatinya yang dalam. Mengibas sejuta sakit yang pernah dirasakan. Merenda kembali harapan dalam nestapa yang pernah ada. Merasakan indahnya nikmat yang kini telah menyapa di depan mata.      Rana, memeluk erat gulingnya. Dia masih terjaga. Memandang ke langit-langit. Senyumnya pun menemani. Hawa dingin menusuk kulit. Selimut yang terbentang dalam tubuhnya memberikan kehangatan tiada terkira. Malam kian larut. Namun mata Rana tak kunjung terpejam. Dia menikmati pikiran-pikiran tentang Bowo seorang. Pertemuan pagi tadi membuat Rana merasa terkesima. Baru kali ini ada lelaki yang tak meremehkan tentang kondisi wajahnya. Rana terbuai dalam bayangan lelaki pujaan.      “Aku suka padamu, Rana” Bowo dan Rana saling memandang, kedua mata itu bersatu dalam rasa yang menentramkan. Tangan Rana tergenggam erat dalam jemari Bowo. Keduanya menatap. Tak ada satu pun yang menghalangi untuk saling memadu rasa.     “Aku juga mas Bowo” Senyum bahagia terpampang indah. Bersatu dalam kerinduan yang menerpa panjang. Penantian kini telah di ujung langkah. Keduanya saling  memadu kasih. Gelombang asmara menyapa dalam balutan elegi cinta.    “Aku ingin selalu bersamamu, Rana”    “Aku juga mas Bowo, kumohon berjanjilah untuk selalu bersamaku”    “Ya, Aku berjanji”    “Jangan pernah berpaling dariku mas, aku mencintaimu”    “Aku juga mencintaimu, Rana” Untaian kata demi kata membuat bahagia tiada terkira. Senandung kemesraan terasa begitu indahnya. Dunia penuh warna bak pelangi bersimpuh pada langit yang membentang luas. Rana sangat menikmati perannya. Dekat dengan orang yang sangat dikaguminya.      Berjalan beriringan, bergandeng tangan. Rana menyandarkan kepalanya pada pundak Bowo. Menikmati langkah kaki menyusuri jalan panjang di antara pepohonan rindang. Angin sepoi menembus kulit dengan mesranya. Suara burung berterbangan terdengar sangat merdu. Gunung menjulang tinggi, awan biru menyelimuti cakrawala dengan indahnya. Kedua anak adam itu telah merasakan indahnya cinta.            "Nduk...nduk...ayo bangun, sudah siang, kamu harus kerja” Suara si Mbah membuyarkan mimpi Rana yang bergeliat dalam fatamorgana. Tak ada yang nyata antara dia dan Bowo. Semua yang dinikmatinya itu hanyalah sajian dunia maya tanpa jejak. Membekas erat dalam kalbu. Berharap itu kenyataan. Tapi semua terbuyarkan saat mentari mengeluarkan sinar kuningnya. Mimpi Rana telah berakhir.         Keindahan yang baru dirasakan tiba-tiba sirna. Rana hanya memangku dagunya. Berharap mimpi indah itu tak hanya menyapa dalam ilusi belaka. Rana benar-benar menginginkan jika dia bisa menjadi bagian dari hidup Bowo.        “Kamu ini kenapa?” tanya si Mbah. Rana hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab apa pun. Dia kini dalam buaian asa. Si Mbah berlalu. Rana masih saja terpukau dengan bayangan Bowo yang mengitari isi kepalanya. “Andai itu benar-benar kenyataan, aku pasti sangat bahagia”. Dia bergumam dalam kesendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN