Part 8- Cinta dalam Diam

1067 Kata
    Merengkuh angan, mencari di mana cinta itu bersemayam. Mencoba menghapus jejak-jejak bayangan yang tersirat. Rana dalam buaian cinta Maha dahsyat. Memasuki restoran yang sudah ramai dengan karyawan-karyawan dan bejibun tugas yang siap dikerjakan. Tak ada yang menyapa saat Rana datang. Semua sudah mengambil peran masing-masing.     Berjalan pelan, melewati ruang demi ruang. Rana hanya menunduk dan menikmati langkahan kaki di atas keramik berwarna  kopi s**u. Langkah kakinya terhenti, saat terdengar  suara berisik barang pecah belah beradu dengan lantai mengagetkan Rana. Menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya bingkai foto terjatuh dari dinding dan tergeletak berserakan pecahan kaca di mana-mana. Sejurus Rana pun meraihnya. Jari telunjuknya tergores pecahan kaca hingga berdarah. Akan tetapi semua itu tak dihiraukannya. Matanya tertuju pada foto yang terpampang jelas. Wajah Bowo tersenyum dengan posenya. Goresan itu seakan tak terasa sakit sedikit pun. Sekilas terobati dengan foto senyum Bowo yang telah digenggamnya.      Rana menoleh, pandangannya tertuju pada seluruh penjuru dinding. Semua karyawan tak ada yang melihat dirinya. Foto itu pun segera dibawanya lari bersamaan dengan pecahan bingkai yang sudah tak bisa di satukan. Bunga-bunga asmara kembali bergeliat dalam hatinya. Bersatu dalam buaian asa yang menari di pelupuk mata. Rana memang sedang jatuh cinta.     “Hai pencuci piring,” sapa Roni. Rana berbalik badan. Dilihatnya Roni telah berdiri di belakangnya. Wajah Rana berubah menjadi pucat pasi. Tersirat kegugupan, dia mengalihkan pandangannya pada lantai yang dipijaki.     “Apa yang kau lakukan?” lanjut Roni.     “Foto yang tertempel di dinding itu jatuh dan saya bersihkan,” jawab Rana dengan penuh kegugupan.     “Tanganmu berdarah, cepat kau obati,” Roni menyarankan dengan segera, dia takut dengan darah merah yang menghiasi telunjuk Rana.     “Iya,” Rana hanya mengiyakan.     “Lalu di mana sekarang fotonya?”     Pertanyaan terakhir Roni membuat Rana bergumam. Bola matanya berotasi. Dia mencari-cari alasan untuk bisa mengelabuhi Roni. Dalam batinnya tak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Foto itu sudah masuk dalam sakunya. Rana masih saja terdiam, kebingungan sedang melandanya. perutnya tiba-tiba berbunyi, seperti sebuah isyarat untuknya. Dia pun berlari secepat kilat menuju kamar kecil. Meninggalkan Roni dengan pertanyaan yang belum dijawabnya.       Tak ada yang dilakukan Rana di dalam ruangan kecil itu. Mengeluarkan selembar foto, dipandanginya dalam-dalam, terbesit sebuah perasaan yang kini bergejolak dalam hatinya. Tak tahu bagaimana rasa itu mengalir seperti hilir yang tiada akhirnya. Rana menepis. Kembali dimasukkannya foto itu ke dalam sakunya. Hampir sepuluh menit dia bergelut dengan keran air yang dinyalakan itu, lalu diputuskannya untuk keluar dengan segera. Dia yakin Roni pasti sudah tak menunggu jawabannya.       Pikiran Rana tepat sekali. Ruangan tempat cuci piring itu sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat. Rana secepat mungkin meraih sebatang sapu untuk membersihkan lantai. Ada sedikit rasa lega yang bergelayut dalam batinnya. Roni tak menanyakan lagi tentang selembar foto yang raib tak ada jejak. Rana hanya tersenyum tipis lalu melanjutkan usapan sapu pada lantainya.      “Di mana pigora yang terpampang di sini?” Bowo memasuki ruangannya, ada perbedaan yang terlihat sangat mencolok bagi matanya. Foto yang biasanya menghiasi pandangan saat masuk ruangan tak didapatinya. Bu Devi yang berada di dalam ruangan hanya menggeleng tak tahu di mana letak foto itu.       Rana sudah kembali berkutat dengan piring-piring kotor. Semua ditata dengan rapi. Tak ada barang yang berserakan. Rana memang sangat handal dalam penataan ruang. Menghela napas panjang, Rana tersentak saat menoleh ke belakang. Bowo berdiri memperhatikan dirinya, dia menunduk, ketakutan menyelinap dalam batinnya.       “Apa kau tahu di mana foto yang ada di dinding ruanganku?” Napas Rana semakin tak bisa diatur, tangannya berubah dingin, menjulur keseluruh badannya. Peluh menghiasi dahinya. Matanya tetap memandang penuh ke bawah. Pita suaranya seolah bergetar tanpa mengatakan apa pun pada Bowo.        “Tidak usah takut, aku hanya ingin tahu saja” Rana memberanikan diri melirik dengan cepat, lalu menunduk lagi. Menyiapkan jawaban yang akan disusun agar meyakinkan orang yang amat dikaguminya.        “Maaf pak”        “Tidak masalah, apa kau tahu Rana?” Rana mengatur napasnya lagi, seperti ada dorongan yang membuat mulutnya agar cepat  terbuka.         “Tadi pagi saya lewat ruangan bapak, tak sengaja saya melihat pigora itu jatuh dan pecah, saya bersihkan dan...” Rana menghentikan perkataannya. Dia kembali mengatur napasnya yang tak karuan. Bowo masih menunggu jawaban Rana dengan tetap diam memandang penuh harap.      “Dan...daaan... foto itu terkena gunting yang saya bawa, akhirnya saya buang Pak, maafkan saya, saya tidak sengaja merusak foto Pak Bowo” Rana masih menunduk dengan rasa yang amat tak bisa diaturnya, gugup terlihat sangat jelas. Dia dalam kebimbangan dengan apa yang barusan dikatakannya. Bahkan dia juga takut jika Bowo tak percaya dengan penjelasan dan akan memecatnya. Entah mengapa dia tak mau kehilangan foto yang telah dibawanya itu. Suasana hening tiada kata sedikit pun.       Suara dehem Bowo mengagetkan kediaman Rana. Dia masih saja menikmati pandangan yang sama, lantai kopi s**u. Dadanya seakan berkicak dalam bayangan yang masih berputar dalam otaknya.       “Ya sudah tidak apa-apa Rana, biar saya ganti dengan foto saya yang lain” Bowo berlalu dengan segera. Hati yang dari tadi panas seperti terbakar api kini terasa dingin tersiram air hujan. Rana menghela napas lega. Dinikmatinya kursi lalu memandang ke arah ruang Bowo dan tersenyum simpul. ***       Hari minggu suasana di restoran sangatlah ramai pengunjung. Banyak yang datang mampir setelah berwisata mengelilingi candi dan juga museum di Bumi Majapahit. Tumpukan piring dan gelas kotor itu membuat Rana menarik napas panjang. Hari ini dia akan bekerja tiga kali lipat daripada biasanya. Semua seolah tak terasa dikerjakannya, hanya karena bayangan wajah Bowo selalu bergeliat dalam bola matanya.       Semua pekerjaan usai. Senja hadir menghiasi langit sore. Rana bersiap untuk segera pulang. Sejengkal melangkah, matanya tertuju pada ruangan Bowo. Dia melihat di balik dinding. Bowo sedang duduk bermain dengan ponselnya. Rana memandang dalam diam. Jantungnya seolah berbisik, memberikan isyarat bahwa cinta kembali menyapa. Senyumnya menghiasi dan tanpa sengaja Bowo melihat keberadaan Rana. Sejurus Rana berlari seketika. Meraih sepedanya lalu menghilang pulang. ***              Cahaya bulan purnama menerobos dalam kegelapan malam. Si Mbah sudah sedari tadi menikmati pejam matanya. Rana masih terjaga, dipandangnya foto Bowo yang telah dicurinya. Menatap penuh kasih. Debar-debar asmara bersemayam dalam dirinya. Mengalir di setiap peredaran darah. Khayalan tentang keindahan cinta bersatu dalam rindu yang semakin menggebu. Rana ingin malam ini cepat berlalu, agar dirinya kembali berjumpa dengan lelaki yang dipujanya. Akan tetapi matanya tak bisa diajak bekerja sama. Tak bisa terpejam.       Mata Rana tak lepas dari foto yang disayanginya. Dipeluknya erat, bahkan dia pun mencium foto yang tak bernyawa itu. Rana dalam cinta yang tak terungkapkan. Bunga- bunga asmara seakan telah bersemi di taman kerinduan. Bak Hujan menyirami bumi yang kering kerontang membuat senyum selalu terpampang. Rana hanya memeluk cinta dalam hatinya. Tak bisa mengungkapkan bahkan untuk sekadar bercerita pada malam yang menemaninya hingga pagi menjelang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN