Part 6 - Senyum Rana

1196 Kata
            Indah dunia dengan segala keagungan yang menyapa, jalanan dengan kendaraan berlalu lalang tanpa sepinya. Rana memamerkan senyum yang selalu dibanggakan untuknya di pagi ini. Dia sudah tidak membantu si Mbah lagi di pasar. Hari pertamanaya bekerja sebagai tukang cuci piring sangatlah menjadikan tumpuan bagi hidupnya agar lebih baik. Sebelum si Mbah pergi berjualan onde-onde. menatap tulus wajah Rana dengan penuh suka, tak ada yang membahagiakan baginya kecuali senyum indah yang dapat membuat cucunya tak kembali mengutuk Tuhannya.             Restoran ayam bakar “Wong Jowo”, sebuah tempat makan terbesar di kawasan Mojokerto, menyediakan berbagai sajian, termasuk ayam sebagai menu utama, dan selain itu tak kalah juga dengan menu “wader” sebagai makanan ikon bumi Majapahit. Tak sedikit para pengunjung yang datang untuk menyantap berbagai jamuan yang siap untuk dicicipi. Sedari tadi Rana berteman dengan piring-piring baru dan juga berbagai peralatan dapur yang siap untuk dicuci, tempatnya di belakang, jauh dari tempat memasak bahkan tempat pesan makanan sekali pun. Rana seorang diri, menggeluti pekerjaan barunya, dengan rasa yang mungkin dirasa lebih baik daripada biasanya. ***             Mata Joko bergerak kesana-kemari, seperti sedang mencari sesuatu yang tak bisa dijumpai, siang yang hampir menyapa Joko terlihat tak seperti biasanya, mulutnya terasa gatal karena tak berceloteh sedikit pun. Menghampiri si Mbah yang bersiap-siap membereskan dagangan karena sudah habis terjual.             “Di mana si juling?”             “Rana yang kau maksud?”             “Ya, siapa lagi”             “Mulai hari ini dia bekerja di restorang wong jowo” Mata Joko menyela ke atas. Seakan dia berpikir sesuatu yang masih sedikit mengganjal di hatinya, lalu dia pun berlalu dari hadapan si Mbah dan membawa dagangannya dengan mengendarai motor secepat kilat, Joko pun tak terlihat. ***             Busa pencuci piring diraih Rana dengan semangat, tak ada yang membuatnya tersenyum selebar hari ini. Bias-bias luka sudah tiada, Rana bekerja dalam harapan yang tak pernah disangka. Menjadi candu dalam rasa yang tak bisa disapa, air dari kran mengalir jernih, membasuh piring yang siap untuk dibersihkan. Ratusan tumpukan barang pecah belah itu tak membuat Rana letih, sedari tadi dia mengerjakan tugasnya sangat baik, bahkan karyawan yang melihat kerjanya merasa heran, dia bisa bekerja lebih cepat daripada tukang cuci piring sebelumnya.             Tempat kerja baru, Rana pun akan mulai beradaptasi dengan lingkungan. Dari kedatangannya tadi pagi hingga waktu istirahat tiba, Rana tak beranjak sedikit pun dari tempatnya bekerja, dia merasa tak tahu apa yang akan dilakukannya jika belum ada lagi piring-piring yang kotor untuk dibersihkannya. Duduk diam tanpa melakukan apa-apa.             “Hai, kau boleh makan” Suara seorang wanita itu membuatnya Rana tak berkutik, dia tetap diam di tempat, pura-pura menyalakan kran dan bermain dengan airnya.             “Hai, pencuci piring!” Rana menoleh dengan segera, wanita yang tak dikenalnya itu pun berdiri dekat dengan dirinya, hanya berjarak sekitar seratus meter saja. Rana tak berani memandang lama, dia hanya menganggukkan kepalanya lalu menunduk.             “Kalau jam istirahat, kau boleh makan satu kali” Rana mengangguk lagi, tanpa berani memandang wujud yang ada di depannya.             “Kenapa kau menunduk? coba lihat aku,” seru wanita itu. Rana kemudian menuruti apa yang dikatakan wanita yang belum dikenalnya, diangkat dagunya dan wanita itu tersentak seperti tengah melihat sesuatu yang menakutkan. Wanita itu menjerit seketika, pegawai lain berlari cepat, Supri datang dengan segera, disusul Roni.             “Ada apa, bu Devi?”             “Tidak, aku hanya kaget saja” Semua mata kini mengarah pada Rana, memandang dengan penuh keseriusan. Sedang Rana berdiri penuh kekakuan, dia takut bila hari ini kembali menjadi mimpi buruk baginya. Wajahnya berubah masam, kaki dan tangannya bergetar seolah kecemasan telah mengalir di setiap peredaran darahnya. Menunduk adalah jurus terbaik Rana, sama sekali dia tak memandang sekumpulan orang yang ada di depannya, Rana mencoba mengumpulkan keberanian, merangkai kata yang tak banyak untuk diucapkan.             “Maafkan saya, saya hanya butuh pekerjaan” Semua orang masih pada posisi yang sama, berdiri tepat di depan Rana. Tak ada yang berubah, bahkan geser sedikit sekali pun. Devi yang paling dekat dengan Rana, wajahnya masih tak berubah, seperti ada guratan kekesalan dalam penglihatannya.             “Siapa yang menerima dia untuk kerja di sini,” tanya Supri.             “Kenapa bisa diterima?” lanjut Roni. Semua kembali terdiam, tidak pernah menyangka ada yang mau menerima pegawai dengan kualifikasi seperti itu, meski tidak good looking, setidaknya agar bisa lebih baik daripada wajah yang ada di depan para pegawai itu. Semua bertanya-tanya siapa yang mempekerjakan wanita yang rupanya tak sesuai standart itu di restoran yang sudah memiliki nama.             “Kamu Juling ya, siapa namamu?” Kata-kata terakhir itu membuat Rana terpaksa kembali mengeluarkan kata-katanya, tetap dalam ketakutan, dia pun membuka mulutnya dengan jawaban terbata-bata.             “Sa...sa..sa...”             “Jawab!” Devi dengan suara kerasnya.             “Ra...Ra..na,” Rana menjawab dengan sangat gugup.             “Saya Rana,” lanjut Rana cepat. Devi, wanita yang bertanggung jawab di restoran. Memiliki hak penuh untuk mengatur apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan, dia berputar mengelilingi Rana, melihat penuh seksama, seperti macan yang siap menerkam, Rana merasa dalam jurang ketakutan yang membara.             “Kamu sebagai tukang cuci piring, jadi gak masalah kalau kamu gak cantik. Aku Devi, penanggung jawab di sini, kamu boleh ambil makanan saat istirahat, gratis ” Setelah menjelaskan, bu Devi pergi meninggalkan Rana. Disusul kedua pegawainya. Rana kembali menikmati kursi dan terdiam, ada sedikit senyum yang menyinari hatinya, setidaknya di lingkungan ini Rana bisa bekerja tanpa harus dicaci maki. Devi yang melihat wajah Rana pun tak banyak berkomentar, semburat ketenangan hadir dicelah-celah pekerjaan yang Rana harapkan.             Berjalan pelan mengambil nasi untuk mengisi perut yang sedari pagi belum terisi apa pun, selain teh hangat buatan si Mbah. Langkah kaki itu sangatlah pelan, seperti maling yang berjalan mengendap agar tidak ketahuan. Rana menundukkan wajahnya ketika para pegawai memperhatikannya.             Berada di depan nasi dan beberapa lauk lainnya, mengambil seperlunya dan segera berlalu dari dapur, menuju tempat cuci piring dengan segera. Tak ada sedikit keberanian untuk menetap dan menatap lebih lama di dapur restoran yang penuh masakan. Rana masih terbungkus dalam rasa yang tak bisa percaya.             “Ambil saja mana yang kau suka,” terang bu Devi. Rana tetap mengandalkan anggukan kepalanya, tanpa mengeluarkan seutas kata sedikit pun. Mengalihkan pandangannya pada lantai putih bersih yang diinjaknya, berlalu lebih cepat dengan diam yang masih tergenggam.             Sepiring nasi dengan sambal wader dan krupuk, Rana duduk menyantap penuh kenikmatan sajian yang telah disediakan gratis tanpa berbayar. Semenit semua lenyap beralih ke perut Rana yang sudah merasa kenyang.             “Siapa yang menerimamu kerja di sini?” Suara Supri melenggang tanpa diduga. Rana tersentak hingga piring yang dipegangnya jatuh ke lantai tanpa sengaja. “Pyaaaarrrr”. Sejenak mata Rana berkaca-kaca, tubuhnya berubah dingin, mulutnya membelam dan hatinya berkatup penuh sembilu. Pandangan Rana terpaku pada Supri, lalu mengalihkan pada pecahan piring yang berserakan.             Sigap dan memungut semua benda putih yang tak bisa disatukan lagi wujudnya. Peluh hadir menghiasi kegundahan yang bersemayam dalam benak Rana, jantungnya seperti berarak dalam jalan nestapa, pikirannya dipenuhi ketakutan-ketakutan yang meyeruak lewat tetasan bola mata yang semakin menggenang.             “Ada apa ini?” Bu Devi hadir segera di tengah-tengah Rana dan Supri, Rana masih saja berkutat dengan pungutan pecahan. Darah menetes, melukai jempol kirinya. Tak dihiraukan. Dia tetap memungut dengan rasa yang tak bisa ditahan.             “Maaf saya tidak sengaja, Bu,” Ucap Rana dengan posisi masih menunduk dan menahan rasa perih pada jarinya.             “Bersihkan semuanya, ambil obat di ruanganku jika itu perlu” Bu Devi berlalu, semua tak seperti dugaan Rana. Tak ada makian yang datang, tak ada hinaan yang keluar. Dia sangat ketakutan bila harus meninggalkan pekerjaan yang baru dijalaninya yang belum genap sehari. Senyum simpul Rana masih menghiasi. Wajahnya kembali berbinar, setidaknya pegawai bisa menerima keberadaannya. Semua lebih dari cukup baginya, bekerja dan mendapat uang.                                                                                                                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN