Part 5 - Secercah Harapan

1215 Kata
    Semburat rasa membungkus luka. Rana tak mau lagi untuk menjajakan kue onde-onde seorang diri. Dia merasa gagal, setelah kemarin tak ada satu pun yang membeli dagangannya, kali ini pikirannya sudah jauh melampaui batas. Segumpal semangat menyelubungi setiap aliran darahnya. Bertekad untuk mencari pekerjaan yang pasti.      Si Mbah awalnya tak yakin dengan keputusan Rana, tapi Rana sudah bulat tanpa bisa dipengaruhi lagi, keras bagai batu. Menyusun kata-kata agar si Mbah memberikan ijin dengan langkah yang diambilnya. Hari ini dia akan berjuang untuk hidupnya, akan tetapi raut wajah si Mbah tak bisa berbohong, ada kekhawatiran yang menyelinap diam.     Matahari terik dengan sinarnya yang membakar kulit, siang jalanan terlihat sangat panas. Rana dengan tumpuan amplop berwarna coklat berjejer di atas meja. Dorongan yang sangat kuat telah bersatu dengan dirinya untuk mencari pekerjaan di tempat lain, batinnya sudah tak kuat setiap pagi harus mendengar nyanyian luka dari mulut Joko.  Telinga terasa panas tanpa harus dibakar api.     Si Mbah menggelar sajadah birunya, menengadah ke langit-langit, memohon tentang sebuah pengharapan, tak lain hanya untuk Rana, agar diterima kerja. Bulir tetes air itu pun menghiasi pipi keriputnya, dia masih saja memohon pada Tuhannya. Suaranya tak terdengar sama sekali, dia berdoa dengan batinnya, air mata hanya sebagai saksi tentang permintaannya. ***      Rana mengendarai sepeda butut, mengayuh sejauh mungkin, melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Sepuluh amplop berisi surat lamaran kerja menghiasi tas punggungnya, dengan penuh harap dia pun mencoba berbagai peruntungan, tes tulis dan wawancara semua diikuti. Sore seiring matahari beranjak pergi, Rana tak dapat hasil sedikit pun, kembali merasakan hati yang padam, keringat membasahi tubuh seolah tiada berguna, letih menghiasi langkah pun tak memberikan senyum untuk dipersembahkan.       “Juling, dari mana kau?” Rana, kembali mendengar suara Joko di persimpangan jalan pulang. Dia tetap memandang lurus langkah yang ditempuhnya, tak merespon sedikit pun. Mengayuh penuh kekuatan. Joko tertawa terbahak-bahak dengan suara lantang masih saja mencibir Rana.        Si Mbah menunggu dalam kecemasan. Ada hasrat terpendam berharap terkabulkan. Duduk seorang diri memandang lantai yang masih tanah hitam, dinding bambu menjadi teman saat berteduh dari hujan dan berlindung dari terik, tiga kursi tua di pojok ruangan, kosong tak ada yang menggunakan, pandangan mata Mbah berpindah pada kamar Rana.     Tanpa diduga Rana berdiri tegak, memandang ke arah dapur lalu tepat sasaran ke mata si Mbah yang duduk  menunggunya. Mata Rana berkaca-kaca, dia tak sanggup membendung rasa yang hinggap di hatinya. Setiap melamar pekerjaan tak pernah berhasil, hanya kekecewaan yang menusuk sukma. Memasuki kamar, dipandangnya cermin yang tertempel di dinding bambu, dilemparkannya gelas di atas meja yang kosong tanpa isi. Rana menangis dalam ketidakmampuan, dia benci dengan tompel dan mata julingnya, dia mearasa paling buruk rupa di dunia. Si Mbah hanya mengintip tanpa melakukan apa-apa, Rana masih dalam luka. ***     Esok harinya, Rana masih setia dengan amplop-amplop berwarna coklat itu, dia akan tetap mencari pekerjaan. Dari pabrik satu ke pabrik lain semua dia geluti berharap Dewi Fortuna akan berpihak kepadanya hari ini. Interview pun dilakoninya, semua pertanyaan dia jawab sebisanya, dengan berbekal ijazah SMP dia tetap berusaha untuk mencoba.     Tak dihiraukan lagi panas menerpa, letih merampak bahkan lapar mengganjal sekali pun, Rana tetap membawa tekadnya untuk mendapatkan pekerjaan, tapi apa daya lagi-lagi kekecewaan harus mampir di benaknya, semua amplop coklat itu sudah habis tersebar, tapi hasilnya Rana masih saja belum mendapatkan apa yang diinginkan.      Kondisi tetap sama, pulang dari berjualan onde-onde, mulut si Mbah tak berhenti berdoa, kembali mengajukan harapan pada Tuhan, duduk bersimpuh, segala isi hatinya dipanjatkan, untuk satu harap yang masih menjadi mimpi bagi hidupnya. ***      Rana tak langsung kembali ke rumah si Mbah, dia ingin sekadar merasakan kesendirian dalam kekecewaan, ditujunya candi Brahu yang tak begitu jauh dari rumahnya, dia duduk termenung, melihat tumpuan batu bata itu yang kokoh.       Candi Brahu dengan gagahnya, berdiri di depan Rana, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 meter dengan lebar 18 meter, dan berketinggian 20 meter. Bangunan yang dilengkapi dengan tumpuan bata menjadi tangga di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1 meter yang mengelilingi tubuh candi, selasar pertama pun dihiasi tangga setinggi sekitar 2 meter menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat lubang semacam pintu pada ketinggian sekitar 2 meter.     Rana masih terdiam, mengingat kembali pelajaran Sejarah tentang Bumi Majapahit saat didapatnya di bangku SMP, teringat bahwa pada abad ke 15 candi ini didirikan oleh Empu Sendok, seorang raja dari Kerajaan Mataram kuno. Dahulu di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno, seperti perhiasan dan benda-benda lain dari emas, alat upacara dari logam, serta arca-arca logam yang cenderung menunjukkan ajaran agama Buddha, hingga masyarakat sekitar banyak yang menyimpulkan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha. Walaupun tak ada satu pun arca Buddha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan hal demikian.     Kembali menguji ingatan, Rana masih paham betul, dulu gurunya pernah menjelaskan dalam prasasti tembaga Alasantan yang terletak tak jauh dari candi, disebutkan kata Warahu atau Wanaru, sebuah bangunan suci yang digunakan dalam acara keagamaan. Dari kata tersebut kemudian penduduk mengaitkan dengan kata Brahu. Sehingga Candi yang berdiri kokoh inilah dikenal dengan sebutan candi Brahu hingga saat ini.     Rana masih termenung, diam dan hanya bisa memandang candi dengan seksama. Pikirannya jauh terbang tanpa terduga. Senja hampir menyapa, sinar keemasan itu segera beranjak ke peraduannya. Rana masih memangku dagunya, diam tanpa melakukan apapun, sampai petugas candi menghampiri. Kawasan candi akan segera ditutup, itu pertanda Rana harus meninggalkan candi Brahu secepatnya. Tapi sebelum menjawab perintah petugas penjaga candi, Rana tak sengaja mengeluarkan air matanya, hatinya memang sedang dilanda kekecewaan yang cukup berarti. Dia tak bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.     “Kenapa menangis? Ayo segera pulang, candi mau ditutup”     “Aku merasa tenang di sini pak, bolehkah aku di sini sampai aku ingin kembali pulang,” Jawab Rana dengan penuh pengharapan.     Bapak penjaga itu duduk di samping Rana, dilihatnya gadis yang menurutnya memang aneh, dia menyembunyikan wajahnya saat diajak bercengkrama dengan Bapak penjaga candi. Saat Rana memperlihatkan wajahnya Bapak itu teramat kaget dengan rupanya. Lalu Rana kembali memalingkan wajahnya.     “Bapak takut dengan wajahku?” Bapak itu hanya diam tanpa menjawab apa pun, Rana masih meneteskan air matanya, serasa tak ada satu pun orang yang mau menerima keberadaannya.      “Kamu mengapa menangis?” Tanya Bapak itu pada Rana.     “Aku hanya ingin bekerja, agar aku dan Mbahku bisa makan, tapi tak ada satu pun orang yang mau mempekerjakan aku”     “Apa kamu mau bekerja sebagai tukang cuci piring?” Rana tersentak, seakan tak percaya dengan apa yang bapak itu katakan padanya. Tanpa ragu Rana pun mengangguk tanda setuju. Tak lama bapak itu mengambil Hp-nya dari dalam saku, menelpon seseorang dan mengatakan bila ada gadis yang mau bekerja sebagai tukang cuci piring. Wajah Rana sumringah, ada sedikit harapan dia akan bekerja.     “Besok datang saja ke Rumah Makan Ayam Bakar Wong Jowo, tempatnya ada di ujung jalan sana, tak jauh dari sini” Rana mengangguk lagi, seperti tak menyangka bila ada orang baik mau membantunya.      “Maaf Pak, saya sudah pasti diterima kerja, kan?”      “Iya tadi ada juragan rumah makan itu sedang mencari tukang cuci piring, katanya gak perlu ijazah, yang penting niat”     Rana tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, dia bahagia melebihi apa pun. Hari ini dia merasa sangat beruntung, tanpa bermodal ijazah sekali pun, kini Rana akan kembali memulai pekerjaan baru, dan yang paling membuat rasa euforia itu membumbung tinggi karena setiap pagi dia tak akan mendengar Joko, berulah dengan mulut sampahnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN