Part 9- Bertepuk Sebelah Tangan

999 Kata
        Hari berlalu indah dengan hadirnya cinta dalam hati. Detik jarum jam yang berputar seolah melekat dalam jiwa yang tengah dilanda asmara. Sejuta rasa menjalar di setiap peredaran darah, membuncah melewati debaran altar. Mabuk kepayang, terampas dalam butir-butir sang pecinta. Rana dalam buaian kata. Dia menikmati pekerjaan dengan sangat antusias. Melihat laki-laki yang dicintai itu dalam kejauhan. Merenda asa yang masih terpendam jauh di lubuk sanubari. Bowo yang diam memandang komputernya terlihat sangat bersahaja. Mata Rana tetap terpaku padanya. Ia tak menyadari bila Roni membawa piring kotor di tempat cucian.             “Kamu suka dia?” Rana tersentak dengan penuh kekhawatiran. Segera mengalihkan pandangannya ke arah Roni sebelum menjatuhkan matanya ke lantai. Keringat dingin membanjiri tubuh Rana. Hatinya bergejolak, menderu dalam ketidakberdayaan.             “Aku tahu kamu suka dengan pak Bowo, kan?. Foto itu kamu sembunyikan dan tidak kamu buang. Aku tahu itu.” Rana tak berkutik. Dia hanya diam. Pikirannya carut-marut seperti tak bisa ditata dengan baik. Dia tak bisa menyembunyikan rasanya. Matanya seolah berkata dengan kenyataan yang ada.             “Pak Bowo bukan levelmu, berkacalah sebelum menaruh hati pada laki-laki” Perkataan Roni seperti guntur yang menyambar begitu dahsyat. Rana terhuyung dalam ronta jiwa yang tak dapat dibendungnya lagi. Dia lari ke sudut ruangan. Matanya berkaca-kaca hingga terpaksa harus dihadirkan di tengah-tengah gejolak yang melangit.             “Rana....Rana....” Rana segera menyeka air matanya, dicarinya sumber suara yang telah memanggil namanya. Bu Devi telah berada tepat di depannya. Rana mengambil posisi dan bersikap dengan sangat sigap.             “Ada yang bisa kubantu, bu?”             “Tolong bersihkan gelas yang pecah di ruangan pak Bowo sekarang” Bu Devi berlalu. Sedikit ada cahaya yang menyelinap dalam batinnya. Dia akan melihat kembali laki-laki yang dipujanya. Segera diambilnya peralatan kebersihan dan melenggang ke arah ruangan pak Bowo. Pintu ruangan sang pemilik restoran itu terbuka. Rana berdiri tegap dengan sapunya. Sebuah pemandangan yang sangat tak ingin dilihatnya. Dia masih tetap diam menatap penuh rasa yang menusuk hatinya. Sakit tapi tak bisa terlihat kasat mata. Khayalan yang dibangun telah sirna.             Dengan sangat cepat Rana membereskan pecahan gelas itu. Sambil menahan hati yang tertusuk duri. Mawar yang harum baunya kini durinya telah melukai jarinya. Rana bergegas meninggalkan ruangan Bowo. Hati yang telah hancur karena sebuah perjumpaan yang tak diharapkan. Kemesraan yang dihadirkan Bowo dan wanita itu mencabik rasa yang telah tumbuh jauh di dasar jiwa. Rana meronta.             “Aku kan sudah bilang, ngaca dulu kalau kau suka pada orang” Gemerutuk suara Roni membuat Rana tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menteskan air yang menggenangi bola matanya.             “Pak Bowo sudah punya calon istri, percuma kau menangis” Roni kembali berlalu dari hadapan Rana. Sekarang apa yang telah dilihatnya tadi adalah cambukan yang sangat menohok baginya. Wanita yang wajahnya tak terlihat oleh Rana telah menyuapi Bowo makanan dengan begitu mesranya. Rana iri bahkan hatinya seperti terbakar api cemburu. Tapi celoteh Roni membuat Rana terasa ingin berjalan mundur. Hanya saja hati tak bisa mudah untuk menerima.             Bayangan wanita yang dilihatnya di ruangan Bowo masih menjadi kegelisahan yang menggebu dalam benak Rana. Dia melakukan pekerjaan tak seperti biasa. Semua terasa begitu berat. Pikirannya hanya tertuju selalu pada kemesraan yang tadi dipertontonkan padanya. Laki-laki yang dikaguminya telah merajut asmara dengan wanita lain. Rana patah hatinya. Menahan air mata agar tak menetes ulang menghiasi pipinya. Jika bola mata itu penuh dia segera menyeka agar tak terjatuh. ***             Puing-puing keindahan cinta seolah berubah menjadi kayu yang dibakar api. Asapnya bertebaran ke penjuru arah. Para karyawan menonton pertunjukan hati yang patah itu dengan senyum penuh hinaan. Roni sang provokator. Membocorkan rahasia hati Rana yang disimpan erat-erat dalam diamnya. Semua orang kini telah tahu bahwa Rana telah jatuh cinta dengan orang yang telah memberinya pekerjaan.             “Kamu ini seperti pungguk yang merindukan bulan, apa bisa bulan bertekuk lutut pada wanita sepertimu” Cibiran Roni mebuat Rana diam. Dia hanya menggeluti piring-piring kotor yang hendak dicucinya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Mulutnya terkunci rapat. Seolah tak ada kunci yang bisa membuka mulutnya.             “Buang saja cintamu, tak akan pernah bisa terwujud. Mana ada majikan menyukai kayawan yang wajahnya buruk seperti kamu”             “Iya, mimpimu terlalu tinggi” Entah dari mana datangnya para penghuni restoran itu. Semua sudah berada di ruang cuci piring dengan membawa piring-piring yang telah digunakan untuk melayani para pengunjung. Kotor penuh dengan sisa makanan.             “Lagian kamu harus tahu dirilah, cinta kok sama yang ganteng dan kaya” Pikiran Rana teraduk-aduk. Bercampur sejuta rasa yang berkelibat dalam hatinya. Semua yang dia dengar itu seperti tamparan keras yang mengenai pipinya. Menusuk tapi tak berdarah. Hanya menggumpal seperti bongkaran daging yang tak bisa mencair. Ketegangan-keteganganya itu menyusuri sarafnya. Dia tak bisa lagi melakukan apa yang menjadi bisikan hatinya. Terdiam dalam bualan nyata. ***             Menunggu senja untuk segera tiba. Rana sedari tadi sudah ingin melenggangkan kakinya dari tempat yang membuat harinya penuh dengan pikiran kacau balau. Melirik ke arah jam dinding yang seolah berjalan begitu lambat. Semua pekerjaan sudah diselesaikannya. Dia hanya tinggal menunggu waktu untuk pergi. Detik suara jarum jam seperti suara detak jantungnya yang berdebar tak terarah. Perasaan yang berkecamuk itu membuat dadanya kian sesak. Penuh dengan rasa yang mencekik perlahan.             Pandangan matanya tak lepas dari jam dinding berwarna abu. Putaran waktu itu memang tak seperti biasa. Terlampau lama. Seperti berjalannya keong yang sangat pelan. Ingin rasanya menjerit keras. Menahan sedikit candu yang tak bisa beradu. Wajah Bowo sekilas berkelibat dalam pandangannya. Sekarang dia tak bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhannya. u*****n dan cibiran teman kerjanya membuat mimpinya seperti arang. Dihancurkan dan tak berarti apa pun. Kembali memandang wajahnya di depan cermin. Berdiri dengan tetap melihat dengan seksama akan dirinya. Merintih, meratap akan pemberian Tuhan yang tak dapat diterimanya. Mata juling dan tompel hitam itu sungguh mengganggu dirinya.             Rana, masih menatap wajahnya dalam-dalam. Semakin dekat wujud yang terlihat semakin sakit pula jeritan pilu yang menggerogoti jiwanya. Dia mengadu dalam diam yang tak bersuara. Dia merenta dalam jerit yang tak terdengar. Dia pun menangis dalam air mata yang hadir tertetes menghiasi gundahnya. Semua menjerat seperti tali pada tubuhnya. Semakin erat semakin sakit. Semakin rasa itu tumbuh untuk mencintai dan mengagumi, dia akan semakin merasa tak berdaya. Semua hanya karena buruk rupa dan juga status ekonomi yang tak bisa mendukung cintanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN