Suara murotal dari surau berbisik merdu ditelinga Lisna. Seolah membelai lembut tubuhnya untuk menyuruhnya bangun dari tidur kelap. Ia mengusap wajahnya lembut, menatap sekeliling, tak ia temukan sosok Danar. Benar saja dugaannya Dia tidak pulang.
"Hm. Baru beberapa hari kau menikahimu mas, sudah begini." Tak terasa ada yg menghangat diujung netra. Dadanya terasa sesak berdesak. Ingin rasanya ia pulang ke rumah orang tuanya. Tapi apa jadinya nanti. Apa kata tetangga yg selama ini sudah menegurnya sebelum ia terima pinangan Danar dulu.
"Hah, apa yg harus aku lakukan sekarang. Apa aku harus berhenti sampai disini. Tapi ini baru dimulai, bahkan aku belum berperang. Tapi? Sanggupkah aku bertahan? Bisakah ku ubah semua ini ke jalan yg benar? Yaa Robb, berikan petunjuk-Mu padaku, kuatkan langkahku. Sekali lagi, jika semua memang tak mungkin, aku menyerah." Bathinnya bergemuruh dalam isakan.
"Aku tak boleh larut dengan keadaan, tak ada yg tak mungkin untuk yg mau berusaha, semoga Tuhan berkehendak." ia usap air mata yg terus saja menetes. Lalu meraih handuk dan membersihkan diri ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia pergi ke mushola. Disanalah ia merasa tenang.
"Lis, kayaknya sendirian tadi ke surau?"
lisna menoleh ke arah sumber suara.
"Hehehe, iya bulek. Mas Danar belum pulang." jawab Lisna tersenyum. Ternyata tante mas Danar yg menyapa.
"Nginep dimana kok nggak pulang?" Bulek Tati menyelidik.
"Kurang tau bulek, dari kemarin siang Lisna pulang kerja udah nggak ada di rumah, sampai tadi pagi belum ada juga." Terang lisna padanya.
"Lha nggak kamu telfon?" Bulek Tati masih ingin tau.
"Nggak punya handphone bulek, sama mas Danar nggak boleh pegang handphone." Jawabnya apa adanya.
"Lha komunikasi itu penting kok malahan nggak boleh pegang handphone itu gimana Danar itu. Nanti bulek tanyain ke Danar ya."
"Nggak usah bulek, ujung-ujungnya nanti Lisna jg yg diomelin. Biarlah seperti ini. Besok kalo udah kekumpul uangnya Lisna beli handphone lagi aja."
"Ya Danar yg beliin geh, gajinya kan banyak, masa iya nggak bisa beliin. Nggak harus yg mahal juga, yg penting kan bisa dipake komunikasi." Bulek Tati terus mengitrogasinya.
"Hehe, yg dipake mas Danar juga handphone Lisna bulek."
"Ealaaah. Trus kamu yg punya nggak boleh pake, gitu?" Bulek Tati nampak terkejut mendengar penjelasan Lisna. Tapi ya memang begitu adanya.
"Ya begitulah bulek." tangannya sibuk melipat mukena dan beranjak untuk keluar surau.
"Mertuamu tau kalo itu handphone kamu?" Tanya bulek Tati lagi.
"Wah, kalo itu kurang tau Lisna bulek. Entah tau entah tidak." Lisna tersenyum getir.
Keluar surau dan duduk di teras surau. Bulek Tati mengikuti Lisna dan duduk di sebelahnya. Setelah menutup pintu surau dan mematikan semua lampu itu pastinya. semburat kuning keemasan tampak sudah mulai mengintip dari ufuk timur, menampakkan cahaya indahnya. menghadirkan hangat yang menyentuh kulit. Angin segar berhembus sepoi menerpa wajah Lisna yang menatap pelataran surau hampa.
"Coba telfon pake nomer bulek Lis, kalo kamu pingin tahu dimana Danar sekarang." tawarnya.
"Nggak perlu bulek, malahan Lisna nggak usah repot-repot bikinin sarapan. Hehehe." jawab Lisna tersenyum.
"Ya jangan begitu, nanti kesannya kamu enggak peduli, dan enggak butuh Danar." Bulek Tati mencoba mencerna keadaan.
Lisna terdiam, sepertinya benar ucapan bulek Tati. Tapi ya memang ia tak membutuhkan mas Danar, ia saja saja terabaikan. Tak perlu mengemis, bukan sifatnya, bathin lisna bermonolog perih.
"Sudah, ayok ke rumah bulek, telfon dulu Danar, siapa tahu ada hal yg membuat Danar nggak bisa pulang semalam." Bulek Tati berdiri dan meraih tangan Lisna.
"ENggak lah bulek, besok saja kalo nanti malam mas Danar belum juga pulang. Biar aku telfon pinjam handphone bulek ya. Sekarang Lisna juga lagi pingin sendiri." Lisna melepas genggaman tangan bulek Tati.
"Apa Danar habis gajian?" Bulek Tati memandang Lisna tajam.
ia menoleh dan menatap bulek Tati. Sejurus mata mereka bertemu pandang. Bulek Tati menaikan satu alisnya menunjukan bahwa ia harus menjawab pertanyaannya.
"Memang begitu ya bulek kalo mas Danar habis gajian?" Tanya Lisna penasaran.
"Hm, jadi bener Danar habis gajian?" Bulek Tati menekankan pertanyaannya.
"Iya bulek." jawab Lisna menunduk.
"Kebiasaan. Orang tua tidak bisa mendidik anak. Harusnya anak sudah berumah tangga biarkan berkembang sendiri. Bulek sudah memikirkan ini dari sejak kalian dulu tunangan Lis. Yg bulek takutkan beneran terjadi." Bulek Tati memegang pundak Lisna dan menepuknya beberapa kali.
"Sabar ya nduk, banyak berdoa, bimbing Danar jadi orang yg baik. Yg salah bukan Danar, tapi orang tuanya yg tidak pas mendidik anak-anaknya. Bulek yakin Danar akan berubah. Asalkan kamu mau menuntunnya ke arah yg benar." Bulek Tati memandang dengan wajah penuh harap. Lisna metatap manik matanya mengembun. Seperti ada sesal dihatinya.
"Yuk pulang, bulek mau masak mentok hari ini. Nanti sarapan tempat bulek ya. Kerja kamu hari ini Lis?" Bulek melangkah pelan.
"Hehe, enak itu bulek udah lama nggak makan daging mentok." Lisna mengikuti langkahnya.
"Ayuk mampir ke rumah." Bulek tati berhenti dan menepuk pundak Lisna lagi.
"Terima kasih bulek, mau siap-siap kerja. Kemarin udah janjian sama temen nanti mau dijemput katanya." jawab Lisna.
"Oogitu, ya sudah bulek pulang dulu ya." Bulek Tati melanjutkan langkah pulang kerumahnya.
"Iya bulek." Jawab Lisna meneruskan langkah ke gubuk lagi.
Ada apa sebenarnya dengan Danar. Kenapa? Ada apa?
_______bersambung