“Dokter…saya ndak sakit, saya sehat wal afiat. Saya bugar…jangan obati saya…” tolak sang ibu membuat Shania menatap sang ibu yang duduk di tepi bed pasien bersamanya.
“Ibu…wajah ibu lebam semua. Itu bibir ibu juga berdarah. Biar gak infeksi, biar di bersihkan saja sama dokter. Shania masih punya uang untuk membayar pengobatan kecil begini, Bu…” pinta sang puteri dengan sorot mata kawatir melihat ibunya yang babak belur.
“Kamu masih banyak kebutuhan kuliah, Nak. Beli buku dan lain-lain…jangan, Nak. Lagian ibu baik-baik saja, kok…” jawab sang ibu dengan cepat.
“Ibu…jangan bandel. Shania gak ada bayar apapun di kampus, Bu. Universitas sudah membiayai semuanya. Dan ini uang saku yang di berikan pihak universitas, masih bersisa banyak, Bu. Ayolaaahhh…jangan buat Shania makin sedih, karena tidak berhasil menjaga ibu…” isak sang putteri.
Siapa sangka suasana haru dengan percakapan sederhana mampu menyentuh hati sang dokter, hingga dia mendekat dan memasang sarung tangannya.
“Sus, tolong bantu ibu ini berbaring, sus..” perintah sang dokter, hingga mengalihkan perhatian ibu dan anak yang masih tolak menolak untuk di obati.
“Gak usah, Dok. Saya sehat…”
“Ibu…jangan sepelein luka kecil karena masih bisa berjalan. Di kawatirkan infeksi. Saya tidak mengobati ibu, saya hanya membantu membersihkan ibu saja. Jangan kawatir, ioni gratis dan fasilitas rumah saki, iya, kan Sus?” Sang dokter menoleh ke arah sang perawat dengan mata berkedip dua kali, lalu sang perawat mengangguk ragu.
“I-iya, Bu. Benar yang di katakan dokter. Ibu mari kita berbaring ke bed sini…”
“Bed sini saja, Sus kalau emang gratis. Yang sana manatau ada pasien baru nanti bisa di pakai. Saya kan sudah bisa duduk. Biar ibu saya yang baring…” jawab Shania lalu dia menuntun sang ibu ke bed dimana tadi dia terbaring.
“Gak masalah, ibunda nya di sebelah saja. Penutupnya bisa di buka begini, kok…” jawab sang dokter dengan sigap membuka bed tirai pembatas antar bed pasien di ruang IGD.
“Gak usah, dok. Bener kata anak saya. Kalau fasilitas gratis jangan merugikan rumah sakit. Biar saya di bed anak saya, kalau memang gratis….” Jawab sang ibunda melunak setelah mendengar kalimat gratis dari sang dokter.
Sang dokter terlihat sedikit bingung karena ada manusia di dunia ini yang sangat mengesampingkan egonya dan tidak serakah. “Ehm,..baiklah, Ibu…” sang dokter akhirnya mengalah dan membersihkan luka sang ibunda dengan sabar.
Setelah melihat lengan pakaian sang ibu berdarah, sang dokter pun memeriksanya. Dan benar, ternyata lengan tua itu robek, sehingga dia menjahitnya dengan beberapa jahitan lalu menutupnya dengan perban.
“Baik, Bu. Masih ada lagi, kah? Yang ibu rasakan pedih di badan ibu? Agar saya bisa memeriksanya?”
“Ahh, enggak ada, Dok…”
“Bagaimana kalau kita rotgen ibu?” Tanya sang dokter, membuat Shania menoleh.
“Ibu saya kenapa, Dok?”
“Ahh! Tidak usah repot-repot, Dok. Saya baik-baik saja…”
Sang dokter menarik nafasnya. “Hmm…saya berfikir untuk melihat kondisi paru ibu. Karena sepertinya ada penyumbatan di paru kalau saya dengar dari nafas ibu, ya?” Jawab sang dokter lagi.
“Lain kali saja, dok. Saya sedang terburu—buru…” jawab sang ibu lagi.
“Bu, rontgen da.da itu kayaknya gak lama lah. Jadi, ibu gak perlu kawatir…”
“Benar, Bu. Gak sampai lima menit. Nanti saya minta ibu di dahulukan kalau memang ibu sedang terburu-buru. Ini juga gratis loh, Bu dari rumah sakit…” jawab sang dokter lagi membuat Shania menoleh ke arah sang dokter dengan ribuan pertanyaan.
“Bu, kata dokter gratis, Bu. Mau…ya? Sekali ini aja, Bu. Shania mohon…biar Shania tenang pass balik ke Jakarta nanti, Bu.” Bujuk sang puteri lagi. “Ibu harus ingat, peserta bea siswa itu gak boleh nilainya turun, Bu. Kalau Shania kepikaran ibu, bagaimana Shania kalau nilainya turun karena gak konsen belajar. Shania akan di keluarkan dari kampus. Ingat, Bu. Masuk Wiyasa University itu adalah bagian dari keajaiban dalam hidup kita…” bujuk sang puteri lagi. Membuat sang ibu menganggukkan kepala pada akhirnya.
“Tapi, benar ini gratis kan, Dok?” Tanya sang ibunda lagi.
“Tentu saja, Ibu. Ini adalah bagian dari program rumah sakit di hari peringatan pendirian rumah sakit. Dan ibu adalah pasien yang beruntung. Jadi, ibu gak boleh melewatakn kesempatan yang gak akan datang kedua kali loh, Bu…” jawab sang dokter tegas. Dan kalimat sang dokter barusan menyadarkan Shania jika yang di katakan dokter mengenai program rumah sakit adalah bohong belaka. Tapi, Shania tidak akan membantah kalimat sang dokter. Dia berfikir masih cukup tabungannya untuk membayar biaya pengobatan sang ibunda.
‘Yang penting ibu sehat. Gak masalah, nanti aku nabung lagi untuk ganti beli laptopnya. Ibu sudah cukup menderita…’
Dan ternyata setelah mendengar kata-kata sang dokter, ibunda Shania pun menerima permintaan sang dokter. Dan menurut untuk di Rontgen.
Terlihat Shania yang baru keluar dari ruang rontgen dan mendorong sang ibunda dengan menggunakan kursi roda ke poli paru sesuai arahan dari petugas lab.
Dan mereka duduk di depan poli paru di antara para pasien yang sedang mengantri untuk berobat jalan.
“Shania…kamu istirahat saja. Kepala kamu masih sakit bukan?” Ucap mba Sumirah membuat Shania meraih tangan mba Sumirah.
“Bude…terimakasih, ya? Sudah peduli sama ibu. Shania yakin selama ini Bude berusaha membantu ibu…”
Belum sempat mba Sumirah, dokter yang tadi mengobati mereka, masuk ke dalam poli paru dan tersenyum pada Shania.
Tak lama kemudian, dia keluar dan mengajak Shania untuk masuk bersama sang ibu.
“Dek, ayo masuk sama ibunda…”
Sang dokter meraih kursi roda fasilitas rumah sakit, karena memang dia melihat tadi langkah kaki ibunda Shania itu pincang, sehingga dia memberikan kursi roda itu.
“Ibu, biar keluarga pasien saja yang masuk…” ucap sang dokter kepada wanita yang bersama mereka tadi. Dan mba Sumirah mengangguk patuh.
“Baik, Dok. “ dia kembali duduk. Dan Shania bersama ibu dan dokter masuk ke dalam poli paru, dimana dokter paru di sana terlihat sedang menatap layar monitor di hadapannya, dan menganalisa hasil rontgen.
“Ibu suka begadang, ya? Ini ada flek di paru, Bu. Jadi, sebaiknya ibu istirahat total dulu, jangan melakukan aktivitas berat. Nanti saya resepkan obat untuk di konsumsi, tapi harus rutin. Di sertai minum air putih yang banyak, ya, Bu….”
“Baik, Dok.”
“Sekarang, ibu menunggu di luar, dulu. Saya akan berdiskusi dengan puteri ibu..” jawab sang dokter dan dokter yang tadi menyarankan mereka untuk Rontgen, langsung mendorong sang ibu keluar. Kejadian itu membuat para pasien yang berada di poli paru terheran dan bertanya-tanya dalam hati.