Wanita yang di panggil Welas itu justru mengalihkan pandangan ke arah sebelahnya. “Pakai punya Narmi saja, Mba. Punya saya bensin nya habis…”. Jawab wanita yang di panggil Welas.
“Loh! Kok jadi punya saya sih, mba Welas. Bantulah bensin. Motor saya rantainya putus…” jawab Narmi dengan mata tajam lalu memilih meninggalkan halaman rumah Shania.
“Coba ke mba Saidah aja, mba bisa kan motornya di pakai?” Tanya Welas.
“Waduh…motor ku loh di pakai anakku. Mana boleh di pinjem…” jawab mba Saidah. “Coba kamu ke bude Tukijah aja…”
“Lo-lo-lo…kok aku to? Wong motor ku di gembok di garasi sama suamiku. Gimana aku bisa pinjamin. Diamin aja tar juga bangun sendiri. Yasudah, ayoo…bubar…” jawab wanita yang di panggil Tukijah.
“Mba…maklum lah…coba ke mba Farida…biasanya motornya stanby. Siapa tahu mba Farida mobil nya di rumah. Dia kan tetangga baru kita. Kayaknya orangnya baik…”
“Tapi, aku segan loh…”
“Coba saja dulu, mba. Daripada Shania kenapa-napa, Mba. Motorku karena belum pulang. Kalau ada aku mau pinjemin, Mba…” jawab Sumirah sembari mengelus pundak mba Nunik ibunda Shania. “Yang sabar, Mba. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan hamba itu sendiri. Mba udah sehat, insha Allah ada keajaiban yang lainn…”
“Aku coba ke mba Farida ya, Dek…”
Ibunda Shania dengan nama lengkap Nunik Prihatsari. Dia terlihat melangkah dengan tertatih, karena kakinya tadi di injak oleh sang penagih hutang.
“Mba…Mba Farida…” panggil sang ibunda Shania dengan suara menggigil. “Mbaa…mba Farida…” panggilnya lagi.
“Iya, Mba Nunik. Monggo masuk…” jawab mba Farida dengan ramah. Farida memiliki rumah paling bagus di antara lingkungan itu. Rumahnya sangat mewah untuk ukuran pedesaan. Rumah dengan dua lantai itu di beri pagar keliling hingga terlihat semakin kokoh terlihat dari luar. Tapi teryata pagar kokoh itu tidak membuat penghuni di dalamnya menjadi sombong. Meski menjadi orang paling kaya, meskipun pendatang baru. Farida terkenal tidak sombong, dan tidak pelit pada tetangga. Bisnisnya dikampung itu lumayan maju.
“Mbak Nunik kenapa?” Tanyanya dengan mata membesar karena terkejut.
“Emm…anu, Mba..hehe…” Nunik menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Kenapa mba? Ada perlu apa?”
“Gini, Mba. Shania baru pulang, dan dia pingsan. Boleh gak yah, kalau misalnya pinjem motor biar di pakai Sumirah antar Shania ke rumah sakit?” Tanya sang bunda Shania dengan ragu.
“Ohh, gitu. Yasudah, biar di antarkan saja. Kalau cuma mengantar tidak masalah. Kebetulan mobil pick up kami mau berangkat jemput beras di kota. Bisa sekalian, to?” Tanya mba Farida. Dan seketika ibunda Shania melonjak kegirangan.
“Terimakasih, Mba. Terimakasih. Semoga Allah membalas kebaikannya…”
“Sama-sama, Mba. Ayo…bersiap biar langsung. Nanti saya bilang ke sopir saya…” jawab Farida lalu berjalan ke belakang dan berteriak.
“Udin…kamu jalan sekarang aja. Sekalian bawa Bu Nunik sama Shania ke rumah sakit sekarang…” perintah Farida yang terdengar langsung oleh ibunda Shania. Seketika dia mengulas senyum di bibir jontornya.
Farida kembali ke depan setelah singgah ke kamar sejenak.
“Mba, silahkan bersiap-siap, Udin manasin mobil sebentar. Nanti langsung ke rumah sampean…”
“Terimakasih banyak mba Farida, maafin saya merepotkan. Semoga Allah membalas kebaikan mba Farida Nurhayati, ya?” Ucap Nunik Prihatsari dengan suara menggigil terharu.
“Jangan begitu, Mba. Sesama tetangga harus saling tolong menolong, dan itukan kebetulan sejalan saja….” Farida tersenyum dengan manis.
“Mba, saya pamit, ya?”
“Mba Nunik…” panggil Farida, membuat ibunda Shania menoleh.
“Iya, Mba…”
“Ini mba, pakai saja untuk tambah-tambah. Gak seberapa…” mba Farida menyelipkan amplop di tangan ibunda Shania.
“Ya Allah, Mba. Terimakasih banyak, Mba. Saya gak bisa membalas kebaikan mba Farida. Saya serahkan kepada Allah saja, ya, Mba…”
“Sudah…sudah. Silahkan urusin dulu, Shania itu…” jawab Mba Farida lagi.
“Baik, Mba.. terimakasih. Saya permisi…”
Ibunda Shania dengan senyum haru dia berlari, meski tubuhnya terasa ngilu. Alangkah bahagianya dia mendapatkan bantuan dari tetangga kaya nya itu.
Sesampainya di rumah, terlihat Sumirah seedang memijit-mijit Shania yang sudah dia bawa ke atas kursi.
“Dek, Mba Farida kasih tebengan mobil pick up nya. Dan boleh ke rumah sakit…Alhamdulillah…”
“Alhamdulillah, Mba. Pertolongan Allah itu nyata…”
“Iya, Dek. Mba tadi sudah buntu. Terimakasih sudah menjaga Shania ya?”
“Ayo, mba saya bantu bawa Shania. Itu mobil sudah datang suaranya di depan…” dan tak lama terdengar suara klakson mobil pick up yang biasa di buat untuk membawa beras milik ibu Farida.
“Kamu ndak usah ikut. Merepotkans aja, Dek…”
“Gak masalah, Mba. Justru mba yang harus istirahat…”
“Gak bisa, anak saya dalam bahaya…”
Mereka segera menuju rumah sakit, dan dokter segera membantu Shania. Dengan memberikan perban di kepala dan infus karena memang tubuhnya melemah. Hingga akhirnya Shania tersadar.
“Ahh!” Keluhnya sembari memegangi kepala yang terasa ngilu. “Aku dimana ini?” Shania memicingkan matanya sejenak, lalu teringat olehnya kejadian tadi. Seketika dia menatap sekeliling.
“Kok rumah sakit?”
“Shania, kamu sudah siuman, Nak?”
“Ibu, ngapain kita ke rumah sakit?” Tanya Shania dengan dahi berkerut, lalu menatap wajah lebam sang ibu. Shania melepas infusnya dengan berurai air mata. “Ibu! Yang seharusnya di rawat itu ibu, bukan Shania! Shania baik-baik saja, Bu!”
Suara Shanai yang lumayan kuat membuat pasien lain menoleh ke arahnya. Shania tak perduli, dia bangun dari tidurnya. Meski kepalanya terasa sakit yang luar biasa, tapi dia tetap bangun dan meraih tangan ibunya. “Ibuu…sudah, Bu. Jangan lakukan apapun lagi untuk Shania. Biar Shania urus diri Shania sendiri. Ibu sudah sangat menderita selama ini…” seketika sang ibu memeluk Shania dengan erat.
“Ibu menerima takdir ibu, Nak. Ibu sangat bersyukur memiliki kamu dalam hidup ibu. Kamu itu adalah penyemangat ibu dan bapak…” jawab sang ibu dengan derai air mata. Lalu dokter mendekat ke arah mereka, dan membuka tirai yang tertutup sedikit.
“Bagaimana keadaanya, Dek? Apakah masih pusing-pusing?” Tanya dokter dengan sabar. “Kalau masih terasa pusing, sebaiknya kita lakukan MRI. Agar tahu apakah ada hal lain yang terjadi atau bagaimana…” imbuh sang dokter lagi.
“Tidak, Dok. Saya sudah sembuh. Sudah sehat…saya mau pulang sekarang….” Jawab Shania dengan penuh kebohongan, dan sepertinya sang dokter mengetahuinya.
“Gak masalah, mungkin pengaruh obat, bisa jadi. Tapi, sebaiknya adek ini istirahat di sini dulu sebentar. Biarkan sampai infusnya habis. Loh…kok infusnya di lepas?” Tanya sang dokter lagi.
“Aduh, Dok. Masih banyak yang lebih sakit dari saya, Dok. Saya tidak masalah. Jadi, abaikan saja…” jawab Shania lagi. “Ibu mau berobat?” Tanya Shania berbisik pada sang ibu.
“Iya, Sebaiknya ibunda nya juga di obati. Mari sini, saya periksa ibu…” lalu dia menoleh ke arah sang perawat. “Sus…tolong bantu saya membersihkan luka ibu ini…”
“Baik, Dok…” jawab sang perawat lalu membawa peralatan medis dalam nampan di tangannya.