Kabar Buruk

1130 Kata
Setelah lima belas menit, Shania dengan wajah lesu menatap sang dokter dengan suara bergetar dia berkata. “Dok, tapi, ibu saya ini masih bisa di obatin, kan? Masih bisa sembuh kan ibu saya, Dok?” “Hmm…intinya, kita harus segera melakukan pemeriksaan menyeluruh terlebih dahulu. Setelah itu baru menyimpulkan. Tapi, kalau di lihat dari banyaknya flek. Seharusnya itu masih memiliki persentase yang tinggi, bisa jadi di atas enam puluh…” “Hanya enam puluh persen, Dok?” “Itu sebabnya, kita tidak bisa bersantai. Dan harus segera lakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Agar mendapat pengobatan yang tepat.” Tegas sang dokter. “Terutama, si Ibu jangan biarkan begadang terus. Dan harus di banyakin istirahat…” “Baik, Dok…” “Seminggu lagi paling lama harus kontrol ulang ke sini, kita akan cek secara menyeluruh…” Shania tertunduk lemas, mendengar penjelasan sang dokter sejak lima belas menit yang lalu. “Baik, Dok…” “Semoga mendapatkan keajaiban, ya?” “Terimakasih, Dok…” shania berdiri dengan kaki gemetar. Lallu dia meninggalkan sang dokter yang terus menatapnya, hingga pintu tertutup. “Bu, ayo kita pulang…” ucap Shania setelah menarik nafasnya dan menahan gumpalan awan yang menumpuk dan akan menghasilkan air bah. “Sudah, selesai. Baik…” ucap sang dokter yang tadi ada di UGD. “Terimakasih, Dok. Sudah menyarankan ibu saya periksa. Alhamdulillah…ibu saya akan mendapatkan pengobatan yang terbaik…” ucap shania menatap ke arah sang dokter. “Baik, Semoga lekas sembuh untuk ibunda dan adek nya…” “Terimakasih, Dokter…” jawab sang ibunda. Sedangkan Shania terdiam seribu bahasa sembari melangkah mengiringi mba Sumirah yang mendorong kursi roda itu menuju lantai dasar. Sedangkan dokter yang tadi di UGD saat ini justru masuk ke dalam ruang praktek dokter paru. Dan setelah sepuluh menit, dirinya terlihat keluar dari ruang praktek rekan sejawatnya. “Makasih, Dok…” “Siip, Dok…” Sementara di sebuah counter farmasi, Shania tengah antri menebus obat, “Semua tagihan sudah lunas, ya, Dek. Ini obatnya…” ucap sang petugas farmasi. “Loh! Kok lunas, Sus? Saya belum bayar loh.” “Ehm…ini…sepertinya…” sang petugas farmasi menggaruk kepalanya. “Ini masuk ke dalam promosi rumah sakit, dan dokter Adnan yang merekomendasikan tadi…baik, saya akan menjelaskan mengenai pengunaan obat yang sudah di resepkan, ya?” Ucap sang petugas Farmasi itu membuat Shania terdiam seketika. Lamunannya terbang melayang, hingga yang terdengar hanyalah kalimat terkahir sang petugas farmasi. “Ini, obat anti nyerinya, di saat merasakan nyeri saja, tiga kali sehari dan di hentikan jika nyeri sudah menghilang.” “Ohh..baik, Sus. Terimakasih…” jawab Shania yang tak menyangka akan ada keajaiban yang dia alami. Setelah menerima plastik berisi obat-obatan dirinya dan sang ibu, Shania kembali meninggalkan ruang farmasi dan menuju dimana ibunda nya berdiri. Dia melihat dokter yang tadi membantunya, lalu dia memanggil sang dokter. “Dok!” Dokter itu menoleh dan tersenyum. Shania mendekat. “Saya tahu, tidak ada program gratis di rumah sakit, ini selain menggunakan jaminan dari pemerintah. Dokter membayar semua biaya pengobatan kami, bukan?” “Hah? Siapa bilang gak ada? Ada kok…” jawab sang dokter sembari menggaruk kepalanya. “Dokter gak usah bohong. Saya ini mahasiswi fakultas hukum loh. Saya tahu dengan pasti, bahwa dokter lah yang membayar semuanya karena dokter tahu kami tidak mampu, benar bukan, Dok?” Tanya Shania lagi dengan sorot mata tajam yang sembab. “Ehmm…sebenarnya begini, kebetulan saya berulang tahun hari ini. Dan saya bingung mau alihin kemana budget ulang tahun saya, karena saya biasanya kan having fun sama teman-teman. Kebetulan saya harus jaga dan gak bisa di gantikan. Jadi, ya…gitu…” jawabnya dengan salah tingkah. “Ehmm…baiklah. Boleh saya minta kartu nama dokter?” Tanya shania tiba-tiba, membuat sang dokter bingung. “Kartu nama ya?” Dia merogoh dompet dalam saku celananya. “Iya, Dok…” “Sisa ini, sih. Karena saya sudah lama gak buat kartu nama, lagian bakalan berubah juga. Jadi, ini yang tersisa…” sang dokter terlihat ragu melihat kartu nama yang sedikit lusuh. “Emang kenapa harus pakai kartu nama, dek…” Dengan cepat Shania merebut kartu nama itu dari tangan sang dokter. “Ini saya simpan, ya, Dok.” Tegas Shania lagi dengan seulas senyum di wajah sembabnya. “Untuk?” Sang dokter heran. “Karena saya tidak suka dengan hal yang gratis. Terlebih ini untuk kesehatan saya. Maka saya berjanji akan membayar semuanya suatu saat nanti. Jadi, dokter tunggu saja…” “Ehh…kok di bayar sih? Gak usah. Saya udah ikhlas loh. Saya mau jadi pahala, bukan bisnis…” jawab sang dokter dengan bijak. “Sudah, kalau dokter mau berbagi, lain kali saya terima. Karena tujuan kami di sini adalah berobat. Dan dokter juga tujuannya bekerja, bukan membayarin setiap pasien. Maka saya putuskan akan mengganti yang sudah dokter bayar hari ini. Terimakasih sudah menjadi malaikat bagi kami hari ini. Semoga dokter selalu di berikan kesehatan dan kesuksesan…saya permisi, Dok…” jawab Shania dengan terburu-buru karena sang ibu sudah menunggunya. “Dek! Tunggu…” ucap snag dokter lagi. Shania menoleh. “Iya, Dok?” Shania menatap ke arah sang dokter. “Ada yang bisa di bantu, Dok?” Shania menunggu jawaban sang dokter dengan wajah menggemaskan. Membuat snag dokter mengulas senyum. “Boleh tau, namanya siapa?” Shania menunjuk dirinya sendiri. “Saya, Dok?” Sang dokter mengangguk tegas. “Iya.” “Shania, Dok…” Shania melempar senyum manis ke arah sang dokter. “Lekas sembuh, Shania…salam buat Ibunda, ya? Jangan lupa bawa ibu kontrol seminggu lagi…” ucap sang dokter lagi membuat Shania menatap ke wajah tampan sang dokter. “Terimakasih, Dok. Insha Allah, ibu saya pasti sembuh, bagaimana pun caranya. Saya akan berusaha untuk itu. Terimakasih, Dok atas perjuangannya menolong kami…” Sang dokter tersenyum, lalu dia di panggil oleh perawat. “Dok…pasien bed lima, cardiac arrest!” Seketika sang dokter berpaling dan berlari dengan cepat menuju ke dalam ruang IGD. Tanpa berpamitan sepatah kata pun pada Shania. Membuat Shania tersenyum melihat kesigapan sang dokter. “Sehat selalu dokter Adnan Banyu Gumilar…semoga Allah mempermudah semua yang kamu kerjakan…” Shania kembali melangkahkan kakinya menuju sang ibu berada. “Bu, kita pakai ojek aja, ya?” “Mending pakai becakk saja, Shania. Wong pakai ojek lebih mahal…” “Ohh, iya, boleh Bude. Kita pakai becak…” “Mereka berdiri menunggu becak sehingga bisa langsung angkut bertiga. Selang beberapa menit menunggu. Becak akhirnya melintas di hadapan mereka. Dan mereka segera menaiki becak. Sesampainya di ruman, Sumirah membantu Shania merapikan rumah, setelah Shania memotret keadaan rumahnya dan merekam dengan video. “Bude, nanti Shania mau ngobrol sama Bude boleh?” Bisik Shania karena mengetahui sang ibu berada di kamar untuk tidur, karena mengantuk setelah meminum obat yang di resepkan sang dokter. “Yasudah. Kalau ibumu sudah benar-benar tidur, ya? Bude pulang dulu, nanti kalau kamu butuh, kerumah Bude saja…” Shania mengangguk perlahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN