Sebulan yang lalu…
”Bal, sorry aku gak ngabari, katena emang dadakan banget. Hari ini aku pulang ke kampung halamanku, jenguk ibuku, ya? Maaf, gak bisa temenin kamu nyari kado buat mama kamu…”
Sebuah pesan singkat yang di kirim oleh Andara Shania Maheswari kepada pria yang menjadi teman dekatnya selama setahun belakangan. Setelah pesan terkirim, dia mematikan ponselnya dengan cepat lalu memasukkan ke dalam tas.
Shania bergegas menuruni bus yang membawanya dari kota Jakarta menuju kampung halamannya, karena sudah seminggu sang ibu tidak bisa dihubungi. Karena kawatir, dia memutuskan untuk tidak masuk kuliah dan kembali ke kampung halaman.
Baru saja kaki jenjangnya menuruni bus dan melangkah menuju rumahnya, terdengar olehnya suara teriakan pria yang begitu menggelegar di arah rumahnya. Rasa penasarannya kian bertambah, manakala melihat beberapa tetangganya berkumpul dan melihat ke arah rumahnya yang reot.
Karena rasa penasaran yang semakin tinggi, Shania mempercepat langkahnya dan memasuki halaman rumahnya, seketika para tetangga berbisik-bisik.
“Kalau dalam kurun waktu satu bulan, kalian tidak bisa melunasi hutang kalian kepada tuan kami. Maka bersiap anak kalian yang akan menggantikan bunga hutang yang telah kalian pinjam!”
“Apa maksudnya, Nak?”
“Anak kalian harus menikah dengan pak Halim! Agar pak Halim tidak murka kepada kalian, paham?!!” Teriaknya sembari menendang meja yang ada di ruang tamu itu.
“Apa-apa’an ini?!!” Teriak Shania sembari berkacak pinggang menatap ke arah pria berbadan tinggi besar dengan tatto penuh di lengan hingga ke leher.
Mereka menoleh sejenak, lalu terawa terbahak-bahak. “Nah! Ini dia calon mempelai wanitanya. Heii…nona…persiapkan dirimu untuk menikah dengan tuan kami…”
“Apa maksud kalian dengan pernikahan? Tuan siapa yang kalian maksud?!” Sontak kedua bola mata Shania terbuka lebar dengan tangan masih di pinggang. “Tuan Halim?”
“Nak…sudah, kamu masuk saja ke dalam, kamu lelah bukan?”
“Ibu’, Shania berhak tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya…” tegas Shania dan berdiri mendekat lalu mengalihkan pandangan ke arah pria-pria berbadan tinggi besar dengan aksi anarkis di rumahnya. “Ada apa dengan kalian? Mengapa kalian merusak rumah ibu saya? Kalian bisa saya tuntut!” Shania merasa percaya diri karena dirinya telah belajar di ilmu hukum salah satu kampus terpopuler di Indonesia.
Mendengar kalimat gadis cantik itu, seketika para pria itu tertawa terkekeh.
“Kamu mau menuntut kami?” Tanya pria itu lalu menendang meja yang ada di ruang tamu itu hingga patah, membuat sang ibu dan juga Shania terkejut melihatnya. “Jangan banyak bacot, kamu! Siapkan saja uang empat ratus juta hutang ibu kamu dalam waktu satu bulan ini. Jika tidak, maka bersiap kamu menjadi istri pak Halim yang ke dua belas…”
“Apah?! Empat ratus juta? Bagaimana jalannya hutang ibu saya menjadi emat ratus juta? Ibu saya meminjam hanya seratus lima puluh juta, dan itupun kami selalu mencicil setiap bulan. Kenapa menjadi empat ratus juta. Jangan ngarang kalian?!” Geram Shania lagi karena semua di nilai tidak logika.
“Kamu lupa, uang itu kapan janji kalian melunasi? Tapi, sampai sekarang kalian tidak melunasi…”
“Kami membayar cicilan setiap bulan. Lantas kalian tidak menganggap cicilan kami setiap bulan sebagai penurangan pokok? Apa-apa’an kalian?!” Geram Shania lagi.
“Yang kalian cicil itu masih bunga. Dan bunga bertambah setiap hari. Sekarang kalian menunggak dari waktu yang kalian janjikan setahun. Ini sudah dua tahun. Maka wajar jika sudah menjadi dua kali lipat. Jadi, kenapa harus heran?”
“Apa? Kami selama setahun ini hanya mencicil bunga? Pak Halim sendiri yang mengizinkan kami mencicil. Beliau yang mengatakan pada saya langsung!” Seru Shania merasa tidak terima dengan apa yang di katakan kedua pria yang lebih pantas di sebut preman.
“Apakah ada hitam di atas putihnya, mengenai pernyataan pak Halim? Apakah sudah tertulis dan di tanda tangani pak Halim? Tidak, bukan? Sedangkan perjanjian kalian sudah tertulis!” Hardik pria itu lagi. “Makanya kalau tidak punya uang, jangan memaksa untuk berobat. Kalau mau mati ya biarkan saja mati. Ngapain hidup kalau menyusahkan?!” Imbuhnya membuat Shania maju dan menampar bibir pria itu dengan keras.
“Jaga mulut kalian, ya?!”
Karena terkejut, pria itu terdiam sejenak. Lalu dengan secepat kilat dia menghantam Shania, hingga kepalanya membentur ke dinding.
“Akh!!” Rintih Shania, seketika pelipisnya berdasar. Dan dia jatuh pingsan. Membuat ibundanya berteriak histeris.
“Hentikan Tuan!! Jangan sakiti anak saya. Apakah kalian tidak cukup dengan memukul saya dan suami saya? Kami sudah berusaha selama ini untuk menepati janji kami membayar hutang. Tapi, rumah ini pun belum juga laku di jual. Andaipun laku, harganya sangat murah. Saya mohon…jangan sakiti anak saya…” wanita tua itu bersimpuh di hadapan pria bertubuh tinggi besar penuh tatto itu dengan deraian air mata.
“Ajari itu anak gadis kamu untuk belajar sopan santun. Saya tidak terima dia berlaku keras kepada kami, padahal kalian itu salah! Kali ini kami akan mengabulkan permohonan kamu! Tapi, tidak lain kali. Satu bulan adalah waktu yang di berikan kepada kalian untuk mendapatkan hutang. Dan kami akan terus mendatangi kalian secara berkala, agar kalian selalu ingat. Jika dalam waktu satu bulan, kalian tidak membayar hutang itu. Maka pembayar hutang kalian adalah anak gadis kalian, paham?!!”
Sang ibu tak bisa berkata-kata. Dia mendekat ke arah sang puteri yang tergeletak tak sadaran diri. “Shania…Shaniaa…bangun nak…kamu berdarah…”
Lalu wania tua itu menengadahkan wajahnya. “Anak saya pingsan. Saya mohon bantu dia bawa ke rumah sakit…”
“Kamu ingin meminta bantuan lagi? Lunasi dulu hutang kalian baru berhutang lagi. Jangan mudah mencari hutang dan susah untuk membayarnya….” Ejek pria itu lalu menoleh ke arah yang lain. “Ayoo…kita melapor ke pak Halim…”
“Saya mohon, tolong kali ini bantu antar anak saya ke rumah sakit. Ikut dengan mobil kalian. Sepeda motor kami sudah di jual untuk mencicil hutang…bukankah kalian melintas ke rumah sakit?”
“Sudah! Sudah! Abaikan saja. Pak Halim sudah menunggu kita…” ajak yang lain dan memilih pergi meninggalkan rumah reot milik orang tua Shania.
Sementara ibunda Shania terus memberi minyak kayu putih pada Shania, namun tak kunjung sadar. Hingga membuatnya keluar rumah, karena dia tahu tetangga rumah mereka pasti sedang berkumpul di halaman rumah untuk menyaksikan apa yang terjadi dengannya, seperti biasa.
“Dek…ada yang bisa antar Shania gak ya? Dia pingsan…” tanya sang ibu lagi dengan bibir yang juga berdarah karena di pukul oleh pria itu sebelum sang puteri sampai ke rumah, dengan wajah yang lebam dan mata membiru.
“Ya Allah, Mba. Kenapa mereka kejam banget, sampai Shania juga di aniaya…yang sabar ya,, Mba…” ucap sang tetangga yang tentu saja tidak berani ikut campur karena sudah mengenal para anak buah pak Halim yang terkenal bengis.
“Dek, boleh mba minta tolong, anter Shania ke rumah sakit. Dia gak sadar juga soalnya…mba takut kenapa-napa…”
“Motor di rumah lagi di pakai, Mba. Punya mba Welas coba…” dia menoleh ke arah tetangga yang di panggil Welas.
“Mba Welas, boleh pinjem motornya anter Shania?” Iba sang ibunda Shania menatap kearah tetangganya.