Anak Baik

1067 Kata
Malam itu, suasana di pedesaan mulai sepi. Hanya suara jangkrik yang mulai mengerik memecahkan keheningan malam. Di tambah sahutan kodok di rawa-rawa belakang rumah milik oang tua Shania. Melihat sang ibunda tertidur pulas, Shania menarik selimut dan menutupi tubuh ibunya. Dia duduk di tepi ranjang sembari bergumam. “Ya Allah, Bu. Kapan Shania bisa membahagiakan ibu. Jangan sampai Shania menyesal karena melihat ibu tua dalam keadaan susah. Shania sengaja nekat kuliah begini, demi bisa mengangkat derajat keluarga kita. Demi bisa membahagiakanibu. Maaf, jika malam ini Shania harus mencari tahu semua keadaan sesungguhnya melalui Bude Sumirah. Shania gak mau nantinya menyesal karena tidak melakukan apapun…” bisiknya perlahan lalu mengecup pipi sang ibu yang keriput dan lebam. Shania mengusap air matanya dan langsung beranjak meninggalkan kamar sang ibunda, menuju ke rumah bude Sumirah yang berada tepat di samping rumah sang ibunda, hanya berbatas bunga pagar khas perkampungan. “Assalamu’alakum, Bude…” panggil Shania sembari mengetuk pintu sang tetangga ibunda-nya. “Bude…ini Shania…bude udah tidur?” Imbuhnya lagi sembari terus berdiri meski kepalanya terasa sedikit masih senut-senut. “Shania…kamu, toh…” wanita berusia hampir lima puluh tahunan itu membuka pintu dengan pakaian daster yang sudah membalut tubuhnya. Terlihat wajah lelahnya, membuat Shania merasa tidak enak. “Bude, kalau sudah ngantuk besok saja, gimana? Shania juga mau tidur…” Shania mencoba untuk tidak mengganggu waktu istirahat informan-nya. “Ahh! Enggak-enggak. Hayuk…kalau kamu mau cerita sama bude…” wanita itu terlihat menutup pintu rumah papannya dan mengajak Shania menuju rumahnya. “Kita di rumah kamu saja. Takutnya ibu kamu bangun dan kecarian kamu. Lagian di rumah kamu halamannya lebih luas, kita bisa duduk di kursi depan, tempat kami biasa berkumpul sore hari…” Bude Sumirah tampak berjalan sembari menunjuk kursi-kursi kayu alakadarnya yang ada di halaman rumah miliknya. “Gimana kuliah kamu, Shania?” Bude Sumirah membuka percakapan manakala mereka baru saja duduk di antara kursi-kursi kayu itu. “Alhamdulillah, Bude. Kuliah Shania lancar. Bea siswa juga lancar setiap bulannya, jadi Shania gak perlu merusuhin ibu di kampung. Kalau ada lebih-lebih, seperti biasa Shania kirim ke ibu…” jawab Shania dengan tenang. Bude Sumirah mengusap rambut Shania dengan lembut. “Anak pinter. Semoga kelak kamu bisa membawa ibu dan ayahmu ke arah yang terang dan penuh kebahagiaan, ya, Nak…” isaknya, dan itu terlihat tulus, sehingga mau tidak mau Shania juga meneteskan air mata. “Makasih, Bude, Atas doanya. Insha Allah, niat Shania kuliah dengan bea siswa ini memang biar bisa membuat ibu dan ayah menuju kehidupan yang lebih baik. Shania akan mengeluarkan ibu dan ayah dari garis kemiskinan….” Di akhir kalimatnya, Shania memeluk bude Sumirah “Anak baik, Insha Allah akan di kabulkan. Kamu akan menjadi orang sukses…” jawab wanita paruh baya itu. “Oh, ya, Bude. Kenapa ayah kok belum pulang, ya? Udah malam ini….” Shania melirik jam di pergelangan tangannya. “Ayah kamu mah pulang sampai rumah biasanya jam sebelas malam atau dua belas malam. Ya mau bagaimanalah. Namanya juga usaha, biar bagaimana kamu gak sampai nikah sama si bangkotan itu…” Kalimat bude Sumirah sungguh sangat menarik perhatian Shania. “Maksudnya apa, Bude? Siapa yang akan menikah dengan pria bangkotan? Saya?” Shania menunjuk dirinya tak memahami maksudnya. “Aduh…gimana, ya? Bude jadi serba salah di sini. Kalau bude diem-diem aja terus, kasihan ibu ayah kamu selalu kena siksa kaya tadi sama preman-preman anak buah pak Halim. Kan kta harus mencari solusi. Siapa tahu Shania yang udah merantau sampai Jakarta jadi paham gitu. Kalau kami yang di kampung ini bisa apa, atuh? Cuma bisa pasrah….” “Bude…coba bantu ceritakan detail tentang permasalahan ibu dan ayah dengan pak Halim sebenarnya. Karena beberapa waktu lalu pak Halim berjanji bahwa hutang yang di pakai buat pengobatan ibu akan di cicil. Tapi, kenapa kok kesannya ada penyiksaan secara berkala begini, maksudnya gimana, Bude?” Sorot mata Shania memohon ke arah tetangga dekat ibunya. “Kalau Shania minta ibu bercerita, itu tidak akan mungkin, Bude. Ibu gak akan cerita, ibu takut Shania bakalan kepikiran dan ganggu belajar Shania. Tapi, justru dengan keadaan begini, Shania akan semakin penasaran jika gak tahu kebenarannya…” ucap Shania lagi. “Iya, benar, kamu mah.” Bude Sumirah terlihat menggaruk kepalanya tiba-tiba. “Makanya, ayo bude, bantu ceritain yang bude tahu tentang hutang ibu dan rahasia pernikahan apa maksudnya?” Rasa penasaran Shania akhirnya mengetuk hati bude Sumirah untuk bercerita. “Jadi, dulu…ibu kamu yang hutang sama pak Halim itu, kan perjanjiannya dii bayar paling lama setahun sudah lunas. Dan ternyata sampai sekarang belum lunas. Jadi, ternyata. Meski ada perjanjian setahun harus lunas. Dalam kurun waktu satu tahun itu, pak Halim itu sudah memberikan beban bunga kepada hutang ibu kamu. Dan yang selama ini di bayar ibu kamu itu adalah bagian dari bunga…” bude Sumirah menjeda kalimatnya karena dadanya merasa sesak. “Trus, Bude?” Shania semakin penasaran. “Ibu kamu sudah mencoba menjual rumah ini, sejak tahu bahwa yang di bayar iitu cuma bunga bukan pengurangan dari pokok. Tapi, namanya di kampung. Rumah kayak rumah ibu kamu ini laku berapalah? Dan sekarang itu jadi total hutang ibu kamu itu semua empat ratus juta. Dan baru-baru ini, pak Halim membuat sat keputusan, jika dalam satu bulan, kalian tidak membayar hutangnya, maka kamu bakalan menjadi istri pak Halim. Kamu tahu kan, pak Halim adalah pria yang kejam banget. Jadi, ayah kamu itu berjuang keras dengan kerja sampai tengah malam demi mengumpulkan uang. Tap, namanya empat ratus juta untuk jadi kuli mana akan dapat dalam sebulan, Shania…” bude Sumirah tak kuasa melanjutkan kalimatnya, hingga diia menjeda sejenak. “Empat ratus juta dalam sebulan?” Shania mengulang kalimat sang tetangga sebelah dengan bergumam. “Ho’oh, bener. Keajaiban mana coba, yang bisa menghasilkan empat ratus juta dalam sebulan?” Enggak akan ada…” jawab bude Sumirah dengan pasti. “Kecuali ada milyader yang mau kasih uang cuma-cuma…” gumamnya lagi. “Empat ratus juta…” ulang Shania dengan sorot mata kosong, seketika kepalanya semakin mendenyut. “Tapi, kalau bisa kamu bicara dan menego dengan pak Halim, kamu boleh mencobanya Shania. Siapa tahu pak Halim bersedia hanya di ganti dengan rumah kamu ini. Kan tanahnya cukup luas, kalau di jual mah seratur lima puluh juga masih laku-lah. Kan segitu total hutang awal ibu kamu. Sementara ngontrak gak masalah, tempat bu Farida itu ada di belakangnya. Lebih tenang, daripada bertahan dengan rumah tapi malah di siksa terus. Dua malam sekali begini. Kasihan…” jawab bude Sumirah lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN