Pusing

1100 Kata
Malam itu Shania terngiang-ngiang dengan kalimat bude Sumirah, meskipun wanita yang menjadi tetangga di kampunya itu sudah tak lagi bersamanya, karena sang suami memanggilnya. “Ya, Allah…bagaimana ku mengabulkan uang empat ratus juta rupiah ini? Betapa liciknya pak Halim. Sudah jelas-jelas beliau sendiri yang berkata padaku, bahwa boleh di cicil kalau belum ada lengkap, gak masalah tenang saja…kenapa sekarang begini? sampai tega nganiaya ibu…” Shania mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Kalau karakter pak Halim begitu, bisa jadi, setelah aku menikah dengannya juga huang piutang di anggap tidak selesai. Itu sebabnya dia menghajar istri-istrinya sampai babak belur, kalau menurut cerita bude Sumirah tadi. Tidak bisa!” Shania menggelengkan kepalanya. “Aku harus mencari jalan keluar untuk bisa melunasi uang itu. Tapi, empat ratus juta dalam sebulan? Aku harus jual apa? Jual ginjal? Kayaknya gak sampai segitu dech…” keluhnya lagi sembari menengadahkan kepalanya menikmati sinaran rembulan malam ini. Dada-nya terasa sesak, terlebih dari kejauan terlihat seorang pria tua dengan tubuh ringkih, berjalan dengan kaki pincang, dan tangan memanggul sesuatu. “Astaga, Ayahh…” Shania menutup bibirnya tak percaya melihat sang ayah yang langsung mendadak kurus kering sejak hampir setahun dia tidak pulang kampung, karena memang mengejar beasiswa, dan ingin menyelesaikan kuliah dengan cepat. Sehingga dirinya mengambil banyak kelas. Di tambah dirinya mengajarkan private les kepada anak-anak SD sampai SMA di rumah-rumah mereka. Shania berjuang keras untuk membantu melunasi hutang kedua orang tuanya. Dengan membayar kepada pak Halim langsung. Meskipun tidak banyak, setiap bulan dia selalu membayar kepada pria lintah darat yang terkenal di kampungnya. “Ayahh!!” Panggi Shania langsung beranjak berdiri, manakala telah memastikan jika orang yang mendekat ke arah rumahnya adalah ayahnya yang baru saja pulang bekerja sebagai buruh kasar. “Shania…kok kamu pulang, Nak?” Tanya sang ayah mendekat. Tak ingin basa-basi, Shania memeluk sang ayah yang masih bau keringat yang menyengat. “Ayahh…kok ayah jadi kurus banget, gini, Yah?” Tanya Shania dengan menahan tangisnya. “Kamu kok malah peluk Ayah? Ayah bau keringat…” ucap pria tua itu. Terdengar jelas nafasnya sangat kelelahan. “Ayah, kenapa ayah pulangnya malam banget, Yah? Jangan terlalu ngoyo banget, Yah. Kasihan, sudah tua…ayah juga harus jaga kesehatan…” “Biar ayah sehat, bapak harus banyak bergerak, Nak. Kalau ayah pulang cepat malah pegel-pegel badan ayah…” elaknya mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya sudah di ketahui oleh Shania. “Doain Shania, ya, Yah. Biar Shania bisa bahagiain bapak sama ibu. Shanai janji, ayah sama ibu gak akan kerja keras lagi setelah Shania bekerja…” tegas Shania dengan tekad yang bulat. “Kamu belajar saja yang bener. Wong kamu sudah bisa kuliah saja ayah sudah sangat bangga, kok. Gak perlu pikirin ayah sama ibu yang sudah bau tanah ini…” canda sang ayah sembari mengusap kepala sang puteri.. Shania meraih benda yang di bawah sang ayah. “Apa ini, Yah?” Shania melihat karung yang di bawa sang ayah. “Ohh, ini…barang gak guna…” ucap sang ayah yang enggan membahas pada sang puterii. Melihat ekspresi sang ayah, Shania tak ingin melihat sang ayah terlihat sedih. Itu sebabnya Shania mengabaikan karung yang kini dia bawa ke dalam rumah, dan dia letakkan di dapur. “Ayah mandi dulu, ya? Biar Shania siapin air hangat buat mandi, Yah…” Shania berjalan ke dapur dan menghidupkan kayu api, lalu mengisi ceret. “Kamu apa bisa ngiduin air, Nak? Lagian gak perlu mandi pakai air hangat segala…ayah sudah biasa mandi air dingin…” jawab sang ayah dengan tetap tenang, meski Shania tahu saat ini ayahnya sedang amat sangat lelah. “Sudah, Yah…sekali-kali mumpung Shania lagi di sini, juga.” Jawab sang puteri lagi, dia mengambil ember dan menimba air di sumur untuk mandi sang ayah. Sembari membersihkan dapur yang cukup kotor. “Ibu, pasti jarang banget sempet bersihin dapur karena sibuk bekerja. Ya Allah…tidak bisakah Engkau berikan aku jalan keluar untuk ini? Aku tidak harus hidup kaya raya seperti Nana-sahabatku. Cukup jangan jadikan orang tuaku bekerja terlalu keras begini di usianya yang sudah senja. Kapan lagi mereka bisa menikmati indahnya kehidupan? Bantulah keluargaku. Bukakan hati pak Halim agar membatalkan bunga hutang itu….” Shania mengusap air matanya. Lalu matanya melirik karung yang di bawa sang ayah. Rasa penasaran menghantui, hingga dia bangkit dan melihat apa isi karung itu. Shania menoleh ke arah sang ayah yang ternyata sudah tertidur di kursi karena lelah, sehingga dia dengan segera membuka isi karung yang di bawa sang ayah. “Ada beberapa plastik di dalamnya, apa ini barang bekas?” Bisik Shania lalu merogoh dan mengeluarkan plastik demi plastik yang ada di karung. “Ini perlengkapan sholat. Ini air minum sama bekas bekal…ini apa kok lembek-lembek?” Shania menautkan dahinya lalu mengeluarkan plastik terakhir. “Astagfirullah…ayah…untuk apa ini? Ini nasi sisa, sama lauk sisa?” Shana menautkan dahi, lalu seketika matanya membesar. “Tidak! Tidak mungkin nasi ini untuk di makan. Tidak! Jangan ya Allah…jangan. Aku gak tega jika ayah dan ibu makan nasi bekas…” dengan cepat Shania memasukkan barang-barang milik ayahnya ke dalam karung. Dan dia bangkit menuju meja yang tertempel di dinding dan itu mereka pergunakan untuk meja makan. Shania membuka tudung saji, dengan dahi berkerut. “Ini sepertinya jenis makanan yang sama, dengan yang di bawah ayah. Apakah setiap hari ayah dan ibu makan nasi bekas? Sementara aku makan, menu nikmat dari yayasan. Ibu….ayahh…sungguh kemiskinan sangat menyiksa. “ Shania menutup bibirnya karena menahan kesedihan yang dia rasakan. “Aku besok pagi harus bertemu dengan pak Halim. Jika memang aku harus menikah dengan pak Halim, biarlah. Yang terpenting ayah dan ibuku tidak se-menderita ini. Bahkan untuk makan mereka rela berkorban demi bisa membayar cicilan bulanan dari pak Halim. Masa aku anak yang sudah mereka besarkan tapi tak mampu melepaskan penderitaan mereka. Dimana hati nuraniku? Kenapa selama ini ibu selalu berusaha menutupi semuanya?” Shania termenung sejenak. “Apa karena selama ini, kalau aku mau pulang, aku selalu ngabarin ibu dan ayah. Jadi, ketika aku di rumah, seolah semuanya baik-baik saja? Dan kebetulan aku hari ini pulang dadakan tanpa ngabarin, makanya aku mengetahui semuanya?” Shania menarik nafas panjang, karean dadanya terasa sesak. “Ya Allah…berilah keajaiban untukku. Aku mohon…” Air mendidih membuyarkan lamunan atas kesedihan Farzana. Dengan cepat dia mengusap air matanya, lalu dia beranjak dan meminta sang ayah untuk mandi. “Yah…ayah…ayo mandi dulu, yah. Biar segar. Biar enak tidurnya…” ucap sang putero dengan lembut. “Ayah…air nya udah siap, ayah tinggal mandi, ayo, Yah?” Ajak sang puteri lagi, lalu sang ayah terjaga. “Kamu malah repot-repot rebusin ayah air panas segala…makasih loh, Nak. Sudah larut kamu istirahat, ya?” Ucap sang ayah lagi sembari berjalan dengan oyong ke kamar mandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN