Keesokan harinya, terlihat Shania sedang mendatangi kediaman pak Halim yang di gadang-gadang sebagai orang terkaya di kampung halaman Shania.
“Bukankah bapak pernah berkata pada saya, bahwa kami bisa membayar hutang itu seberapa kami mampu untuk mencicilnya?”
“Benar, lantas?”
“Kenapa anak buah bapak bilang kalau hutang orang tua saya justru naik, dan sekarang sudah mencapai empat ratus juta rupiah. Saya setiap bulan juga trasfer ke bapak loh. Kenapa bukannya berkurang tapi justru bertambah?” Sorot mata Shania menatap tajam ke arah pria yang berumur sekitar enam puluh tahun tu dengan kesal. “Saya ada bukti loh, Pak.”
“Memangnya salahnya dimana? Saya memperbolehkan dik Shania mencicil setiap bulan berdasarkan kemampuan dik Shania. Lalu kenapa dik Shania ini merasa seolah saya ini sudah menyakiti, ya? Apa saya salah?” Tanya pria berkumis tebal itu dengan sorot mata licik.
“Yang saya tanyakan adalah, kenapa hutang ibu saya justru melambung tinggi dan tidak berkurang sama sekali? Dimana letak keadilan ini?”
“Kamu pikir, saya merasa adil, setelah uang saya di pakai dan tidakmendapatkan apapun sama sekali? Lihat di perjanjian yang di tanda tangani ibumu, sudah jelas disana…”
“Perjanjian?” Gumam Shania lagi.
”Ya, perjanjian pinjam meminjam di tempatku.” Tegas pria tua itu.
”Boleh saya melihat perjanjian itu, Pak?” Shania merasa kurang puas. Tanpa banyak berkata, pria tua itu membuka laci meja sejenak lalu mengeluarkan map dan menyodorkan kepada Shania. Shania terhenyak, membaca surat perjanjian itu. Karena dia sama sekali tidak tahu menahu mengenai surat perjanjian itu.
Seketika dirinya menyesal karena tidak berada di lokasi ketika sang ibu meminjam uang.
”Saya tidak mungkin memberikan uang begitu saja sekain banyak pada orang yang tidak saya kenal. Tentu saya juga sudah prepare, dan seharusnya kamu berterimakasih karena berkat uangku. Nyawa ibumu tertolong saat itu. Kalau tidak, bisa jadi ibumu sudah mati di gerogoti penyakitnya…”
“Trus, kenapa kalian menggunakan kekerasan? Saya akan laporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib, atas kekerasan yang di terima saya dan ibu saya”
“Kekerasan?” Gumam pria tua itu lagi.
“Ya. Saya saksi dan juga korban.” Tegas Shania sembari menunjuk dahinya.
“Pengawal!!” Teriak sang pria tua itu, dan seketika dua orang pria mendekat.
PLAKK!!
BUGHH!!
Sebuah tamparan dan tendangan datang bertubi-tubi dari pria tua itu ke dua orang pria yang di panggil pengawal.
“Kalian harus tahu, sebulan lagi nona Shania ini akan menjadi istriku, bisa-bisanya kalian melukainya?!!”
“Ta-tapi, Tuan…”
“Tidak ada tapi-tapian. Yang boleh memukul dan melakukan apapun padanya hanya aku sebagai calon suaminya. Dan kalian harus ingat, tidak di benarkan lagi menyakiti calon mertuaku….”
“Ba-baik, Tuan…” mereka membungkuk.
“Segera minta maaf kepada calon istriku yang paling cantik dan pemberani di antara yang lain…”
“N-nona…mohon ampuni kami…”
Shania kebingungan melihat tingkah pria tua itu yang terlihat terang-terangan dengan tatapan nakalnya. “Apa-apaan kalian?”
“Sudah-sudah! Kalian ke belakang!”
“Baik, Tuan.”
Sepeninggal pria tua itu Shania menatap ttajam ke arah pak Halim. “Apa maksud saya adalah calon istri bapak?”
“Sudah jelas bukan, jika dalam sebulan dik Shania tidak mendapatkan uang empat ratus juta, maka dik Shania akan menikah dengan saya, sebagai agunan. Nanti jika hutang itu sudah lunas, dik Shania bisa mengajukan gugatan cerai. Dan saya akan menceraikan dik Shania…”
Seketika Shania bergidik merinding. “Agunan? Maksudnya, sekalipun saya menikah, hutang ibu saya juga tidak lunas?”
“Ya, karena bersifat agunan. Artinya adalah, hutang tetap berjalan, tapi kedua orang tuamu tidak mengalami tekanan dan siksaan lagi. Dan di beri kelonggaran dalam membayar mengenai tenggat waktu. Semakin lama lunas, kamu akan bernasib sama seperti istri-istriku yang lain. Mengabdi sampai mati…” suara pria itu terkekeh membuat Shania merasa jijik.
“Jadi, fungsi sebagai istri apa? Dan apa manfaatnya telah menjadi istri anda?”
“Kau akan di manja, jika kau berbakti. Tapi sebaliknya. Jangan kawatir, karena kau cantik, kau akan menjadi istri kesayanganku…” sahut pria itu dengan menyeringai.
“Kapan tanggal pastinya jatuh tempo sebulan itu pak?” Tanya Shania beranjak berdiri.
“Tanggal tiga puluh. Sesuai dengan akhir bulan ini. Kenapa? Apakah kau tidak sabar menjadi istri seorang Halim?”
“Kenapa cepat sekali? Sedangkan sekarang sudah tanggal lima belas?”
“Ini adalah tentang uang saya. Dan saya yang berhak menentukan!” Tegas pria itu.
“Bagaimana mungkin anda menjadi imam yang baik jika anda curang?”
“Oke, baiklah. Aku akan berikan kau waktu sebulan penuh. Dan aku pastikan kau tidak akan pernah mendapatkan uang sebanyak iitu dalam waktu singkat.
“Tidak masalah, yang jelas, waktu saya berarti sampai di pertengah bulan depan bukan?”
“Ya, tidak masalah. Bahkan waktu setahun saja kalian tidak bisa melunasinya, bagaimana mungkin dalam waktu sebulan?” Pak Halim tertawa terkekeh.
“Baiklah, saya akan melunasi hutang ibu saya sebelum pertengahan bulan depanl. Permisi…” Shania segera beranjak dan di kejar oleh pria tua itu.
“Kamu tidak akan mampu membayarnya dik Shania. Rumah kalianpun tidak akan laku segitu mahal. Nikmati saja di manja denganku…”
Shania menoleh kebelakang, dengan senyum sinisnya dia meludah. Lalu meninggalkan pria tua itu dan terus berjalan ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Shania sudah tak mendapati ibunya di kamar, ibunya ternyata sudah bekerja di rumah orang lain sebagai tukang bersih-bersih dan cuci setrika. Shania tak ingin menyia-nyiakan waktunya. Dia mendatangi sang iibu dan ayahnya untuk berpamitan pulang ke Jakarta alasan akan ada ulangan.
Hari-hari Shania di Jakarta sejak kepulangannya dari kampung membuat Shania tidak fokus kuliah, ingin rasanya dia memenjarakan Halim atas pemerasan dan kekerasan, tapi sang ibu sudah terlanjur menanda tangani perjanjian dan itu membuat kepalanya serasa mau epcah. Dia di kelas lebih banyak melamun dan jam istirahatnya di gunakan untuk mencari pekerjaan yang menghasilkan uang banyak.
Tapi, dari banyaknya pekerjaan tak satupun pekerjaan yang di dapat yang mau memberikannya pinjaman terlebih dahulu dan p********n di potong gaji. Shania melamar di beberapa bimbel dan lembaga lainnya. Hingga dia di terima di sebuah sekolah elit dengan gaji menggiurkan. Melihat hasil test dan beberapa rangkaian interview, akhirnya sekolah mewah itu mengabulkan permintaan Shania dengan memberikan pinjaman terlebih dahulu, dengan catatan dirinya mengabdi sampai batas waktu yang di tentukan. Shania menyetujui itu, bahhkan demi menyelamatkan sang ibu. Shania rela untuk kehilangan kesempatan emasnya di wisuda sebagai alumni Wiyasa. Karena jadwal yang bentrok dengan jam kampusnya, membuat Shania memilih mengundurkan diri dari program beasiswa kampus.
Meski tidak mudah, dan sempat mengalami pencekalan, karena peserta beasiswa yang mengundurkan diri harus membayar denda dan mengembalikan seluruh dana yang telah di gunakan. Bersyukurnya, berkat kejujurannya, pihak yayasan memberikan kelonggaran pada Shania. Dan bahkan Shania diberikan kesempatan jika ingin kembali berkuliah dengan beasiswa nantinya setelah menyelesaikan permasalahan keluarganya.
Tak terasa pengurusan sana-sini dan perjuangan Shania telah memakan waktu dua puluh hari lebih. Saat ini, Shania sedang training dalam masa menjadi guru pengganti di sebuah sekolah bertaraf internasional di kota Jakarta. Pihak yayasan akan mencairkan uang setelah dirinya melewati masa training selama dua belas hari, masih membutuhkan waktu tiga belas hari lagi agar uang yang di pinjam Shania cair.
“Alhamdulillah, akhirnya tiga belas hari lagi, yayasan bakalan cairin uang buat lunasin hutang ibu. Allah tidak akan membiarkan hambanya yang telah berusaha…” gumam Shania yang sore itu baru keluar training mengenai standarisasi sekolah kalangan jetset itu.
Tiin! Tiinn…!!
Sebuah klakson mobil membuat Shanai menoleh dan menautkan dahi. Tapi wajahnya berubah manakala melihat siapa gerangan yang berada di dalam mobil.