Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.
Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.
Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.
Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon.
"Halo?" sapaku langsung.
Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hanya ada nomor asing tanpa nama. Mungkin penipuan, pikirku, jadi sambungan segera aku matikan.
Belum dua detik sejak ponsel kembali di tempatnya, benda itu kembali berdering. Agar tidak tertipu lagi, aku memastikan si penelpon terlebih dahulu. Amira. Aku sangat excited dan bangun seketika saat mengangkat telepon.
"Halo, Mbak."
"Assalamualaikum ...." Huh, suaranya seakan penyelamat dari segala kesuntukan dan kebosanan ini.
Aku terkekeh ringan. "Wa alaikumussalam, Mbak."
"Kamu di mana, Dina?"
"Di rumah aja sih, Mbak. Ada apa? Mau gibah?" Dasar ipar durhaka memang aku ini.
"Nggak lah, ih." Dia tertawa pelan. "Satya ada di situ?"
Mendadak, mood-ku sedikit muram mendengar pertanyaan tersebut. "Nggak pulang kayaknya, Mbak, malam ini."
"Kebetulan. Mas Satria juga lembur malam ini. Pulangnya jam sembilan. Kamu luang, nggak?"
"Iya, Mbak."
"Aku mau bikin nastar gitu, tapi lagi bad mood aja kalau bikin sendiri. Kamu mau bantuin? Atau, aku yang ke situ? Pasti seru kalau bikinnya bareng."
"Eh, nggak usah ke sini, Mbak. Aku juga gabut banget di rumah sendirian. Tawaran Mbak aku terima. Aku langsung ke situ."
"Oke, aku tunggu, ya. Kamu bisa sempetin singgah di minimarket, nggak? Aku kehabisan mentega, selai nanas, keju, sama cokelat."
"Bisa, Mbak, gampang." Aku langsung berdiri seraya mematikan televisi. Menuju ke kamar, aku menarik jaket tebal abu-abu, serta jilbab instan berwarna hitam. Tas selempang hitam juga aku bawa setelah memastikan dompet dan ponsel di dalam.
Ketika akan menutup pintu rumah, aku berniat menelpon Mas Satya untuk memberitahunya—meski tidak terlalu penting. Namun, pesan dari Amira datang. Berisi daftar bahan yang akan dibeli. Aku langsung mengeluarkan motor dari garasi.
>>♡>♡>♡<<