Bab 8 : Teman Gibah

1088 Kata
Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku. "Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku. "Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi. "Satria?" tebak Zia. Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—" "Assalamualaikum." Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapkan berubah menjadi kaku saat mendapati Amiralah pengucap salam tadi. "Wa alaikumussalam, Mbak." Aku mengembalikan sikap ramah yang semula hilang karena terkejut tadi. Agak grogi juga karena Zia sempat sebut-sebut nama Satria tadi, semoga Amira tidak dengar. "Kamu kenal, Din?" Zia ikut berdiri, berbisik padaku. "Oh, ini istrinya Mas Satria, Amira. Mbak, ini temen aku, Zia." Aku memaksa menambahkan embel-embel 'mas' agar terkesan lebih ramah pada iparku ini. "Halo ...." Amira mengulurkan tangan dengan senyum hangatnya. Wanita ini memang benar-benar baik. Satria sangat beruntung memilikinya. Melirik Zia, gadis itu tampak kikuk seraya membalas jabat tangan Amira. "Ken-Zia." Zia menjawab gugup. "Istrinya Satria?" bisik Zia setelah acara perkenalan selesai. "Kamu kenapa nggak bilang kalau Satria udah nikah?" "Kamu nggak nanya." Aku balas mencibir. Beralih pada Amira, aku bingung dengan kehadirannya siang ini. "Mbak butuh apa? Bunga? Buat Mas Satria?" "Kamu belum masuk jam istirahat?" tanya Amira. "Selama nggak ada pembeli, itu jam istirahat kita, Mbak," jawabku. "Aku mau ngobrol dikit sama kamu, bisa?" Rautnya mulai berubah sedikit serius, membuatku ikut gugup. "Berdua. Bisa?" Zia langsung membulatkan mulutnya. "Oh ... aku juga tadi harusnya urus bunga di belakang. Permisi ya." Dia langsung menghilang dari pandangan. Aku memberikan kursi yang ditempati Zia tadi. Amira mengucapkan terimakasih dengan nada lirih. "Mbak mau minum apa? Aku beliin? Di depan jualan banyak macam minuman," kataku seraya menunjuk kios kecil tepat di depan toko bunga. "Nggak usah. Aku cuman bentar kok." Amira mengusap perutnya yang mulai terlihat besar. Aku turut bahagia dengan perkembangan pernikahan mereka yang lebih baik dari aku dan Mas Satya. "Mbak ada apa datang ke sini? Kalau perlu apa-apa kan, bisa telpon aku, biar aku yang datang ke Mbak Amira. Mbak lagi hamil loh, nggak boleh kecapean," tuturku khawatir. Ngilu aja gitu kalau lihat perempuan hamil melakukan sesuatu yang terbilang berat. "Kamu mirip Mas Satria khawatirnya." Amira tertawa ringan, berbeda denganku yang langsung kaku. Kenapa harus disamakan dengan pria itu? Yakin dan percaya, semua orang juga akan mengkhawatirkan perempuan hamil yang bepergian jauh. "Kalau kamu istirahat, bisa bantu aku, nggak?" Amira melanjutkan, dengan pertanyaan. "Bantu apa, Mbak?" Perasaan, aku tidak berguna amat. "Kamu sama Mas Satria kan pacaran selama 4 tahun. Kamu pasti kenal banget sama Mas Satria daripada aku." Ini bukan kondisi yang bagus, dilihat dari ucapan dan cara berbicara Amira yang kentara sekali berat mengatakan itu. "Aku mau minta tolong ke kamu," lanjutnya, "bantu cariin hadiah atau sesuatu gitu yang Mas Satria suka. Aku cuman mau ngasih sesuatu yang istimewa ke dia." Aih, aku kalah lagi sama Amira dalam urusan mengistimewakan suami. Ya wajar lah, kalau Satria cepat kepepet sama Amira. "Gimana, ya, Mbak. Bukannya nggak mau bantu. Tapi aku juga nggak tau Mas Satria butuh apa. Dulu sih, waktu masih kuliah, dia itu suka nabung buat ngoleksi miniatur otomotif gitu. Tapi kayaknya, dia sekarang bisa beli banyak pake uangnya. Orang kaya susah dikasih hadiah istimewa berupa barang, Mbak. Soalnya mereka bisa beli sendiri. Coba kasih sesuatu yang lebih istimewa daripada barang, Mbak." "Apa?" Amira sedikit memiringkan kepalanya, bingung. Aku hanya bisa mengangkat kedua bahu bersamaan. "Mbak coba inget-inget, pernah kasih atau bikin apa buat Mas Satria, terus Mas Satria suka banget sama itu. Itu bisa jadi hadiah paling istimewa. Masakan mungkin? Kue? Dinner romantis ...?" Aku tersenyum menggoda. "Mbak, walaupun aku udah pacaran sama Mas Satria selama 4 tahun, atau lebih, itu nggak cukup buat aku kenal Mas Satria lebih dari Mbak Amira yang notabennya adalah istri dari Mas Satria. Apa pun yang ditunjukkan Mas Satria di rumah, adalah sisi aslinya. Sementara ke aku, itu cuman kayak manipulasinya doang. Jadi aku nggak bisa bilang kenal Mas Satria lebih dari Mbak Amira." Amira terdiam sejenak, menatap ubin putih lantai toko dengan mata bergerak-gerak. Kemudian menengadah dengan senyum puas. "Makasih banyak, ya. Kalimat kamu tadi bantu aku banget. Ah, aku bodoh banget udah cemburu sama kamu." "Cemburu kenapa, Mbak?" "Tadi, kamu kan udah pacaran sama Mas Satria 4 tahunan, sementara aku nikah sama Mas Satria baru beberapa bulan." "Nggak lah, Mbak. Nggak ada yang bisa Mbak cemburuin di aku." "Terima kasih banyak, Din." "Santai aja, Mbak." Aku tersenyum hangat, kemudian menyesap kopi dua kali. "Acara gibahin suami udah selesai, nih, Mbak?" tanyaku bercanda. "Eh, kenapa?" Amira bingung. "Aku mau lanjut gibahin Mas Satya," ucapku sambil berbisik kala menyebut nama Mas Satya. "Gibahin apa?" "Tapi di sini, aku nggak sebutin nama dia ya. Aku panggilnya 'dia' aja," kataku. "Rumor Satya sembunyiin pernikahan kalian itu benar?" "Sst!" Aku tersenyum sambil menutup bibir dengan telunjuk. "Mbak itu beruntung banget. Setidaknya, Mas Satria pulangnya tetap: setiap sore. Punya waktu family time. Bisa kenalan lebih dekat, walaupun cuman beberapa bulan. Sementara aku? Kadang dia nggak pulang. Pulang pun, biasanya tengah malam, aku udah tidur. Kita nggak punya family time. Bahkan setelah satu tahun nikah, aku masih merasa ... nggak kenal dia sama sekali." Awalnya, aku pikir Amira tidak akan tertarik dengan ceritaku. Namun, raut ekspresinya begitu penasaran, sehingga aku bersemangat melanjutkan. "Dia masih sering sembunyiin sesuatu dari aku. Eh bukan sesuatu aja, tapi banyak. Aku bahkan nggak tau sifat aslinya gimana." Memikirkan ini lagi, aku jadi sedikit frustrasi, meski tadi pagi mulai sedikit celah untuk kami bisa terbuka. "Mbak bisa nggak sih, bantu aku gitu, dapat informasi dari Mas Satria mengenai Mas Satya ini? Mau tanya Bunda, kok aku segan ya? Takutnya dikira nggak becus jadi istri, padahal emang kenyataannya gitu." Aku tertawa sumbang. "Kenapa nggak tanya langsung sama Mas Satria?" Males banget berurusan sama dia lagi! "Nambah kedekatan kita aja gitu, Mbak. Sambil gibahin suami. Seru kayaknya. Kalau nanya langsung sama Mas Satria, aku jadi agak gimana gitu kalau bicara sama dia lagi, terus, ya bakalan nggak seru kalau bicara sama dia. Apalagi, ada kemungkinan dia bisa aja lapor ke Mas Saty-eh dia." Amira mengangguk-angguk mengerti. "Seru kayaknya." Aku tersenyum lebar. Apa pun aku lakukan agar bisa segera mengetahui karakter asli dan rahasia Mas Satya. >>♡<<
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN