P R O L O G
Lilin terakhir sudah menyala. Aku tersenyum hangat, seperti suasana di ruangan ini. Tidak sabar rasanya melihat ekspresi wajah Mas Satya setelah melihat kejutan kecil ini. Pasti dia akan bahagia.
Kue berukuran sedang berwarna cokelat aku keluarkan dari kotaknya. Di atasnya sudah tertulis indah, 'Happy Anniversary'. Ya. Ini ulang tahun pernikahanku dengan Mas Satya yang pertama.
Kue manis ini aku letakkan di atas meja. Kemudian memperhatikan semuanya sekali lagi. Sempurna. Biarkan puluhan lilin ini yang menyala, dan lampu dipadamkan.
Tinggal menunggu 10 menit. Mas Satya mengatakan tadi pagi akan pulang jam sembilan.
Aku memilih duduk di sebuah sofa panjang yang terletak di dekat sebuah rak buku. Lalu menanti ...
Waktu terus berjalan. Jarum tidak pernah berhenti berputar. Namun, Mas Satya belum kunjung datang.
Aku menilik lagi ke arah jam. Sudah lebih 30 menit dari yang seharusnya. Mungkin karena terlalu lelah mengurus semua kejutan ini dari tadi, aku jadi mengantuk. Kurebahkan tubuh, sekadar terpejam untuk beberapa saat. Telinga ini juga sensitif. Aku bisa segera terbangun jika mendengar suara Mas Satya datang.
Lalu ....
"Sayang ...."
Aku tersentak, lalu membuka mata. Menemukan wajah lelah Mas Satya di hadapan. Panggilannya barusan membuatku tersadar.
"Mas baru pulang?" tanyaku, lalu melirik jam. Pukul dua dini hari.
"Maaf ...." ucap Mas Satya, lirih dan tulus. Meski sebenarnya kecewa melihat semua persiapan gagal total, aku tetap memaksakan tersenyum.
"Nggak papa. Mau makan apa, Mas? Atau aku siapin air hangat? Mas mau mandi?" tawarku sambil bangkit dari posisi berbaring.
"Nggak perlu." Mas Satya menarik tanganku, hingga kami saling berpelukan. Merasakan hangatnya dalam dekapan, aku menempelkan wajah di dadanya. Tidak berselang lama, karena selanjutnya aku mundur beberapa langkah setelah menemukan sebuah noda lipstik berbentuk bibir di bagian pundak kaus putih Mas Satya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Mas Satya. Ia mengikuti arah pandangku. "Sayang, ini tadi nggak sengaja sama Kinanti ...."
Bodoh memang. Aku bahkan tidak bisa marah untuk hal ini.
"Nggak papa." Aku tersenyum miris. Lalu ingin segera beranjak ke tempat tidur. Di sofa ini, semua ototku jadi kaku.
"Kamu marah?"
"Memangnya aku bisa apa, Mas? Mas kan nggak mau ngasih tau fans Mas tentang pernikahan kita. Jadi, wajar ajalah kayak gitu. Kinanti pasti ngira Mas ini masih lajang. Nggak papa." Aku memalingkan wajah, untuk menutupi air mata yang hendak terjatuh.
"Sayang, maaf ...."
Sialnya Mas Satya, dia malah menarikku dalam pelukannya. Sehingga tangisan ini tidak bisa dicegah lagi. Memangnya siapa yang akan ikhlas melihat suami sendiri dekat dengan orang lain?
"Sampai kapan kita harus sembunyi kayak gini, Mas? Aku nggak ikhlas Mas dideketin sama wanita lain," ucapku memelas. Aku memegang erat kaus depan Mas Satya, takut kehilangan dirinya, juga ingin melampiaskan kekesalan.
"Nanti. Pasti Mas akan bilang sama mereka ...."
Aku tertawa perih Entah kapan 'nanti' itu akan terjadi.