Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.
Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit.
"Aku ... mau napas," ucapku parau.
Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.
Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....
Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit.
"Kenapa, Sayang?"
Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega.
"Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela menawarkan.
"Kamu pikir siapa? Satria, hm?"
"Iya. Takut aja gitu. Waktu ke mall sama Bunda, di toilet, dia ngajakin balikan. Jadi ... aku takut." Aku memeluk Mas Satya sambil melirik sekitar, suasana masih temaram. Hanya lampu duduk yang menyala. "Jam berapa sekarang? Mas kok bisa di sini? Lewat mana?"
"Abis gangguin Satria. Nggak mungkin Mas pecahin jendela supaya masuk ke sini. Sekarang, jam empat lewat. Bentar lagi sholat subuh. Kamu nggak usah tidur lagi."
Aku bergumam mengiyakan. "Mau ngasih surprise apa?" Aku menagih sambil tersenyum menatap Mas Satya. Karena dia sedikit mendongak, aku hanya bisa melihat dagunya yang berbentuk V.
"Ada deh. Habis subuhan nanti, kita perginya."
"Apa, sih? Bikin penasaran banget."
"Ada deh." Mas Satya menunduk, lalu menghujani puncak hidungku dengan kecupan singkat. "Kamu berhenti kerja aja, ya?"
"Hah?" Baru saja terlena dengan perlakuannya tadi, sekarang dibuat kaget lagi. Rollercoaster memang pria ini. "Kenapa? Lisa pecat aku? Lisa laporin yang enggak-enggak tentang aku? Dia bilang apa?" k*****t emang itu iblisa.
"Dia bilang kamu sering digodain cowok."
"Mana ada!" bantahku cepat. "Kebanyakan yang beli bunga itu, fans-nya Mas. Kalaupun ada orang lain, cowok misalnya yang beli bunga, itu belinya buat orang tersayang mereka, kekasih mereka. Jadi, boro-boro mau godain aku. Mereka kan udah punya pasangan sendiri."
"Kamu serius amat nanggapinnya." Mas Satya terkekeh. "Kamu suka kerja?"
Aku mengangguk pelan. Resah memikirkan akan tinggal di rumah 24 jam tanpa melakukan apa pun. Aku benar-benar bisa mati, jika ada tambahan teka-teki mengenai kehidupan Mas Satya.
"Kamu suka buka usaha apa?"
Aku mendengkus ringan. Ini bukan yang aku inginkan. Kadang, memang ingin melepaskan diri dari tekanan Lisa, tapi aku sudah nyaman dengan pekerjaan itu karena ada Zia, ada Milka, ada yang lainnya. Sering juga, bisa modusin Mas Satya kalau ngantar bunga ke tempat dia bekerja.
"Nggak ada. Aku suka kerjaan aku sekarang." Aku menunduk sedikit, menatap pada pada Mas Satya yang dilapisi kaus hitam. "Emang kenapa sih, harus keluar? Aku ngelakuin kesalahan apa lagi?"
"Kamu nggak lakuin kesalahan apa-apa. Ini murni keinginan Mas supaya kamu nggak terlalu capek."
"Aku nggak capek kok."
"Mas punya tiga pilihan buat kamu: pertama: tinggal di rumah aja, biar semuanya, Mas yang urus di luar; kedua, kamu buka usaha, apa pun itu, tapi usahakan jangan langsung berinteraksi dengan orang luar—"
"Eh, gimana-gimana yang nomor dua? Aku buka usaha, tapi nggak boleh interaksi ke orang lain? Itu gimana ceritanya? Terus, ini artinya, sama aja dong kayak yang pertama: aku dikekang dalam rumah."
"Kamu bisa sewa pegawai atau semacamnya. Kamu cukup pantau dari jauh aja, dari rumah."
Aku mendesis pelan. "Yang ketiga apa? Jangan-jangan sama aja kayak dua nomor itu?"
"Lebih parah sih dari dua pilihan itu."
Aku memasang wajah masam, tapi tetap diam untuk mendengarkan pilihan ketiga.
"Ketiga, kamu kerja jadi ... manajer Mas."
Aku sontak mendongak. "Hah gimana-gimana?"
"Otakmu lemot amat, Sayang."
"Manajernya Mas Satya? Berarti aku boleh dong ikutin Mas Satya ke mana aja? Aku bisa dong, di luar selama Mas Satya di luar?"
"Bukan boleh, tapi kamu memang harus ikutin Mas ke manapun, urus semua keperluan Mas, dan kamu bakalan capek, Dina."
"Nggak papa. Aku pilih nomor tiga." Dengan cepat, aku menentukan pilihan.
"Yakin? Kamu bakalan susah tidur, kurang waktu istirahat, pening, pusing, sakit kepala, mual ...."
"Itu kerja, atau hamil?" Aku terkekeh.
"Tapi seriusan. Manajer Mas yang sekarang aja hampir masuk RSJ."
"Nggak papa-nggak papa. Aku mau nomor tiga."
"Tapi, Sayang. Selama jam kerja, Mas mungkin akan bersikap keras sama kamu. Kamu siap?"
Aku mengangguk yakin tanpa perlu berpikir.
Akhirnya ... kesempatan untuk dekat dengan Mas Satya tiba juga. Aku tersenyum lebar.q
>>♡>♡<<