BAB 14

1599 Kata
Setelah makan malam dan menikmati minuman hangat bersama-sama, mereka pun berbincang sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur. Sudah ada dua tenda yang berdiri di sana untuk mereka tempati selama beristirahat. Satu tenda untuk Putri dan Ririn, lalu satu tenda lagi untuk para pria. “Yakin kita bakal tidur di tenda cuma berdua?” tanya Ririn ke Putri merasa tidak yakin kalau malam ini mereka akan baik-baik saja. “Lah, napa? Ya kali lu mau ajak pacar lu satu tenda sama kita? Ntar gua jadi obat nyamuk!” celetuk Putri merasa kesal dengan perkataan Ririn. Padahal bukan itu yang dimaksud oleh Ririn karena memang wanita itu merasa takut hanya bersama putri di satu tenda yang cukup besar. “Ah, lu kenapa gitu mulu, sih? Gua ngomong serius, tau!” Ririn Merasa heran dengan Putri yang langsung sensitif berkata demikian padahal bukan itu yang dimaksudkan oleh Ririn. “Lah, terus gimana?” “Dah, lah. Males ngomong ama lu.” Ririn kembali jadi bad mood dan juga memilih untuk tidak berbicara lagi dengan Putri. Tidak ada pilihan bagi Ririn untuk tetap tidur satu tenda dengan Putri karena hanya itu pilihan yang ada. Setelah selesai berbincang-bincang para pria pun meminta Putri dan Ririn untuk masuk ke tenda tidur terlebih dahulu karena sebentar lagi keempat pria itu pun juga akan masuk ke tenda untuk istirahat. “Dah, Putri ama Ririn masuk tenda aja buat tidur. Bentar lagi kita semua juga bakal ke tenda tidur.” Bang Opung memberitahukan waktu semakin malam dan mereka harus beristirahat dengan cukup agar besok pagi bisa melanjutkan perjalanan untuk mendaki gunung. “Iya, Bang,” jawab Putri dan Ririn bersamaan. “Kalian langsung tidur aja nggak usah bergadang. Terus pesan gua kalau misalnya dengar sesuatu nggak usah ditengok apapun itu. Kalau kalian dengar seperti suara yang memanggil nama kalian nggak usah disahutin dan abaikan aja. Gua ngasih tahu seperti ini karena saat ini kita di tengah-tengah hutan dalam gunung jadi emang kadang ada hal yang di luar logika terjadi. Gua harap kalian dengerin yang gua bilang dan patuhin aja tanpa banyak bertanya biar semua aman dan nyaman malam ini bisa istirahat dan besok pagi lanjut muncak. Oke?” Bang Opung menjelaskan tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan juga kemungkinan ada sesuatu hal yang terjadi dan bagaimana antisipasinya. Mereka memang tidak boleh menjawab jika ada yang memanggil tanah di tengah hutan segala sesuatu jadi berbeda. “Oke, Bang.” Putri dan Ririn akhirnya masuk ke dalam tenda dan menutup tenda itu dengan rapat. Mereka mengambil posisi ternyaman untuk tidur dan mencoba memejamkan mata. Ternyata di sini Putri termasuk cepat tidur karena beberapa saat kemudian sudah terasa kalau Putri tidur nyenyak sedangkan Ririn masih belum bisa tidur mengingat penampakan yang dilihat tadi saat di jalan. “Lah, baru sepuluh menitan masuk tenda udah tidur aja, nih? Dasar kebo!” gerutu Ririn yang sebenarnya merasa ketakutan sendiri dan tidak mau kalau Putri tidur terlebih dahulu. Setelah para pria juga masuk ke dalam tenda, Ririn mulai merasa ada hal yang aneh. Seolah-olah ada yang terus-menerus mengintip dari luar tenda. Perasaan itu semakin nyata karena ada sesosok bayangan di luar tenda yang terlihat begitu jelas. Melihat hal itu membuat Ririn segera membangunkan Putri yang sudah terlelap. “Put, Put, bangun, Put!” Ririn sambil menggoyangkan bahu Putri agar segera terbangun. Ririn sudah merasa paranoid dan takut ada sesuatu hal yang terjadi karena sejak tadi perasaan tidak tenang. “Hah? Apa’an, sih? Napa bangunin gua?” tanya Putri yang merasa kesal tiba-tiba dibangunkan oleh Ririn yang terlihat panik. “Gua ngerasa ada orang di luar ngintip tenda kita, Put. Beneran ada sesuatu, deh,” ujar Ririn membuat Putri merasa kesal. “Ada apa, sih? Cuma mau tidur aja susah!” “Beneran, Put. Gua lihat tadi bayangan di situ.” Ririn masih merengek pada Putri. “Ya udah, ayo lihat keluar! Males amat sama lu!” Putri mengajak Ririn keluar dari tenda untuk memeriksa sebenarnya apa yang ada di luar tenda. Putri tidak berpikir hal yang negatif sebelumnya. Wanita itu hanya berpikir untuk memeriksa terlebih dahulu dan memastikan kalau tidak ada apa-apa sehingga bisa tidur kembali dengan nyenyak tidak diganggu oleh Ririn yang paranoid. Putri menganggap kalau Ririn itu paranoid karena mengganggu sekali terus-menerus seperti itu. Ririn dan Putri akhirnya membuka tenda dan keluar perlahan bersamaan. Mereka berdua melihat ke sekitar kanan dan kiri tetapi tidak ada apa-apa sama sekali. Seketika mereka berdua merasa merinding seolah ada yang memperhatikan gerak-gerik mereka di sana. “Put, gua merinding, nih,” ucap Ririn dengan lirih sambil memegang lengan Putri. “Hust! Diem, dah. Gua juga takut, udah, masuk aja, yuk,” ujar Putri yang juga merasa merinding. Saat melihat ke sekeliling, tepatnya di atas pohon, tidak sengaja mereka berdua melihat sesuatu yang berayun-ayun di atas. “Rin, apa’an, tuh?” Putri baru kali ini melihat seperti itu. “Gua nggak tahu, Put. Serem.” “Dah, buruan masuk tenda!” ajak Putri yang juga merasa takut dengan apa yang baru saja dilihat. Mereka berdua langsung masuk ke dalam tenda dan menutup rapat tenda tersebut kembali. Mereka juga menutupi tubuh dengan jaket hingga matanya tertutup karena begitu ketakutan. Kedua wanita yang tadinya tidak akur itu pun jadi berdempetan waktu mencoba untuk memejamkan mata. Herannya mereka sama sekali tidak bisa tidur karena saking ketakutannya. “Ririn .... Ririn.” Suara lirih terdengar memanggil nama Ririn beberapa kali. Hal itu jelas saja membuat Ririn semakin panik dan ketakutan apalagi mereka hanya berdua di dalam tenda tersebut dan dalam kondisi sudah larut malam di tengah hutan dalam gunung. Tidak mungkin ada wanita lain di sana apalagi memanggil nama Ririn. “Put, apa, tuh, Put?” Ririn mulai menangis histeris karena ketakutan. Kali ini Putri juga mendengar suara itu sehingga ikut panik. “Iya, apa, tuh. Ya ampun, napa gini?” “Gua takut, Put. Gua takut.” “Lah, nggak cuma lu yang takut. Gua juga!” “Gimana ini?” Ririn makin takut dan menangis. “Dah, buruan kita keluar ke tenda para cowok. Buruan, ayo!!” Putri langsung menarik tangan Ririn untuk bergegas keluar ketika tenda dibuka dan berlari menuju ke tenda para pria. Ririn dan Putri berlari begitu cepat dan tidak berani menengok kanan atau kiri karena ketakutan. “Bang Opung, buka tendanya, Bang!” “Kodel, buka tendanya!” “Rahmat, buka tendanya!” Ririn dan Putri histeris serta ketakutan berkali-kali menyebut nama para pria untuk membukakan tenda secara bergantian. Tidak perlu menunggu waktu lama para pria pun membuka tenda dan menemukan kalau mereka sudah terlihat panik dan ketakutan. Ririn serta Putri langsung masuk ke dalam tenda para pria dalam kondisi masih histeris. Ririn masih menangis karena memang begitu ketakutan dengan apa yang terjadi barusan. “Ada apa, nih?” tanya Bang Opung yang bingung dengan apa yang dilakukan oleh Ririn serta Putri. Ririn masih menangis ketakutan, sehingga ditenangkan oleh Kodel. Sedangkan Putri langsung menceritakan apa yang terjadi tadi kepada para pria dalam tenda itu. Putri juga ketakutan tetapi harus menceritakan apa yang terjadi agar para pria mengetahui apa yang baru saja kedua wanita itu alami. “Gitu ceritanya. Gua takut banget. Apalagi si Ririn itu nangis Mulu,” jelas Putri pada para pria. “Udah, udah. Gini, ya. Gua tadi udah bilang ke kalian kalau misal denger sesuatu nggak usah dijawab. Kalau ada sesuatu yang aneh nggak usah ditengok. Kalau kalian lihat sesuatu nggak usah cerita ke yang lain. Tapi kenapa kalian malah cerita? Dah, gimana kalau gini?” Bang Opung dengan santai menjawab seperti itu seolah tidak ada simpatik sama sekali. Jelas saja jawaban seperti itu membuat Ririn dan Putri merasa kesal dan marah. “Lah, gimana, sih, Bang? Jadi maksudnya kalau kita ketakutan, suruh diem aja, gitu? Bang nyari aman sendiri atau gimana, sih? Nggak habis pikir kenapa egois banget!” seru Putri kejadian itu menakutkan membuat Putri dan Ririn histeris. Mana ada orang histeris suruh diam saja? Tidak ada. Ririn juga merasa kesal dengan Bang Opung. “Bang nggak ngalami, sih, jadi bisa enak gitu yang bilang. Terus kalian di sini berempat sedangkan gua sama Putri berduaan aja. Pasti takut, lah. Punya hati, napa?” “Lah, gua bilang begini juga buat kebaikan kalian, tahu, nggak? Bukan karena gua egois. Terserah lah!” Bang Opung juga menjadi kesal karena dianggap egois. Rahmat dan Dalwi langsung menenangkan Putri dan Ririn. Mereka mencoba menjelaskan kalau apa yang dikatakan Bang Opung itu memang yang terbaik. “Udah, sabar dulu, Put, Rin, gua tahu kalian takut dan histeris, tapi apa yang Bang Opung bilang ada bebernya juga. Tenangin diri kalian dulu, ya,” ucap Rahmat yang tidak tega juga melihat temannya ketakutan seperti itu. “Iya, Put, Rin, ini ada air minum dulu. Kalian biar tenang dulu. Minum, ya. Gua tahu kalian histeris, panik, bingung, jadi tenangin diri dulu, oke?” Dalwi menyodorkan air minum dalam botol kepada Ririn dan Putri. Setelah kedua wanita itu merasa sedikit tenang, mereka pun memohon untuk tidur bersama para pria di dalam tenda yang sama karena sangat ketakutan. “Bang Opung, Rahmat, Degel, Kodel, tolong ijinin gua sama Putri tidur sini. Jujur aja gua sama Putri takut banget dan gua udah nggak berani masuk ke dalem tenda sebelah apalagi cuma berdua. Please, tolong kali ini saja.” Ririn memohon untuk diizinkan tidur di dalam tenda yang sama karena sudah ketakutan dan tidak mau balik ke tenda yang satunya. Setelah berunding akhirnya para pria mengizinkan untuk Ririn dan Putri tidur di dalam tenda meski itu berarti mereka berenam harus berdesak-desakan saat tidur. Tenda itu cuma muat sampai lima orang, jadi sangat sempit untuk berenam. Apa daya mereka tidak bisa menolak karena tidak tega juga melihat putri dan Ririn yang ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN