Dalwi masih melakukan vlog dengan video di ponselnya. Setelah beberapa lama melakukan hal itu, Dalwi baru sadar kalau ada sesuatu yang aneh. Ternyata dari video yang diambil sejak tadi ada sebuah keganjilan. Pantas saja Dalwi merasa merinding sejak tadi.
“Astaghfirullah ... Apa ini? Bang, liat, nih. Ini apa, Bang? Serem amat,” kata Dalwi yang gemetar melihat apa yang ditampilkan dari video ponselnya.
Dalwi langsung melaporkan hal itu kepada Bang Opung. Dalwi takut sampai tidak tahu harus berkata apa karena tidak mungkin menceritakan hal ini kepada teman-temannya terlebih dahulu. Dalwi memperlihatkan video itu kepada Bang Opung yang langsung menatap dengan serius.
“Gini, Degel, kalau lu liat sesuatu apapun itu selama berada di gunung, lu nggak boleh cerita sama siapa-siapa. Cukup lu simpan dalam hati sendiri. Jangan sampai orang lain ngerti atau satu rombongan ngerti. Ini nggak bagus buat perjalanan rombongan kita. Jadi, mulai sekarang kalau lu lihat lagi langsung hapus aja videonya. Jangan simpan video atau foto penampakan seperti itu bikin sial. Paham?!”
Bang Opung berbicara dengan serius dan terlihat kalau memperingatkan Dalwi dengan sungguh-sungguh. Perasaan tidak enak semakin menyeruak dalam hati Dalwi. Bagaimana mungkin seseorang harus diam saja ketika melihat makhluk gaib yang terlihat begitu jelas di video?
“Ya, Bang. Maaf, gua nggak ngerti Kalau ada peraturan begitu di sini. Jujur aja gua takut, Bang. Perasaan gua makin nggak enak di sini, Bang. Gimana, nih?” Dalwi kembali bertanya karena tidak tahu mengapa terus-menerus merasa tidak nyaman padahal belum separuh perjalanan di gunung tersebut.
“Ya, gimana? Lu mau balik? Susah juga. Dah, jalan terus dan sampai puncak. Kita istirahat malam ini dan lanjut jalan besok pagi, oke?” Bang Opung mencoba meyakinkan agar tetap melanjutkan perjalanan karena sudah sampai di tempat itu disayangkan untuk pulang tanpa sampai di puncak gunung.
“Ya, Bang.”
Dalwi merasa heran karena Bang Opung seolah-olah tidak merasakan keganjilan apapun. Bukankah sudah beberapa kali ada sesuatu hal yang mengganjal dan terjadi pada rombongan mereka? Harusnya hal itu menjadi pertanda buruk dan pertimbangan kembali untuk melanjutkan atau justru turun gunung saja. Herannya sejak tadi mendaki gunung tidak bertemu dengan rombongan lain yang berada di depan maupun yang berada di belakang rombongan mereka. Dalwi semakin merasa ada hal yang aneh terjadi dan perasaan tidak enak itu terus-menerus menghantui.
Sementara itu, Rahmat pun mendekati Putri. Pria itu hendak membicarakan tentang rencana seminar nasional yang akan dibuat oleh anak-anak HIMA. Putri merupakan bendahara HIMA dan sebenarnya wanita itu tidak mau ikut naik gunung. Sama saja dengan Ririn yang tidak berminat untuk naik gunung. Namun kedua wanita itu sama-sama tertipu bujuk rayu oleh Kodel untuk ikut naik gunung dan juga Putri diminta untuk ikut mendaki gunung oleh Rahmat sebagai bentuk tanggung jawab sebagai bendahara.
“Put, mau bicara bentar, dong.” Rahmat pindah tempat duduk di samping Putri.
“Ya, sini. Kenapa?”
Putri merasa biasa saja saat Rahmat pindah tempat duduk di sampingnya. Kodel menatap ke arah Putri beberapa kali dengan curi-curi pandang karena Ririn berada di samping Kodel. Mereka berdua bicara banyak hal, jadi Kodel tidak ada waktu sama sekali untuk mendekati Putri.
“Gini, Put. Lu udah gitu hitung semua rincian biaya anggaran tersebut dan gua perkirakan sekitar tiga puluh juta. Gimana, Rahmat?” Putri memang memiliki kecerdasan dan juga teliti dalam menghitung sehingga dia menjadi bendahara di HIMA.
Rahmat manggut-manggut lalu berkata, “Nah, kalau gua hitung, nih, ya. Sekitar dua ratus orang misal yang ikut sama anak-anak tongkrongan si Bang Opung ikutan juga. Kira-kira harga tiket seratus lima puluh ribu, lah. Itu udah nutup anggaran, kan?”
“Iya, kalau segitu orangnya pasti jumlah anggaran ketutup sama pemasukan. Tapi masalahnya gua nggak yakin kalau bakal dapat dua ratus orang seperti yang diperkirakan buat beli tiket harga seratus lima puluh ribu.” Putri terlihat pesimis dengan hal itu karena tidak tahu juga apakah bisa mendapatkan jumlah orang yang akan mengikuti seminar sebanyak itu.
“Bisa, lah! Asal Bang Opung juga mau bantu kita. Ada Bang Opung, Kodel, Ririn, sama Degel yang bakal woro-woro ke anak tongkrongan buat ikut seminar nasional ini. Gua yakin tembus soalnya anak tongkrongan itu isinya dari mahasiswa mahasiswi semester satu sampai delapan. Dah, lu yakin aja. Gua juga yakin aja dulu, galau ntar ntar aja.”
Rahmat mencoba meyakinkan Putri untuk tetap optimis dalam melakukan acara seminar nasional tersebut di kampus. Mungkin memang dengan mengadakan sebuah event apalagi sebuah seminar bukan merupakan hal yang mudah dilaksanakan. Namun mereka berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi universitas dan juga mengadakan event yang berguna bagi mahasiswa dan mahasiswi yang ada di universitas tersebut. Setidaknya dalam mengabdikan diri di sebuah organisasi bisa membawa dampak positif bagi orang lain. Seperti kegiatan mendaki gunung saat ini yang dilakukan oleh mereka untuk mendekatkan diri kepada Bang Opung demi bisa dapatkan bantuan.
“Ya, deh. Gua coba tetep optimis meski rasanya ... Ya, gitu, dah.” Putri menaikan kedua bahunya.
“Eh, Put, gua mau tanya, nih.”
“Apa?”
“Lu kenal Kodel udah lama? Kok, lu kelihatan dekat and akrab banget sama Kodel. Lu tahu, kan, Kodel udah punya pacar? Ririn itu cemburuan.” Rahmat sebenarnya tidak mau ikut campur tetapi melihat pertengkaran tadi membuat pria itu memberi sedikit nasihat kepada Putri.
“Ah, udah agak lama, sih. Iya, iya. Gua tahu, kok. Tapi, kan, Cuma temenan aja. Kenapa? Lu cemburu?” Putri malah justru bertanya balik kepada Rahmat membuat pria itu jadi salah tingkah.
Putri memang terlihat menarik dan juga mudah bergaul dengan orang lain. Hal itu yang membuat para pria menyukai Putri termasuk Kodel yang sudah mempunyai pacar juga tertarik kepada wanita yang memiliki gairah besar. Kodel sering ajak Putri yang iya-iya dan Putri tidak menolak sama sekali. Dasarnya saja mereka memang sudah menganut hal yang bebas, susah untuk dinasehati.
“Ah, nggak, kok. Gua nggak ada hak buat cemburu. Gua cuma ingetin elu aja. Jangan tersinggung, oke?” Rahmat jadi tidak merasa nyaman dan takut kalau Putri tersinggung dengan kalimat yang tadi dia lontarkan.
“It’s oke wae. Gua nggak tersinggung, kok. Malah gua kira lu cemburu kalau gua deket Kodel,” ucap Putri bercanda sambil tersenyum menggoda.
Rahmat di dalam hati jadi merasa bingung sendiri dan dag dig dug tidak karuan. Memang Rahmat tertarik dengan Putri bukan hanya dengan kecantikan melainkan juga dengan pikiran yang cerdas. Namun Rahmat merasa tidak mungkin menggapai Putri karena banyak pria yang menyukai wanita itu. Menjadi satu di organisasi tidak membuat Rahmat serta merta bisa mendapatkan Putri.
Dalwi dan Bang Opung masih duduk bersampingan. Mereka berdua membahas beberapa hal lain dan mencoba untuk melupakan tentang pembicaraan adanya penampakan tadi. Bang Opung tahu kalau hal seperti ini merupakan hal yang wajar karena berada di tengah hutan apalagi dalam perjalanan mendaki gunung seperti ini. Namun ada satu hal yang tidak dimengerti oleh Bang Opung, kenapa sejak awal berangkat banyak orang yang menasehati agar mereka lebih waspada lagi? Seolah-olah orang-orang itu sudah mengetahui akan ada banyak halangan dan rintangan yang membuat kelompok itu sulit mencapai puncak gunung sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
“Bang, perasaan gua aja atau emang rasanya banyak halangan dan rintangan yang kita alami?” Dalwi mencoba bertanya untuk meyakinkan perasaannya.
“Entahlah, Degel. Lu percaya nggak soal firasat buruk dan firasat baik?” Bang Opung justru membalikkan pertanyaan kepada Dalwi.
“Kalau, ntuh, sih, percaya nggak percaya, Bang. Gua juga belum paham. Kadang itu perasaan doang atau beneran.”
“Nah, gini ... Gua cuma cerita sama lu aja. Gua sebenarnya ngerasa ada firasat buruk. Tapi gua nggak yakin perasaan itu beneran atau enggak, jadi gua tetep milih lanjut aja. Lagi pula anak-anak masih menikmati perjalanan, kan? Gua sebagai pemimpin juga nggak enak kalau nyerah gitu aja.” Bang Opung akhirnya menceritakan apa yang dirasa kepada Dalwi.
Seketika Dalwi merasa semakin merinding dan tidak nyaman dengan keadaan saat ini. Kalau Bang Opung saja tidak yakin dengan perjalanan ini dan merasakan ada sesuatu hal yang buruk, mengapa pendakian ini tetap berlangsung? Dalwi jadi merasa bingung dengan apa yang dilakukan saat ini seolah-olah sedang beradu nasib dengan takdir.
“Bang, kalau lu aja nggak yakin begini, kenapa masih lanjut buat muncak? Jujur aja, Bang, gua ngerasa nggak yakin buat lanjut muncak dari awal. Gua ngerasa ada sesuatu aja yang aneh dan gua pikir ini firasat buruk.”
“Ssst! Ini percakapan antara gua ama lu aja. Jangan sampai yang lain tahu. Toh, kita besok pagi lanjut jalan dan semoga sampai di pos kedua bertemu sama rombongan lain. Jujur aja, gua nggak mau mereka kecewa dengan perjalanan ini. Gua nggak mau mereka nyesel udah muncak sama gua.”
Bang Opung menjelaskan hal itu dan terlihat begitu egois hanya memikirkan diri sendiri di hadapan orang lain tanpa memikirkan ketakutan dari anggotanya yang ikut mendaki gunung. Dalwi hanya diam dan tidak menjawab lagi apa yang dikatakan oleh Bang Opung. Kalau pemimpinnya saja sudah tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan, kenapa mereka tetap nekat untuk berjalan? Dalwi semakin yakin kalau ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini. Apalagi Dalwi melihat penampakan yang nyata dari video ponselnya. Hal itu membuat Dalwi semakin yakin kalau firasat buruk itu benar-benar nyata.
“Degel, lu jangan pikir yang aneh-aneh soal firasat buruk. Gua rasa ini cuma perasaan kita aja. Lihat yang lain baik-baik aja, kan? Kita nggak perlu khas.” Bang Opung berdiri dan menepuk pundak Dalwi beberapa kali seolah-olah mengatakan semua akan baik-baik saja. Padahal Dalwi sudah yakin kalau ada hal buruk akan terjadi. Entah apa itu.