"Argh!"
Nara tersentak setelah beberapa detik bibirnya bersentuhan dengan milik Hoon. Tubuhnya sedikit terpental hingga punggung gadis itu membentur dinding. Ada rasa panas yang menjalari tubuhnya khususnya pada bagian bibir dan telapak tangan, persis seperti habis tersiram air suci.
"Apa ini?" gumamnya tidak mengerti. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan seolah terbakar. Delikan tajam Nara tujukan pada Hoon yang terdiam dengan tatapan tidak menyangka. Sepertinya pria itu juga syok karena apa yang barusan terjadi.
"Apa yang kau lakukan?" Nara mendesis tajam. Sensasi terbakar yang dia rasakan masih terasa begitu menyiksa. Membuat sekujur tubuhnya seolah lumpuh.
Raut tak menyangka yang Hoon tampilkan berubah menjadi raut jengkel. Dia mendengus jengah. "Harusnya kau tanyakan itu pada dirimu sendiri. Apa pantas seorang mahasiswi yang mabuk datang malam-malam ke apartemen dosennya kemudian menciumnya secara tiba-tiba?"
"Persetan dengan itu semua!" Nara menjerit. Gadis vampir itu menatap Hoon yang tampak semakin jengkel dengan waspada. Andai saja dia bisa menerobos pikiran pria itu, dia tidak akan sefrustrasi ini. Sayangnya, kemampuan untuk membaca pikiran tidak dimiliki olehnya.
Apa dia tahu aku vampir? batin Nara bertanya-tanya. Dia curiga kalau Hoon sudah lebih dahulu meminum atau membasuhkan air suci ke seluruh tubuhnya sebelum membukakan pintu apartemen. Itu sebabnya Nara merasa kesakitan tadi saat bersentuhan dengan si Pria Kang.
"Kau tampak kesakitan." Nada bicara dan tatapan Hoon melunak, mulai bersimpati pada Nara yang masih berjuang melawan rasa sakitnya. "Berapa banyak yang kau minum sampai kau jadi seperti ini, hm?"
Nara sama sekali tidak menjawab. Percuma, Hoon juga tidak akan mengerti kalau ini bukan efek dari minum miras. Lagi pula, Nara tidak bodoh untuk memberitahu alasan yang sebenarnya, bukan? Itu sama saja seperti membongkar jati dirinya sebagai seorang vampir.
"Masuklah! Akan kubuatkan kau—"
"Tidak perlu! Aku tidak apa-apa."
"Tapi kau tampak begitu lemah. Sini biar aku bantu—"
"Jangan mendekat!" Nara berusaha bergerak menjauh saat Hoon mulai mendekatinya. Gadis itu panik. Sikapnya ini berhasil membuat dahi Hoon berkerut keheranan.
"Aku hanya ingin membantumu."
"Dan aku tidak butuh bantuanmu. Jangan mendekat apalagi menyentuhku!"
Hoon mendecih sinis. "Kenapa? Kau bahkan menyentuh dan menciumku tanpa permisi tadi, tapi sekarang saat aku hanya akan membantumu kau malah melarangku mendekat."
Dobel sialan! Kenapa manusia satu ini banyak bicara sih? Dewi batin Nara mengutuk. Sungguh, dia tidak tahu kalau ternyata Hoon semenyebalkan ini. Awalnya dia kira Hoon tipe manusia yang kalem dan tidak banyak bicara, tapi nyatanya dugaan itu salah besar.
"I'm fine. Just leave me alone," ujar Nara yang sudah berada di ambang kesabarannya. Rasa panas dan sakit yang diakibatkan oleh air suci mulai reda.
"Dan membiarkanmu jatuh pingsan di depan apartemenku? No, thanks. Aku tidak mau petugas keamanan menanyaiku macam-macam."
"Aku tidak akan pingsan karena aku baik-baik saja. Lagi pula, aku sudah mau pulang kok." Nara semakin gemas. Sungguh, kalau saja hukum vampir tidak melarang, maka Nara sudah merobek mulut atau mencabik-cabik tubuh Hoon sekalian. Eh, tapi kalau dipikir-pikir pria itu terlalu tampan untuk dilukai.
Sial! Kenapa aku malah berpikir seperti itu di saat begini? Nara merutuk.
"Oke. Kalau kau memang baik-baik saja, apa itu artinya kau bisa pulang sendiri?"
Nara terperangah tidak percaya karena seolah diusir oleh pria tampan di hadapannya. Dia adalah pria pertama yang berani berbuat seperti ini pada Nara. Biasanya dialah yang mengusir pria fana sesuka hatinya, tapi kali ini justru dia yang diperlakukan seperti ini. Apa ini yang sering manusia sebut sebagai karma?
"Tentu saja aku bisa. Kau tidak perlu khawatir soal itu."
"Oke. Hati-hati di jalan kalau begitu. Kuharap besok pagi aku tidak akan menemukan berita soal dirimu. Oh ya, jangan salahkan aku juga karena aku sudah berniat baik ingin menolongmu, tapi kau menolak."
"Iya-iya. Dasar cerewet!"
Tidak ingin semakin terpancing amarah di hadapan Hoon, Nara memutuskan untuk segera pergi. Dengan sisa-sisa rasa sakit dan panas di dalam tubuhnya, sang vampir cantik berjalan tertatih meninggalkan apartemen itu. Meninggalkan Hoon yang masih setia mengawasi kepergiannya sampai menghilang di balik pintu lift.
****
Air suci. Mendengar namanya saja sudah mampu membuat bangsa vampir waspada. Air yang sudah didoakan itu memang kelemahan setiap makhluk dunia bawah. Setitik saja air itu mengenai bagian tubuh mereka, rasa sakitnya akan terasa seperti terkena air mendidih. Bayangkan jika air itu disiramkan pada seluruh tubuh, sudah pasti mereka akan musnah. Sebaliknya, jika air itu diminum atau dibasuhkan ke wajah dan tubuh manusia, maka dia akan diberkahi dalam segala hal. Termasuk diberi perlindungan dari makhluk terkutuk seperti vampir, manusia serigala, dan sebangsanya.
Nara yakin seratus persen bahwa apa yang dia alami di depan unit apartemen Hoon adalah efek dari air suci. Yang jadi permasalahan adalah kenapa Hoon meminum atau membasuhkan air suci itu ke tubuhnya tepat sebelum Nara datang? Tahukah dia perihal siapa Nara sesungguhnya?
"Dia bahkan tidak tampak seperti orang yang percaya akan hal-hal semacam itu," gumam Nara sambil mondar-mandir di balkon kamarnya. Hoon memang terlihat seperti pria baik-baik dan taat pada agama, tapi untuk percaya akan adanya makhluk dunia bawah, sepertinya tidak.
"Atau itu memang bagian dari kebiasaannya saja, ya?" Nara menarik kesimpulan lain. Mungkin Hoon memang tipe yang percaya akan khasiat air suci, tanpa tahu kalau itu juga bisa bermanfaat sebagai pelindung dari makhluk seperti Nara. Lagi pula, penampilan Nara sudah mirip seperti manusia normal pada umumnya dengan kulit yang tidak terlalu pucat dan bisa bertahan di bawah sinar matahari. Jadi, tidak mungkin Hoon curiga padanya.
Lantas, bagaimana dengan misinya menaklukkan Hoon? Padahal Nara mencium pria itu tadi agar dia mudah takluk. Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang bisa menolak jika sudah disentuh atau dicium oleh Nara, tapi gara-gara air suci, semua usahanya berakhir sia-sia.
Haruskah Nara menyerah?
"Tidak boleh." Nara menggeleng keras. "Aku tidak boleh kalah hanya karena air suci sialan itu. Apa yang aku mau harus aku dapatkan. Aku hanya perlu mencari cara lain untuk membuatnya bertekuk lutut padaku."
Ya. Seperti kata Yian, tidak ada yang tidak mungkin. Suatu saat nanti Nara pasti bisa mendapatkan Hoon, entah bagaimana caranya. Dia memang harus berusaha lebih keras kali ini, tapi tidak apa-apa. Yang penting, dia harus menang.
Di tengah rasa percaya dirinya yang kembali terpupuk, Nara mendongak menatap langit. Bulan purnama masih setia menghiasi langit, bentuk bulan yang paling Nara sukai. Kebiasaannya dari dulu tidak pernah berubah. Saat yang lain lebih suka menikmati kelap-kelip bintang, dia justru lebih suka langit malam yang berhiaskan bulan purnama.
Kebiasaan Nara memang masih sama, tapi ada yang terasa berbeda setiap kali gadis itu sedang menikmati kegiatan favoritnya; kehadiran seseorang yang selalu mengomentari dirinya, Ato.
Ya. Vampir berengsek itu yang paling sebal jika Nara sudah tenggelam dalam keindahan bulan. Ato akan merengek minta diperhatikan oleh Nara dan merajuk jika sang gadis tidak tergerak oleh sikap cari perhatiannya. Bohong jika Nara berkata tidak merindukan pria itu sama sekali. Bagaimanapun, mereka pernah saling mencintai kendati pada akhirnya cinta itu kandas karena sebuah pengkhianatan.
Sebenarnya apa yang Ato lakukan tidak bisa disebut sebagai pengkhianatan juga karena Nara dan pria itu tidak benar-benar menjalin hubungan. Mereka tidak pernah berkomitmen meskipun sudah tahu perasaan satu sama lain. Apalagi, Ato memang kerap memperdaya kaum wanita fana untuk dijadikan pemuas nafsu semata. Dalam bahasa manusia, kegiatan yang sering Ato lakukan itu disebut dengan one night stand.
Akan tetapi, kebiasaan itu mulai berubah ketika Ato berkenalan dengan seorang gadis manusia. Gadis itu berhasil membuat Ato tergila-gila oleh tubuh dan wajahnya hingga lupa diri. Ato menghamilinya dan kabur begitu saja. Fana cantik itu meninggal karena tidak kuat mengandung bayi vampir. Karena kesalahannya itulah akhirnya Ato dihukum oleh para petinggi vampir. Dia dibakar sambil digantung di pohon ek sampai menjadi abu.
Sadar kalau dirinya sudah terlalu jauh menerawang, Nara pun menggeleng keras lalu menepuk pipinya. "Sialan! Kenapa aku malah teringat Ato?"
Nara kembali memandang langit. Sudah hampir subuh rupanya. Karena tidak suka menyambut matahari pagi, dia memutuskan untuk masuk kembali ke kamar. Namun, saat akan berbalik, dia melihat seseorang yang sedang mengawasinya dari balik pohon. Sosok itu sangat mirip dengan ....
"Ato?!" Tanpa basa-basi lagi, Nara langsung turun dari balkon kamar dan mengejar sosok yang mulai berlari itu. Hutan di belakang rumah Nara tidak terlalu luas, jadi seharusnya menangkap orang itu tidaklah sulit.
Seberkas cahaya yang begitu terang tiba-tiba menyorot tepat ke mata Nara. Membuatnya terpaksa berhenti berlari karena tidak kuat menghadapi cahaya yang datangnya dari arah depan. Tak lama setelah itu, matahari pun terbit. Sosok yang tadi dikejarnya sudah tidak tampak lagi. Nara mengutuk.
"Berengsek!"
"Sayang!" Panggilan sang ibu membuat Nara menoleh. Rupanya Jihyun datang bersama Jooho. Mereka sama-sama mengenakan baju tidur, pertanda kalau habis menunaikan hubungan suami-istri.
"Ada apa ini? Kenapa kau berteriak tadi?" tanya Jihyun penasaran sekaligus khawatir.
"Ayah tadi mendengarmu menyebut nama Ato. Ada apa sebenarnya?" Jooho ikut bertanya.
"Tadi aku melihat sosok yang mirip Ato. Dia mengawasiku, itu sebabnya aku mengejarnya," Nara berujar pelan. Jooho dan Jihyun langsung bertatapan.
"Mana mungkin itu Ato? Dia sudah dilenyapkan oleh Drake sepuluh tahun lalu. Bahkan kita semua melihat eksekusinya." Jooho angkat bicara. Drake Johnson adalah Ketua Dewan Vampir Kota New York. Dia yang menjatuhkan hukuman untuk Ato.
"Iya, Ayah, aku tahu. Makanya aku penasaran dan mengejarnya untuk memastikan apakah dia Ato atau bukan. Tapi tiba-tiba ada cahaya yang begitu terang mengenai wajahku dan sosok itu pun hilang bak ditelan bumi. Kalau itu benar Ato, maka dia pasti menggunakan kemampuan teleportasi."
"Sayang, sudahlah! Ibu tahu kau mungkin masih merasa sedih akan kepergian Ato, tapi dia tidak mungkin kembali lagi. Sekali vampir dilenyapkan, maka mustahil baginya untuk hidup lagi. Jadi itu pasti bukan Ato."
"Ya. Mungkin saja itu makhluk lain yang meminjam wajah Ato untuk mengelabuimu." Jooho kembali angkat bicara, mendukung perkataan sang istri. Masuk akal juga karena ada beberapa makhluk yang dapat berubah menyerupai makhluk lainnya.
"Tapi, siapa dan untuk apa?" Nara menyuarakan pertanyaan di kepalanya.
Jooho dan Jihyun sama-sama terdiam, tidak punya petunjuk maupun pemikiran lebih jauh soal ini.
"Ayah akan bertanya pada Drake," putus Jooho setelah sekian lama bungkam. Pria itu menatap sang istri dan putri semata wayangnya dengan tatapan menenangkan. "Dia pasti tahu soal ini, atau bahkan bisa saja terlibat di dalamnya. Kita tidak pernah tahu, bukan?"
Nara dan Jihyun mengangguk, mengiyakan. Sejak Ato melanggar aturan bangsa vampir, Keluarga Kim menjadi perhatian khusus bagi para Dewan. Nara berpikir bisa saja ini karena ulahnya yang seolah mengikuti kebiasaan Ato dulu. Itu sebabnya seseorang diutus untuk mengawasinya.
"Ya sudah, lebih baik kita kembali ke rumah. Matahari sudah semakin tinggi," ajak Jihyun yang langsung menuai anggukan dari suami dan anaknya.
*****
Nara masuk kuliah seperti biasa. Biasanya dia akan berangkat bersama Jay, tapi hari ini dia memilih untuk berangkat sendiri karena ingin datang lebih awal. Kelas bahkan baru dimulai setengah jam lagi, tapi Nara sudah duduk di tempatnya dan membaca materi.
"Kau terlihat baik-baik saja," bariton itu menghentikan Nara dari kegiatannya membaca diktat. Kepala cantik itu segera mendongak dan mendapati wajah datar Hoon yang sedang menatapnya. Nara tersenyum sinis.
"Wow!" Nara berpura-pura takjub. Dia menutup diktatnya dengan gerakan yang dilebih-lebihkan. Kemudian tangan kirinya bertumpu di atas meja, sedangkan satunya lagi menyangga kepala. "Jadi sekarang kau mulai menyapaku duluan, ya? Aku benar-benar terkesan."
Hoon mendengus. "Aku hanya bersikap baik sebagai seorang dosen. Wajar, kan, kalau aku khawatir dengan kondisimu? Walaupun aku masih tidak terima dengan kelancanganmu semalam, tapi kau tetap mahasiswiku. Aku anggap kejadian semalam tidak pernah terjadi."
Nara mengangguk-angguk. "Well, terima kasih kalau begitu."
"Tapi bukan berarti kau bisa bebas bersikap seenaknya padaku. Kau harus ingat bahwa aku ini adalah dosenmu, jadi tolong perlakukan aku sebagaimana mestinya."
"Maksudmu, aku harus bicara formal dan memanggilmu dengan sebutan 'Prof', begitu?"
Hoon mengangguk. "Dan berhenti mendekatiku." Nara mencebik.
"Bagaimana kalau aku tidak mau? Bagaimana kalau aku tetap memaksa untuk mendekatimu? Aku tidak masalah kalau harus bersikap formal padamu, tapi untuk berhenti mendekatimu, aku tidak mau."
"Maka kau akan tahu akibatnya." Begitu saja, kemudian Hoon berbalik menuju mejanya. Namun, suara Nara kembali menarik atensinya.
"Memang apa akibatnya?"
Suara Nara berhasil membuat Hoon kembali membalikkan badan. Raut wajah pria itu masih tampak tenang walau nada bicaranya terdengar sinis dan penuh peringatan ketika berujar, "Kau akan terluka."
Nara masih belum mau menyerah juga. "Terluka karena apa?" Sebenarnya pertanyaan ini hanya pancingan. Dalam benaknya Nara yakin betul kalau 'terluka' yang Hoon maksud di sini sama seperti apa yang terjadi tadi malam. Hoon sudah tahu kalau Nara vampir dan mengancam akan melukainya dengan air suci. Sayangnya, jawaban berbeda dilisankan oleh si Pria Kang yang justru semakin memantik amarah sekaligus ambisinya.
"Karena aku sudah memiliki kekasih yang begitu kucintai dan kau tidak akan bisa membuatku jatuh cinta atau berpaling darinya."
"Begitu, ya?" Nara tersenyum mengejek. "Kalau begitu akulah yang akan membuatnya melepaskanmu agar kau tidak punya alasan lagi."
Raut Hoon berubah. Pria itu seolah akan melontarkan kata-kata ketika mendadak pintu kelas terbuka dan beberapa mahasiswa memasuki kelas. Dua orang di antaranya adalah Jihee dan Chaeri yang langsung menyapa dan duduk di dekat Nara.
Nara tersenyum puas melihat rahang Hoon mengeras dan berbalik menuju mejanya. Bersiap memulai perkuliahan.